Ketertarikan pada tanaman padi sudah tumbuh sejak dirinya masih kecil dan setiap kali melihat hamparan padi menguning, hatinya selalu terenyuh, karena padi yang menguning menunduk berat, tanda harapan bagi petani masih ada.

"Saya yakin siapapun yang melihat padi sedang menguning, hatinya pasti senang, karena kesenangan pada padi bersifat universal, padi tetaplah tanaman yang terindah dan terpenting yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia," kata Dr Ir Abdul Haris Mustari,dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Oleh karena itu, ketika terlibat dalam penelitian Tim Ekspedisi Khatulistiwa di Pegunungan Meratus Provinsi Kalimantan Selatan bersama Tim TNI, Haris Mustari mengaku matanya selalu tertuju pada hamparan padi menguning di lembah dan lereng Pegunungan Meratus itu.

Kebetulan dalam periode ekspedisi itu, April-Juli 2012,  bertepatan dengan musim padi menguning di penjuru negeri Meratus.  

Karena itu ia tertarik untuk menggali kehidupan agraris dan kearifan tradisional Dayak dalam bercocok tanam dan bagaimana mereka memperlakukan padi secara istimewa.

"Kami memang tidak punya uang, tapi kami sugih (kaya) banih (padi)," demikian pak Imar penduduk Pegunungan Meratus seperti dikisahkan Haris Mustari.

Menurut Haris kala itu Pak Imar berkisah ketika semalam suntuk saat ia dan Praka Paskhas Tugiran meminta izin untuk menginap bersamanya di pehumaan (sawah lahan kering)  di Gunung Nunungin yang sejuk di kampung Manakili, Loksado, Pegunungan Meratus.

Tujuan mereka menginap adalah menggali kearifan tradisional Dayak melalui tokoh itu.  Meski singkat, tapi sangat mengesankan untuk menimba ilmu yang sangat berharga dari Pak Imar.

"Saya dengan latar belakang akademis dari suatu perguruan tinggi yang terkenal dan tertua ilmu-ilmu pertaniannya, IPB dan sempat menimba ilmu selama kurang lebih tujuh tahun di luar negeri, bagi saya ilmu yang diberikan tokoh dan masyarakat Dayak itu membuat saya semakin menundukkan kepala dan merendahkan hati," Kata Haris Mustari.

Ternyata banyak ilmu bertani dan kearifan tradisional warisan leluhur yang sangat berguna yang tidak didapatkan di bangku kuliah, tambah Haris Mustari.

"Kami adalah Dayak Meratus, yang mewarisi hutan dan alam Pegunungan Meratus," demikian Pak Imar dan penduduk setempat membuat identitas diri.  

Bagi orang Dayak, bercocok tanam adalah sumber utama penghidupan.  

Penduduk asli Kalimantan ini menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, singkong, keladi, pisang, ubi dan berbagai jenis palawija yang menunjang kehidupan sehari hari.

Dari berbagai jenis komoditi pertanian tersebut, padi adalah yang paling utama karena menjadi makanan pokok.  

Padi dalam bahasa Dayak Meratus disebut banih, setiap nama padi didahului dengan kata banih.  Bagi orang Dayak, padi bukan sekedar makanan pokok tetapi menjadi jenis tanaman yang disakralkan.

"Padi adalah pemberian langsung Sang Dewata atau Sang Hyang yang sangat penting bagi kami," ujar Pak Imar kepala adat di kampung Manakili.

Padi  diperlakukan istimewa, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, bahkan setelah dipanen dan disimpan di lumbung, padi tetap diperlakukan istimewa.

Padi ditanam pada lahan kering dengan sistem perladangan berpindah/balik dengan rotasi bervariasi 5 - 10 tahun.  Lokasi perladangan, dalam bahasa Dayak disebut Pahumaan, mulai dari dataran rendah sampai lereng-lereng terjal di perbukitan dan pegunungan, bahkan sampai bagian lereng sekitar 70 derajat masih dapat dijumpai lahan penanaman padi orang Dayak.  

Padi menguning di puncak dan lereng gunung umum adalah pemandangan yang umum dijumpai di sekitar pemukiman Dayak Meratus.

          Turun Temurun      
Bagi orang awam atau bagi mereka yang sudah mengenal sistem pertanian menetap, perladangan berpindah dianggap sebagai pemborosan lahan, terlalu banyak areal yang dibuka sehingga mengorbankan kawasan hutan.

Tapi bagi orang Dayak yang telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah secara turun temurun, perladangan berpindah dimaksudkan untuk menjaga kesuburan tanah dan memudahkan pembukaan lahan.

Alasannya dengan rotasi 5 - 10 tahun, lahan garapan diberi kesempatan untuk memulihkan unsur hara tanah yang diperlukan oleh tanaman melalui dekomposisi serasah dan bahan-bahan organik.  

Selain itu, agar lahan lebih mudah dikerjakan karena semak belukar yang segera tumbuh setelah padi dipanen, dalam jangka waktu 2-4 tahun masih sangat rapat dan sulit dibersihkan, sehingga harus menunggu berbagai jenis tumbuhan berkayu pioner seperti Mahang (Macaranga sp), Piper adunctum.

Dan jenis tumbuhan berkayu lainnya tumbuh dan terjadi suksesi alamiah membentuk hutan sekunder muda agar semak belukar seperti kirinyu, harendong, serta jenis perdu lainnya semakin berkurang.

Matahari, bulan dan bintang, merupakan pedoman bercocok tanam. Orang Dayak sering diidentikkan dengan suku yang terbelakang, penuh dengan kehidupan mistis, hidup mengembara dan berburu, namun jangan lupa bahwa orang Dayak justru sangat maju dalam metode pertaniannya, tambah Haris Mustari.

