Ancaman Merkuri di tanah "Samawa"
Mataram (ANTARA) - Penggunaan bahan kimia merkuri atau air raksa dari para penambang liar sudah pada taraf yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup warga dan lingkungan di Sumbawa Barat, NTB, demikian Ketua LSM Masyarakat Barisan Muda Membangun Faozan Azima didampingi Sekretaris Barisan Muda Membangun, Zulkarnaen.
Bayangkan saja, Sungai Brang Rea yang berada di daerah tersebut saat ini menjadi tempat pembuangan limbah merkuri hasil penambang tanpa izin (PETI).
Selama ini limbah merkuri dari hasil proses gelondong dan tong oleh para penambang dibuang sembarangan. Meski di lokasi gelondong dan tong dibuatkan bak-bak penampung lumpur, tetap saja seluruh limbah dari gelondong dan tong dibuang ke sungai.
"Kalau tidak ke sungai dibuang begitu saja di sembarang tempat," katanya
Faozan mengatakan jumlah penambang liar di Sumbawa Barat mencapai ribuan orang. Selain warga KSB, para penambang ini bukan asli KSB. Khususnya mereka yang menjadi teknisi.
Kalau dari luar KSB ini rata-rata pendatang dari Tasikmalaya dan Manado. Kalau orang KSB mereka ini disebut teknisinya, katanya.
Berdasarkan data Barisan Muda Membangun KSB, jumlah gelondong di KSB pada tahun 2014 sebanyak 6.019 unit dan jumlah tong sebanyak 100 unit.
Keberadaan gelondong dan tong ini tersebar di Sumbawa Barat yang terbagi dalam beberapa zona penambangan. Terbanyak di daerah Taliwang, Breang Rea dan Seteluk, dan Jereweh.
Faozan mengatakan untuk memperoleh merkuri para penambang membelinya secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari aparat penegak hukum. Meskipun diawal-kemunculan PETI di KSB di tahun 2010, warga masih sangat mudah mendapatkan bahan merkuri. Karena dijual tidak seketat saat ini.
"Kalau pun sekarang sudah diperketat ada saja masih lolos. Makanya dugaan kita penjualan merkuri di KSB dibekingi oleh aparat penegak hukum," tegasnya.
Terkait masih beredarnya merkuri ini, pihaknya juga telah meminta aparat kepolisian untuk menindak bila ada aparat penegak hukum yang membekingi penjualan merkuri di KSB. Bahkan, selain menindak para penjual merkuri, pihaknya pernah memberikan rekomendasi kepada Pemda Sumbawa Barat untuk menghentikan aktivitas pertambangan ilegal tersebut.
Kalau pun tidak bisa dihentikan ada upaya untuk melokalisir tambang rakyat tersebut supaya memudahkan pengawasan.
Beberapa usulan tersebut, di antaranya dibentuknya sistem inti plasma kerja sama dengan perusahaan selaku yang memiliki konsesi lahan. Tambang-tambang rakyat dimintakan setoran pajak untuk menambah PAD.
Perketat penjualan merkuri, perketat penjualan solar untuk digunakan pada mesin gelondong, tutup aktivitas tong dan menutup toko-toko emas. Namun, dari beberapa rekomendasi tersebut yang bisa berjalan hanya pengetatan penjualan merkuri, sedangkan lain tidak ada yang berjalan sama sekali.
"Yang sudah berjalan ini pengetatan merkuri tapi masyarakat teriak," ucapnya.
Ia tidak manampik secara ekonomi keberadaan PETI di KSB sangat menguntungkan bagi perekonomian warga. Sebab, para penambang tidak lagi merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di sisi lain dari aspek lingkungan sangat merugikan, meski efek yang ditimbulkan merkuri tidak langsung dirasakan masyarakat karena butuh proses hingga belasan dan puluhan tahun.
"Mungkin dampaknya tidak sekarang, karena masih jauh. Cuman kalau ini dibiarkan akan berbahaya untuk kelangsungan hidup manusia dan lingkungan," katanya.
Jauh sebelumnya, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram (Unram) menyebutkan pihaknya juga menemukan bayi tanpa anus sebagai dampak dari penggunaan merkuri di PETI kawasan Sumbawa Barat.
PETI ini menyebabkan kelainan bawaan misalnya bayi tidak ada anusnya, bayi yang tidak ada jari-jarinya di tangan, bahkan ada bayi yang tidak mendengar, kata Dr Hamsu Kadryan Dekan FK Unram.
Hal itu, kata dia, akan menjadi masalah kelak ketika si bayi sudah tumbuh besar khususnya dalam bersosialisasi hingga mencari nafkah.
Sementara itu, Wakil Ketua Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati Drwiega, menyebutkan paling tidak terdapat empat sentra pengolahan hasil PETI di Sumbawa Barat yang bisa bebas menggunakan merkuri seperti di Barea dan Lamonga.
