MU kembali kesulitan menjaga momentum

id Liga Inggris,Manchester United, Ole Gunnar Solksjaer,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara sumsel hari ini, palemba

MU kembali kesulitan menjaga  momentum

Pemain Arsenal Granit Xhaka berduel dengan striker Manchester United Mason Greenwood dalam pertandingan Liga Inggris di Stadion Emirates, London, Inggris, 30 Januari 2021. (Pool via REUTERS/ALASTAIR GRANT)

Jakarta (ANTARA) - Manchester United memang mencatat rekor baru di Stadion Emirates, Minggu dini hari tadi, kala melawan Arsenal, karena tak terkalahkan dalam 18 pertandingan tandang liga berturut-turut. Tapi bahasa tubuh manajer Ole Gunnar Solksjaer jauh menunjukkan kata puas.

Solksjaer tadinya berharap laga melawan Arsenal menjadi momen bangkit setelah kalah memalukan di kandang sendiri melawan Sheffield United yang menduduki dasar klasemen.

Tekad untuk sedapat mungkin memetik tiga poin di London ditunjukkan Solksjaer dengan tidak menggantikan Scott McTominay yang keluar lapangan karena cedera pada babak pertama dengan sesama gelandang, melainkan dengan striker Anthony Martial.

Praktis hari itu United bermain dengan dua striker, satunya lagi Edinson Cavani.

Tapi apa daya, keberuntungan dan berkurangnya ketajaman, membuat ambisi manajer dari Norwegia itu kandas. United kembali gagal mengalahkan Arsenal dalam enam laga terakhir melawan tim London itu.

"Kami seharusnya memanfaatkan peluang-peluang kami, kami tahu kami memiliki pemain yang melakukan itu, tetapi kami tak melakukannya belakangan ini," kata Solskjaer seperti dikutip BBC.

Untuk kesekian kalinya, United bermain seri 0-0 melawan empat raksasa Liga Inggris.

 
Pemain Sheffield United Oliver Burke (kiri) mencetak gol ke gawang Manchester United dalam laga lanjutan Liga Inggris di Old Trafford, Manchester, Inggri. ANTARA FOTO/Pool via REUTERS/Tim Keeton /foc.


Memang dibandingkan dengan saat melawan Sheffield, MU tampil lebih bergairah. Namun tetap saja kurang gigih, apalagi jika dibandingkan si tetangga Manchester City atau sang juara bertahan Liverpool.

Padahal mereka menghadapi tim Arsenal yang kekuatannya sudah terpangkas tanpa pencetak gol terbaiknya, tanpa bek terbaiknya dan tanpa kreator terhebatnya.

United memang tidak miskin peluang karena beberapa kali nyaris menciptakan gol. Tetapi seperti ada pola yang entah sudah menjadi standard, entah itu hambatan mental atau bahkan kutukan.

Bagaimana tidak, dalam tiga bulan terakhir mereka bermain 0-0 melawan Chelsea, 0-0 lagi dengan Liverpool, juga 0-0 saat ditantang City, dan kini kembali 0-0 saat dijamu Arsenal itu.

Total, sudah enam jam MU bertanding tanpa mencetak satu pun gol melawan keempat raksasa liga.

Terutama setelah kalah 1-2 melawan Sheffield, hasil 0-0 melawan Arsenal sungguh tidak membantu karena sama saja dengan membiarkan Manchester City kian kuat mencengkeram puncak klasemen.


Kurang ngotot

Memang tidak adil menyorot penampilan mengecewakan dalam dua pertandingan terakhir, jika melihat bagaimana tim asuhan Solksjaer merangkak dari tengah klasemen ke empat besar sampai memuncaki klasemen selama beberapa hari.

Namun tetap saja itu tak menghilangkan fakta ada yang hilang dari United, yakni ambisi dan kengototan untuk terus menang yang malah kini konstan diperlihatkan tetangganya, Manchester City.

Jika dibandingkan dengan masa keemasan era Sir Alex Ferguson di mana semua pemain, mulai dari mereka yang menjaga sepertiga pertama lapangan sampai yang bertugas menghunus pedang gol di sepertiga akhir lapangan, yang sama ngototnya untuk menang dan tak mau kebobolan, tim United kali ini gagal memperlihatkan kemerataan dalam ketajaman seperti itu.