Orang Dayak memanfaatkan benda-benda astronomi seperti matahari, bulan dan bintang sebagai pedoman  dalam bercocok tanaman.  

Secara turun temurun ilmu membaca benda-benda astronomi itu didapatkan dari para tetua dan leluhur mereka.

"Kami dapatkan ilmu ini dengan cara mengaji dari para tetua adat dan tetua kampung", ujar Pak Imar dan Pak Utan (Damang Kecamatan Halong di Balangan).

Mengaji adalah istilah Dayak Meratus untuk berguru, jadi semua ilmu-ilmu leluhur didapatkan dengan cara berguru atau bertanya, betakon, kepada orang-orang tua.  

Dengan cara itulah ilmu diwariskan, karena ilmu Dayak  itu tidak tertulis melainkan melalui lisan.

Benda-benda astronomi itu menjadi pedoman kapan mulai memebersihkan lahan, membabat sisa-sisa tumbuhan dan semak belukar,  kapan mulai menugal dan waktu yang cocok untuk menanam benih padi, sampai padi siap dipanen.  

Bulan Juli dan Agustus adalah waktu untuk membersihkan lahan dari tumbuhan berkayu dan semak belukar, bertepatan dengan musim kemarau.  

Pada akhir September ketika puncak musim kemarau, dilakukan pembakaran tumbuhan dan semak belukar, kadar air tumbuhan yang telah ditebang berada pada titik terendah,  karena itu lebih mudah dibakar.

Sisa pembakaran bahan organik itu nantinya menjadi pupuk alami tanaman padi dan palawija, sehingga tidak diperlukan pupuk buatan lagi.

Sejak dahulu kala orang Dayak telah menerapkan sistem pertanian organik, sistem yang belakangan ini baru digalakkan oleh orang "berpendidikan kota".  

Pada bulan September tanggal 23, matahari tepat berada pada garis khatulistiwa, nol derajat Lintang Selatan.  

Bulan Oktober ketika matahari mulai bergeser ke arah selatan menjauh dari garis khatulistiwa, pertanda  harus mulai menugal, yaitu membuat lubang tanam benih padi menggunakan tongkat kayu yang ujungnya runcing.

Menugal dilakukan secara gotong royong, sistem komunal yang masih lekat pada adat istiadat Dayak. Menugal dan menanam padi berlangsung hingga bulan Nopember.

Waktu menugal harus melihat posisi munculnya bola kuning Sang Mentari di pagi hari yaitu sekitar sepuluh derajat Lintang Selatan.  

Pada posisi itu, matahari memberi tanda  bahwa penanaman padi harus segera dimulai.

Dan posisi  matahari itu sesungguhnya tidak sulit dibaca oleh orang Dayak, karena mereka menggunakan pedoman puncak-puncak gunung tertentu  di lingkungan mereka dimana matahari muncul, dan ini dibaca dan diwariskan secara turun temurun.

Selain matahari, posisi bintang juga menjadi pedoman kapan mulai menanam.    

Ada tiga jenis bintang yang dipakai sebagai pedoman, yaitu Bintang Karantika, Bintang Baurbilah, dan  Bintang Rambai.

Bintang Karantika dikenal juga dengan nama bintang tujuh karena  jumlahnya tujuh buah.  Bintang Baurbilah adalah bintang yang jumlahnya tiga dengan posisi selalu membentuk garis lurus.

Sedangkan Bintang Rambai selalu membentuk gugusan dan berkelompok.  Ketika muncul di langit, posisi bintang-bintang itu dapat dibaca dengan baik oleh orang Dayak, misalnya waktu menanam yang baik adalah ketika bintang-bintang itu berada pada posisi kurang lebih sekitar pukul  9 di ufuk Timur.

Apabila lebih dari itu, misalnya posisi Bintang Karantika berada tepat di atas kepala (pukul 12), maka sudah terlambat untuk memulai penanaman padi, dan kemungkinan gagal karena padi akan terserang hama, demikian kepercayaan mereka.

Selain matahari dan bintang, bulanpun menjadi petunjuk bercocok tanam.  Posisi bulan yang dipakai adalah ketika penanggalan bulan menunjukkan tanggal 3-14, yaitu ketika bulan lambat laun naik dan berubah dari bulan sabit ke bulan purnama.

Periode tanggal yang naik dipilih karena waktu itu adalah waktu naiknya rejeki, dan rasa optimisme yang tinggi akan keberhasilan panenan, demikian kepercayaan mereka.

Sebaliknya, ketika bentuk bulan berubah dari bulan purnama ke bulan sabit, ketika penanggalan bulan semakin tua, maka periode itu tidak dipakai untuk menanam, karena dianggap rejeki akan berkurang sejalan dengan semakin tuanya penanggalan bulan di langit.

Dan ketika ditanyakan kenapa ilmu pertanian yang menggunakan unsur astronomi yang sangat tinggi nilainya ini tidak tertulis kepada pak Imar dan Pak Utan, mereka mengatakan : "Kitab Kami ada di sini", sambil menunjuk dada dan hati, artinya ilmu-ilmu pertanian adiluhung itu ada di hati mereka.

Dan seperti halnya berbagai doa dan mantra-mantra dalam ritual Dayak tidak pernah tertulis, mereka percaya bahwa doa dan mantra-mantra yang tertulis akan berkurang kesakralannya, karena itu harus dihafalkan langsung dari tetua adat.
(ANT/H005/Z003)

Pewarta : Hasan Zainuddin
Editor : Awi
Copyright © ANTARA 2024