Palembang (ANTARA Sumsel) - Keterangan saksi Ibnu yang dihadirkan Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu, semakin memberatkan Direktur Utama Apartemen Orchid Hartono Gunawan selaku terdakwa kasus penipuan pemberian giro kosong.
Saksi yang merupakan karyawan pelapor (HM Muhdi Abu Bakar) membenarkan bahwa terdakwa memiliki hutang dengan HM Muhdi Abu Bakar sekitar Rp1,2 miliar.
"Saya tidak tahu persis kapan, yang jelas pernah bertemu dengan Hartono di RS Pertamina Jakarta saat HM Muhdi mengalami sakit. Dan dinyatakan terdakwa bahwa kedatangannya untuk meminjam uang," kata Ibnu dihadapan majelis hakim yang diketuai Ali Makki.
Ia yang ditugaskan korban sebagai pencair giro karena berkerja pada bagian umum perusahaan milik HM Muhdi, juga membenarkan bahwa terdapat 10 lembar giro PT SBC (milik Hartono) tidak dapat dicairkan karena dananya kosong.
"Saya pernah ke Bank Mandiri untuk mencairkan dana, tapi ternyata dananya tidak ada. Tak berapa lama, rekening PT SBC juga ditutup oleh pihak bank karena dananya kosong," katanya.
Terkait dengan terdakwa kedua Fende Petrus Yong Fendi diketahui oleh saksi merupakan Direktur Operasional PT SBC juga memiliki hutang dengan HM Muhdi sekitar Rp800 juta.
"Saya mengetahui Petrus juga berhutang dengan Muhdi dari giro yang akan dicairkan," katanya.
Menurutnya, HM Muhdi telah melakukan pendekatan kepada kedua terdakwa agar giro dapat dicairkan, namun setelah tidak ada itikad baik terpaksa dilakukan pencairan ke bank untuk memastikan bahwa memang benar dana pada rekening PT SBC tidak tersedia.
"Setelah mengetahui dana kosong, barulah Muhdi melapor ke polisi. Hal ini karena upaya pendekatan yang dilakukan tidak membuahkan hasil," ujarnya.
Kedua terdakwa telah mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Palembang sejak 17 Juni 2013 atas laporan pengusaha properti HM Muhdi Abu Bakar, karena menerima pembayaran hutang dalam bentuk giro kosong senilai Rp2,03 miliar.
Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa terdakwa dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang, memberi hutang, atau menghapus hutang piutang para periode November-Desember 2011.
Dalam dakwaan itu dipaparkan aksi terdakwa diawali berkenalan dengan HM Muhdi Abu Bakar selaku Komisaris Utama PT Sukses Bersama Centerpoin, dan mengajak bekerja sama untuk pembangunan Orchid Residence Apartemen di Palembang yang dijanjikan bakal menjadi apartemen mewah pertama di kota itu.
Untuk meyakinkan korban, Hartono Gunawan membeli saham PT Sukses Bersama Centerpoint dan sepenuhnya diambil alih Hartono dan Petrus untuk menjalankannya.
Namun, untuk menjalankan aksinya agar pembangunan Orchid tetap berjalan, kedua tersangka ini meminjam uang kepada HM Muhdi Abu Bakar dengan total Rp2,1 miliar.
Pinjaman kemudian dibayarkan dengan 14 lembar giro Bank BCA dan 10 lembar Bank Mandiri, ternyata setelah dicairkan tidak terdapat dananya.
Berdasarkan perbuatan terdakwa ini maka Jaksa penuntut umum mengenakan hukuman pidana Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pembangunan Apartemen Orchid menuai masalah karena pengembang mengalami kesulitan dana, sehingga merugikan sekitar 150 orang pembeli yang terlanjur telah menyerahkan uang muka berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menetapkan pada 18 Maret 2013 agar pengembang mengajukan rencana perdamaian dengan para pembeli berupa penggantian kerugian, mengingat target penyelesaian bangunan pada Desember 2011.
Saksi yang merupakan karyawan pelapor (HM Muhdi Abu Bakar) membenarkan bahwa terdakwa memiliki hutang dengan HM Muhdi Abu Bakar sekitar Rp1,2 miliar.
"Saya tidak tahu persis kapan, yang jelas pernah bertemu dengan Hartono di RS Pertamina Jakarta saat HM Muhdi mengalami sakit. Dan dinyatakan terdakwa bahwa kedatangannya untuk meminjam uang," kata Ibnu dihadapan majelis hakim yang diketuai Ali Makki.
Ia yang ditugaskan korban sebagai pencair giro karena berkerja pada bagian umum perusahaan milik HM Muhdi, juga membenarkan bahwa terdapat 10 lembar giro PT SBC (milik Hartono) tidak dapat dicairkan karena dananya kosong.
"Saya pernah ke Bank Mandiri untuk mencairkan dana, tapi ternyata dananya tidak ada. Tak berapa lama, rekening PT SBC juga ditutup oleh pihak bank karena dananya kosong," katanya.
Terkait dengan terdakwa kedua Fende Petrus Yong Fendi diketahui oleh saksi merupakan Direktur Operasional PT SBC juga memiliki hutang dengan HM Muhdi sekitar Rp800 juta.
"Saya mengetahui Petrus juga berhutang dengan Muhdi dari giro yang akan dicairkan," katanya.
Menurutnya, HM Muhdi telah melakukan pendekatan kepada kedua terdakwa agar giro dapat dicairkan, namun setelah tidak ada itikad baik terpaksa dilakukan pencairan ke bank untuk memastikan bahwa memang benar dana pada rekening PT SBC tidak tersedia.
"Setelah mengetahui dana kosong, barulah Muhdi melapor ke polisi. Hal ini karena upaya pendekatan yang dilakukan tidak membuahkan hasil," ujarnya.
Kedua terdakwa telah mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Palembang sejak 17 Juni 2013 atas laporan pengusaha properti HM Muhdi Abu Bakar, karena menerima pembayaran hutang dalam bentuk giro kosong senilai Rp2,03 miliar.
Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa terdakwa dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang, memberi hutang, atau menghapus hutang piutang para periode November-Desember 2011.
Dalam dakwaan itu dipaparkan aksi terdakwa diawali berkenalan dengan HM Muhdi Abu Bakar selaku Komisaris Utama PT Sukses Bersama Centerpoin, dan mengajak bekerja sama untuk pembangunan Orchid Residence Apartemen di Palembang yang dijanjikan bakal menjadi apartemen mewah pertama di kota itu.
Untuk meyakinkan korban, Hartono Gunawan membeli saham PT Sukses Bersama Centerpoint dan sepenuhnya diambil alih Hartono dan Petrus untuk menjalankannya.
Namun, untuk menjalankan aksinya agar pembangunan Orchid tetap berjalan, kedua tersangka ini meminjam uang kepada HM Muhdi Abu Bakar dengan total Rp2,1 miliar.
Pinjaman kemudian dibayarkan dengan 14 lembar giro Bank BCA dan 10 lembar Bank Mandiri, ternyata setelah dicairkan tidak terdapat dananya.
Berdasarkan perbuatan terdakwa ini maka Jaksa penuntut umum mengenakan hukuman pidana Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pembangunan Apartemen Orchid menuai masalah karena pengembang mengalami kesulitan dana, sehingga merugikan sekitar 150 orang pembeli yang terlanjur telah menyerahkan uang muka berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menetapkan pada 18 Maret 2013 agar pengembang mengajukan rencana perdamaian dengan para pembeli berupa penggantian kerugian, mengingat target penyelesaian bangunan pada Desember 2011.