Frank Lampard dan kembalinya tradisi kejam Chelsea

id Liga Inggris,Chelsea,Frank Lampard,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara sumsel hari ini, palembang hari ini

Frank Lampard dan kembalinya tradisi kejam Chelsea

Foto arsip 22 Desember 2019 ketika manajer Chelsea Frank Lampard yang dipecat 25 Januari ini memimpin timnya melawan Tottenham Hotspur di Tottenham Hotspur Stadium, London, Inggris. (Action Images via Reuters/JOHN SIBLEY)

Jakarta (ANTARA) - Liga Inggris dibuat geger oleh kabar Frank Lampard dipecat oleh Chelsea setelah 18 bulan bertugas.

Mantan gelandang itu hanya memenangkan dua dari delapan pertandingan terakhirnya di Liga Premier. Dia dipecat kurang dari 24 jam setelah mengalahkan Luton dalam Piala FA .

Padahal saat mereka menunjuk Frank Lampard musim panas 2019, ada indikasi Chelsea berusaha menghentikan siklus bengis pecat memecat pelatih.

Setelah Eden Hazard dijual pada saat tim ini dibelenggu larangan transfer, klub yang sudah 14 kali gonta ganti manajer dalam 16 tahun itu berusaha mencari arah baru.

Penyegaran dan perombakan dilakukan. Manajemen Chelsea tampaknya sudah bersedia menyisihkan waktu dan ruang untuk memperkuat skuad mudanya yang tengah tumbuh kembang. Kebiasaan buruk pecat memecat pelatih sepertinya bakal berakhir.

Lalu Lampard sang legenda Chelsea ditunjuk sebagai sosok yang tepat untuk proyek baru The Blues.

Sekalipun masih hijau dalam hal manajerial, Lampard memiliki kualitas tak terbantahkan dalam mengenali klub ini dan tahu apa yang harus dilalui para pemain muda agar menjadi pemenang pada level-level tinggi.

Mengingat dia sendiri harus melewatkan waktu sembilan tahun sebelum mengangkat trofi pertamanya, Trump tahu pasti soal pentingnya waktu dan kesabaran.

Tetapi akhirnya eksperimen untuk melihat apakah hal baru bisa ditempuh klub London barat ini berakhir ketika Chelsea menghentikan proses itu dengan memecat Lampard 18 bulan setelah ditunjuk jadi manajer.

Penampilan buruk belakangan ini membuat Chelsea tertinggal 11 poin dari pemuncak klasemen. Perburuan mendapatkan pengganti yang bisa seketika menaikkan lagi The Blues pun dimulai.


Awal menggembirakan

Ada keadaan yang sangat dikenal oleh Chelsea dan sekaligus ingin mereka hindari saat mereka mengangkat sang pencetak gol terbanyak sepanjang masa klub ini sebagai manajer musim panas lalu.

Musim pertama Lampard diberi label musim 'transisi'. Sebenarnya si ambisius Lampard tak menyukai istilah ini.

Mencapai empat besar akan luar biasa mengingat situasi yang dihadapi Chelsea saat ini, kata komentator Sky Sports Jamie Redknapp ketika Lampard ditunjuk musim lalu.

Namun Lampard malah berhasil mengantarkan Chelsea finis urutan keempat di mana kemenangan pada hari terakhir atas Wolves mengamankan tempat mereka di Liga Champions. Lampard juga membuat Chelsea masuk final Piala FA.

Di antara yang banyak disorot adalah saat menang mengesankan 1-0 melawan Ajax dalam fase grup Liga Champions, kemudian menang meyakinkan atas Manchester City setelah kompetisi bergulir lagi Juni tahun lalu. Lampard pun dianggap lebih baik dari pada mantan bosnya Jose Mourinho.

Mereka memperlihatkan petunjuk menggembirakan, namun Chelsea mengakhiri musim itu dengan kekalahan 1-4 melawan Bayern Muenchen dan kalah agregat 1-7 dari tim yang akhirnya juara Liga Champions itu.

Laga 16 besar Liga Champions itu yang berbarengan dengan selisih 33 poin dari juara Liga Premier Liverpool, menunjukkan Lampard dan Chelsea masih bisa berbuat banyak.

Kemerosotan pada pertengahan musim tatkala Chelsea kalah lima dari tujuh laga terakhirnya tak lama setelah cuma memenangkan satu dari enam pertandingan Liga Premier, sekonyong-konyong membuat Lampard kesulitan menemukan cara dalam membuka memperbaiki timnya. Dia dianggap tak bisa memetik pelajaran dan ini besar sekali akibatnya.

Musim panas lalu Lampard mau berbicara terbuka mengenai apa yang diperlukan guna membangun mentalitas juara di kalangan pemainnya. Dia dibandingkan dengan masa kepelatihan Juergen Klopp di Liverpool yang mencapai ke level setelah melewati proses jatuh bangun.



Belanja banyak demi mengubah nasib

Direksi Chelsea yang menahan diri tidak aktif pada jendela transfer Januari 2020 meskipun larangan transfer dikurangi dari dua jendela menjadi satu jendela, membuka buku ceknya dalam upaya mempercepat perjalanan klub ke level tertinggi.