Mereka bisa bebas membeli zat merkuri itu di pasaran. "Home industry ini dampaknya fatal, tapi dibiarkan, satu botol kecil harga merkuri Rp1,5 juta," katanya.
Padahal, kata dia, dampak dari penggunaan zat itu di lingkungan tidak bisa hilang serta merta meski mereka telah beralih dalam penggunaannya.
Seperti peristiwa Minamata, Jepang saja lingkungannya membutuhkan waktu 14 tahun untuk bebas dari cairan tersebut.
"Kandungan itu ada di laut hingga di dapur rumah, bayangkan berapa investasi untuk membersihkannya," katanya.
Karena itu, pihaknya berupaya terus untuk memerangi penggunaan merkuri di PETI.
Pemulihan dampak merkuri
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI membuat pernyataan bahwa proses pemulihan wilayah yang terdampak hydrargyrum atau merkuri membutuhkan waktu serta kajian mendalam karena tergolong sulit untuk dilakukan.
"Ya memang pemulihan itu sulit, tapi harus dilakukan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati.
Saat ini kementerian terkait sedang melakukan kegiatan percontohan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang merupakan bekas penambangan emas skala kecil menggunakan merkuri.
Namun, setelah diberikan pengarahan terkait bahaya merkuri, para penambang emas yang bekerja di daerah itu beralih menggunakan teknologi tanpa zat tersebut.
"Tapi tetap saja setelah itu harus dilakukan pemulihan yang membutuhkan kajian dan langkah selanjutnya," tambah dia.
Hasil dari kegiatan percontohan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu diharapkan selesai pada tahun ini. Jika dapat membuahkan hasil maka KLHK akan mereplikasikan di daerah-daerah lain yang terkontaminasi merkuri.
Secara umum masyarakat memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) pasal 28 H yang harus dipenuhi oleh negara.
"Itu yang harus kita jaga. Sehingga pemulihan itu perlu tapi tidak mudah," ujar dia.
Saat ini kementerian terkait sedang mengupayakan sebuah teknologi bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) untuk melakukan pemulihan itu.
Sementara anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala mengatakan lembaga itu memberikan sejumlah saran dan rekomendasi ke KLHK untuk menindaklanjuti Perpres nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional pengurangan dan penghapusan merkuri.
Pertama, Ombudsman meminta KLHK agar membentuk tim sekretariat ruang lingkup RAN yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah serta unsur penegak hukum. Kedua, membuat petunjuk pelaksanaan teknis RAN pengurangan dan penghapusan merkuri.
"Hal ini bertujuan agar diturunkan juga ke daerah," ujarnya.
Selanjutnya, mantan anggota Kompolnas tersebut juga menyarankan KLHK melakukan pemulihan lahan-lahan yang terkontaminasi merkuri.
Bayangkan saja, Sungai Brang Rea yang berada di daerah tersebut saat ini menjadi tempat pembuangan limbah merkuri hasil penambang tanpa izin (PETI).
Selama ini limbah merkuri dari hasil proses gelondong dan tong oleh para penambang dibuang sembarangan. Meski di lokasi gelondong dan tong dibuatkan bak-bak penampung lumpur, tetap saja seluruh limbah dari gelondong dan tong dibuang ke sungai.
"Kalau tidak ke sungai dibuang begitu saja di sembarang tempat," katanya
Faozan mengatakan jumlah penambang liar di Sumbawa Barat mencapai ribuan orang. Selain warga KSB, para penambang ini bukan asli KSB. Khususnya mereka yang menjadi teknisi.
Kalau dari luar KSB ini rata-rata pendatang dari Tasikmalaya dan Manado. Kalau orang KSB mereka ini disebut teknisinya, katanya.
Berdasarkan data Barisan Muda Membangun KSB, jumlah gelondong di KSB pada tahun 2014 sebanyak 6.019 unit dan jumlah tong sebanyak 100 unit.
Keberadaan gelondong dan tong ini tersebar di Sumbawa Barat yang terbagi dalam beberapa zona penambangan. Terbanyak di daerah Taliwang, Breang Rea dan Seteluk, dan Jereweh.
Faozan mengatakan untuk memperoleh merkuri para penambang membelinya secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari aparat penegak hukum. Meskipun diawal-kemunculan PETI di KSB di tahun 2010, warga masih sangat mudah mendapatkan bahan merkuri. Karena dijual tidak seketat saat ini.
"Kalau pun sekarang sudah diperketat ada saja masih lolos. Makanya dugaan kita penjualan merkuri di KSB dibekingi oleh aparat penegak hukum," tegasnya.
