Manuver nelayan mendulang rupiah di PON Papua

id PON XX Papua, Nelayan Papua

Manuver nelayan mendulang rupiah di PON Papua

Nelayan menjual hasil tangkapan di jalur penghubung arena PON XX Papua di Jalan Amphibi, Kota Jayapura, Papua, Kamis (30/9/2021). (ANTARA/Andi Firdaus)

Kalau durian saya stok 70 buah ada yang jenis alpukat yang warna dagingnya lebih kekuning-kuningan sama yang jenis susu dengan warna yang lebih putih. Sehari bisa habis rata-rata 30 buah. Dagangan ini saya beli dari Pasar Depapre
Jayapura (ANTARA) - Sudah dua pekan Jek Opide (42) beralih  rutinitas dari menangkap ikan menjadi pedagang buah setelah Kampung Tablanusu di Kecamatan Depapre, Kabupaten Jayapura, mengalami panen buah-buahan lokal khas Provinsi Papua.

Pria bertubuh tegap itu memanfaatkan trotoar di seberang Kantor Gubernur Papua untuk berjualan durian, matoa dan sukun. Lapak semi permanen bermaterial kayu dimundurkan, mepet ke dinding, agar trotoar tetap bisa diakses dengan nyaman oleh pejalan kaki. Di sini buah dijual dengan harga yang relatif terjangkau.

Sebagai gambaran, selembar uang Rp50 ribu sudah cukup untuk membeli satu buah durian, 1 kilogram matoa atau satu buah sukun dalam bentuk utuh.

Nominal harga buah juga ditentukan kejelian Jek dan pembeli dalam menaksir harga. “Kalau harga buah di Pulau Jawa masih sama dengan harga di Papua. Tapi kalau saya lagi butuh uang, bisa saja dijual lebih murah. Kalau cara pikir pedagang kan asal ada untung, biar sedikit,” kata Jek saat bertukar obrolan dengan Antara.
Nelayan menjual buah-buahan di jalur penghubung arena PON XX Papua di Jalan Soa Siu, Kota Jayapura, Papua, Kamis (30/9/2021). (ANTARA/Andi Firdaus)

Buah-buahan itu diatur dengan susunan berkelompok, mengikuti sekat lapak menggunakan genteng baja ringan bekas. Hanya sedikit stok durian yang berderet di badan trotoar. Salah satu buah yang khas adalah matoa yang dikemas dalam tiga karung goni, sedangkan sukun yang tersisa siang itu tinggal tiga buah.

"Kalau durian saya stok 70 buah ada yang jenis alpukat yang warna dagingnya lebih kekuning-kuningan sama yang jenis susu dengan warna yang lebih putih. Sehari bisa habis rata-rata 30 buah. Dagangan ini saya beli dari Pasar Depapre. Kalau asalnya durian ini dari Kampung Tablanusu. Mereka sedang panen," katanya.

Sekilas daging durian tipis, mirip dengan jenis durian Medan, namun dengan aroma yang lebih kuat menusuk hidung. Perpaduan rasa manis, pahit dan legit begitu menyatu di lidah.

Buah matoa selama ini kurang populer di masyarakat luar Papua, sebab karakteristik tanaman yang cenderung tumbuh lebih subur di Bumi Cenderawasih.

Buah berwarna merah kehijau-hijauan seukuran dukuh itu menyiratkan bertekstur lengket. Sensasi rasanya justru lebih meriah dengan semburat manis lengkeng dan sedikit aroma durian.


PON Papua

Jek tidak berdagang sendirian, ia ditemani Welmina (36) yang juga berprofesi sebagai nelayan. Bagi mereka beralih dagang buah adalah pilihan. Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua yang bergulir 2-15 Oktober 2021 menjadi peluang mendulang rupiah dari kehadiran atlet, ofisial maupun penonton.

Welmina menyebut keuntungan dari harga jual buah musiman itu mencapai 100 persen. Misalnya durian yang dibeli seharga Rp25 ribu per buah dari pasar, dijual kepada pembeli Rp50 ribu.

Keuntungan itu relatif sama dengan hasil jual ikan laut, namun dengan usaha yang lebih mudah daripada menangkap ikan. "Kalau ke laut itu biasanya saya berangkat subuh baru pulang malam. Kalau buah kan cukup beli dari pasar saja," katanya.

Berjualan di pinggir Jalan Soa Siu, Kelurahan Mandala, Jayapura Utara merupakan strategi berjualan untuk menarik pasar. Jalan selebar 12 meter itu menjadi koridor utama menuju sejumlah arena penyelenggaraan PON XX Papua.

Selain itu, pedagang buah musiman di lokasi itu masih terhitung jari. Pedagang lainnya banyak ditemukan di sekitar kawasan Bandara Internasional Sentani.

"Buahnya juga khas. Panennya cuma satu kali setahun, kalau musim panas saja," katanya.

Berbeda dengan Jek dan Welmina, Steven (38) konsisten menjual ikan hasil tangkapan dari Laut Papua yang dijajakan dekat Pelabuhan Kota Jayapura. Hasil tangkapan laut itu berupa sako, kakap, bobara, barakuda, belanak, kawalinya, mumar dan cumi-cumi.

Hasil tangkapan laut kemudian diikat menggantung pada rangkaian kayu untuk menarik minat konsumen yang melintas di Jalan Amphibi, Kota Jayapura.
Steven bisa menangkap puluhan ikan dalam sekali melaut sejak terbit hingga terbenam matahari. Teknik menangkap pun menggunakan cara tradisional memanfaatkan jala atau alat pancing.

Selain mendapatkan ikan dari tangkapan laut secara langsung, Steven juga bekerja sama dengan sejumlah pengepul ikan dari pesisir Laut Papua untuk menambah varian di lapak.

Harga ikan beragam mulai dari Rp50 ribu hingga yang termahal seperti barakuda seukuran paha orang dewasa dibanderol Rp350 ribu per ekor.

Secara spesifik, Steven mengincar momentum selebrasi dari prestasi atlet di ajang PON yang kerap identik dengan pesta bakar ikan. "Biasanya kalau perayaan hari besar itu saya bisa bawa pulang keuntungan Rp250 ribu sampai Rp1 juta," katanya.

PON memang pestanya para insan olahraga. Namun, penyelenggaraan hajatan terbesar olahraga nasional ini bukan saja membidik pencapaian prestasi tertinggi sembari menuai bibit-bibit atlet dalam negeri. Banyak berkah dan peluang yang bisa dituai dari PON, seperti yang ditangkap Jek Opide.

Opide membuktikan bahwa Perhelatan empat tahunan PON nyatanya tidak hanya terbatas pada ajang adu gengsi provinsi dalam perlombaan olahraga, tetapi ada harapan yang muncul dari masyarakat setempat dengan beragam profesi mendulang rupiah untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, bahkan bisa jadi untuk tabungan di hari tua atau investasi pendidikan bagi anak-anak mereka. Torang bisa!