Mereka berhasil mengatasi masalah yang muncul , namun belanja besar-besaran itu telah menaikkan ekspektasi terhadap tim.

Ada kelemahan dalam barisan serang mereka. Chelsea menempati peringkat ke-16 di Liga Premier pada 2019/2020 dalam soal memaksimalkan peluang gol. Hal ini memicu belanja sebesar 153 juta pound untuk menarik Timo Werner, Hakim Ziyech dan Kai Havertz yang total menyumbangkan 46 gol dan 26 assist musim sebelumnya.

Chelsea rawan dalam bola mati dan serangan balik. Musim lalu, hanya enam tim Liga Premier yang mengalahkan Chelsea dalam hal kebobolan yang lebih banyak akibat tendangan bebas dan sepak pojok. Tak ada tim yang kebobolan lebih dari delapan gol akibat fast break seperti dialami Chelsea.

The Blues lalu merekrut bek tengah berpengalaman dari Paris St-Germain, Thiago Silva, dalam status bebas transfer tetapi dengan gaji lumayan besar, sedangkan Ben Chilwell yang dibeli seharga 50 juta poud menjadi pilihan pertama di bek kiri.

Kepa Arrizabalaga yang berkinerja buruk dalam menjaga gawang Chelsea digantikan oleh Edouard Mendy yang dibeli seharga 22 juta pound.

Dua kemenangan dalam enam pertandingan pembuka Liga Premier sempat memicu kekhawatiran tetapi begitu catatan berubah menjadi tak terkalahkan dalam 16 pertandingan pada semua kompetisi di mana Chelsea menjuara fase grup Liga Champions dan naik ke puncak klasemen awal Desember, tampaknya Chelsea sudah berada di jalur cepat menuju sukses.

Lampard tidak mau gegabah dan tetap hati-hati. Satu kemenangan dalam enam pertandingan berikutnya di Liga Premier menghadirkan reality check kepada penggemar Chelsea yang sekaligus membuat tim ini meluncur lagi ke bawah.

Dia kembali harus menerima kenyataannya timnya kembali tampil buruk saat dikalahkan Leicester, setelah menang melawan 10 pemain Fulham membangkit lagi asa mereka.



Tak ada kemajuan

Kekalahan dari Manchester City dan Leicester membuat Chelsea tak pernah menang dalam enam pertandingan melawan tim-tim yang saat ini menduduki posisi klasemen di atas mereka. Ini statistik yang mencerminkan taktik sang pelatih kepala keliru.

Gonta ganti formasi tim yang terus terjadi selama beberapa pekan terakhir ternyata tak membantu banyak. Antonio Rudiger yang sudah lama tak dipakai dipromosikan lagi sebagai bek tengah pilihan pertama, Jorginho tiba-tiba kembali ke lini tengah. Lampard bahkan memasang tidak kurang dari 17 kombinasi front three-nya selama pertandingan Liga Premier dan Liga Champions.

Kebobolan makin sering terjadi, rentan bola mati tetap menjadi penyakit, dan menyia-nyiakan peluang terus berlanjut, padahal uang sudah dikeluarkan besar sekali untuk mengatasi semua itu. Akibatnya, tim pun melorot ke posisi kesembilan dalam klasemen Liga Premier setelah mengemas 29 poin. Itu lima tempat dan tiga poin lebih buruk ketimbang yang dicapai Chelsea pada periode sama musim lalu.

Itu statistik yang menjadi pukulan keras untuk taktik yang diadopsi Lampard dan staf pelatihnya. Petunjuk bahwa performa bakal membaik kembali pun sulit ditemukan. Dan ini menjadi fakta yang tercatat dalam siaran pers Chelsea saat mengumumkan pemecatan Lampard.

Roman Abramovich dan direksi Chelsea tak memperkirakan keadaan ini apalagi mereka telah menginvestasikan lebih dari 200 juta pound untuk musim ini.

Alasan Lampard bahwa rekrutan-rekrutan anyar itu belum bisa mengubah performa Chelsea karena ditimpa cedera, virus corona dan masih beradaptasi dengan Liga Premier, tak begitu diterima manajemen.

Tetapi yang paling tidak bisa dikendalikan oleh Lampard adalah waktu. Dia tidak akan menikmati buah dari benih yang sudah dia semai di Chelsea.

Semua pembelaan dirinya terus dimentahkan oleh hasil pertandingan dan oleh karena tidak adanya rencana yang jelas untuk membangkitkan lagi tim.

Meski begitu pemecatan Lampard tetaplah mengejutkan mengingat status dia di Stamford Bridge, tantangan yang selama ini dia hadapi, waktu yang relatif singkat sebagai pelatih, dan terjadi tak lama setelah Chelsea sempat menduduki puncak klasemen musim ini.

Dan Chelsea kembali memperlihatkan perlakuan bengis terhadap manajer yang berkinerja buruk.

Eksperimen bagi pendekatan yang lebih sabar dan berjangka panjang pun berakhir. Sebaliknya, perburuan sang pengganti Lampard demi menciptakan dampak instan pun mulai.

Sumber: Sky Sports