Solksjaer yang adalah didikan Sir Alex berusaha memulihkan era sang mentor dengan mengembalikan ciri otentik skuad United, tetapi tidak terlalu berhasil dalam menghadirkan gelandang-gelandang perkasa, terutama yang mengisi kedua sayapnya.

Ketidakhadiran pemain sayap yang kuat dan konstan mendikte lapangan ini acap memaksa United tampil pragmatis melawan tim-tim seperti Manchester City dan Liverpool yang berkiblat kepada mazhab sepak bola menyerang.

Sampai Juergen Klopp pun pernah kesal karena harus menghadapi tim yang semestinya bisa bermain terbuka seperti Liverpool karena pemain-pemain MU berkualitas sama dengan pemain-pemainnya.

Tapi memang United miskin pemain sayap yang setajam dan seberani masa Sir Alex yang konstan mengancam lawan seperti dulu diperlihatkan Ryan Giggs di kiri dan Cristiano Ronaldo di kanan.

Kini United malah sering mengandalkan kedua bek sayapnya, Luke Shaw di kanan dan Aaron Wan-Bissaka di kiri, dalam inisiatif menyerang dan melancarkan tusukan balik kepada lawan.

Tak jarang, bek tengah mereka, Harry Maguire dan Victor Lindelof, aktif merangsek ke depan, tidak saja ketika momen bola mati di kotak penalti lawan.

Gelandang-gelandang tengah MU saat ini lebih sering memotong gerak maju lawan dan membantu pertahanan, kecuali mungkin Fred yang relatif konstan usil mengganggu lawan. Padahal United terkenal memiliki para perusak permainan lawan di tengah lapangan seperti Roy Keane dan Paul Scholes.

United belakangan menghadapi masalah di barisan depan yang tiba-tiba mandul. Marcus Rashford hanya bisa satu gol dalam sembilan laga terakhir, Anthony Martial satu gol dari 11 laga, Mason Greenwood bahkan baru satu gol dari 13 pertandingan.



Takut kalah

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ada perasaan yang dulu tak pernah ditunjukkan United, yakni perasaan takut kalah. Padahal beberapa dekade lalu MU memiliki DNA yang haus menang melawan siapa pun dan dirasakan semua lini.

Perasaan takut kalah ini disorot secara khusus oleh Roy Keane dari laga 0-0 melawan Arsenal. "Saya geleng-geleng kepala melihat United. Mereka hampir kehilangan kepercayaan diri bisa memenangi pertandingan," kata Roy Keane kepada Sky Sports.

Sedangkan mantan bintang Liverpool yang kini komentator Sky Sports, Jamie Carragher, menyayangkan kegagalan MU dalam memanfaatkan momentum justru saat mereka sudah di puncak dan ketika City dna Liverpool dililit krisis cedera.

City malah melewatkan 30 hari tanpa pemain-pemain kuncinya. Tetap saja mereka terus-terusan menang. Bahkan laju sembilan kemenangan City dalam semua kompetisi selama satu bulan penuh selama Januari adalah catatan terbaik sejak liga sepak bola Inggris dibentuk pada 1888.

Tak heran, setelah menang 1-0 melawan Sheffiled, pelatih mereka, Pep Guardiola, menyebut pemain-pemainnya binatang buas karena tak kenal lelah.
 
Sebaliknya, Carragher tak habis pikir United bisa tumbang oleh tim selemah Sheffield United, padahal United dinilainya memiliki “peluang fantastis” untuk kokoh di jalur juara liga.

Dia menganggap United tidak menunjukkan sikap yang dibutuhkan untuk menjuarai liga dengan berkata, “United seperti hampir tidak percaya ada di mana. Orang pun menjadi terus mengatakan United belum siap juara liga atau tidak terlalu bagus.”

Solskjær memang patut diacungi jempol telah menciptakan apa yang disebut The Guardian dengan “soliditas” yang mengantarkan mereka ke papan atas klasemen.

Pertanyaannya kini adalah bagaimana mentranslasikan soliditas itu menjadi tim yang haus menang untuk kemudian mendorong tumpahnya semua potensi terbaik pemain-pemain kreatifnya tanpa kehilangan daya tahan dan konsistensinya.

Tiga pertandingan liga berikutnya dalam dua pekan ke depan melawan Southampton, Everton dan West Ham yang semuanya tim yang sulit dikalahkan, akan menjadi pembuktian apakah “peluang fantastis” itu raib sama sekali atau tetap ada.