Terkait masih beredarnya merkuri ini, pihaknya juga telah meminta aparat kepolisian untuk menindak bila ada aparat penegak hukum yang membekingi penjualan merkuri di KSB. Bahkan, selain menindak para penjual merkuri, pihaknya pernah memberikan rekomendasi kepada Pemda Sumbawa Barat untuk menghentikan aktivitas pertambangan ilegal tersebut.
Kalau pun tidak bisa dihentikan ada upaya untuk melokalisir tambang rakyat tersebut supaya memudahkan pengawasan.
Beberapa usulan tersebut, di antaranya dibentuknya sistem inti plasma kerja sama dengan perusahaan selaku yang memiliki konsesi lahan. Tambang-tambang rakyat dimintakan setoran pajak untuk menambah PAD.
Perketat penjualan merkuri, perketat penjualan solar untuk digunakan pada mesin gelondong, tutup aktivitas tong dan menutup toko-toko emas. Namun, dari beberapa rekomendasi tersebut yang bisa berjalan hanya pengetatan penjualan merkuri, sedangkan lain tidak ada yang berjalan sama sekali.
"Yang sudah berjalan ini pengetatan merkuri tapi masyarakat teriak," ucapnya.
Ia tidak manampik secara ekonomi keberadaan PETI di KSB sangat menguntungkan bagi perekonomian warga. Sebab, para penambang tidak lagi merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di sisi lain dari aspek lingkungan sangat merugikan, meski efek yang ditimbulkan merkuri tidak langsung dirasakan masyarakat karena butuh proses hingga belasan dan puluhan tahun.
"Mungkin dampaknya tidak sekarang, karena masih jauh. Cuman kalau ini dibiarkan akan berbahaya untuk kelangsungan hidup manusia dan lingkungan," katanya.
Jauh sebelumnya, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram (Unram) menyebutkan pihaknya juga menemukan bayi tanpa anus sebagai dampak dari penggunaan merkuri di PETI kawasan Sumbawa Barat.
PETI ini menyebabkan kelainan bawaan misalnya bayi tidak ada anusnya, bayi yang tidak ada jari-jarinya di tangan, bahkan ada bayi yang tidak mendengar, kata Dr Hamsu Kadryan Dekan FK Unram.
Hal itu, kata dia, akan menjadi masalah kelak ketika si bayi sudah tumbuh besar khususnya dalam bersosialisasi hingga mencari nafkah.
Sementara itu, Wakil Ketua Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati Drwiega, menyebutkan paling tidak terdapat empat sentra pengolahan hasil PETI di Sumbawa Barat yang bisa bebas menggunakan merkuri seperti di Barea dan Lamonga.
Mereka bisa bebas membeli zat merkuri itu di pasaran. "Home industry ini dampaknya fatal, tapi dibiarkan, satu botol kecil harga merkuri Rp1,5 juta," katanya.
Padahal, kata dia, dampak dari penggunaan zat itu di lingkungan tidak bisa hilang serta merta meski mereka telah beralih dalam penggunaannya.
Seperti peristiwa Minamata, Jepang saja lingkungannya membutuhkan waktu 14 tahun untuk bebas dari cairan tersebut.
"Kandungan itu ada di laut hingga di dapur rumah, bayangkan berapa investasi untuk membersihkannya," katanya.
Karena itu, pihaknya berupaya terus untuk memerangi penggunaan merkuri di PETI.
Pemulihan dampak merkuri
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI membuat pernyataan bahwa proses pemulihan wilayah yang terdampak hydrargyrum atau merkuri membutuhkan waktu serta kajian mendalam karena tergolong sulit untuk dilakukan.
"Ya memang pemulihan itu sulit, tapi harus dilakukan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati.
Saat ini kementerian terkait sedang melakukan kegiatan percontohan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang merupakan bekas penambangan emas skala kecil menggunakan merkuri.
Namun, setelah diberikan pengarahan terkait bahaya merkuri, para penambang emas yang bekerja di daerah itu beralih menggunakan teknologi tanpa zat tersebut.
"Tapi tetap saja setelah itu harus dilakukan pemulihan yang membutuhkan kajian dan langkah selanjutnya," tambah dia.
Hasil dari kegiatan percontohan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu diharapkan selesai pada tahun ini. Jika dapat membuahkan hasil maka KLHK akan mereplikasikan di daerah-daerah lain yang terkontaminasi merkuri.
Secara umum masyarakat memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) pasal 28 H yang harus dipenuhi oleh negara.
"Itu yang harus kita jaga. Sehingga pemulihan itu perlu tapi tidak mudah," ujar dia.
Saat ini kementerian terkait sedang mengupayakan sebuah teknologi bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) untuk melakukan pemulihan itu.
Sementara anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala mengatakan lembaga itu memberikan sejumlah saran dan rekomendasi ke KLHK untuk menindaklanjuti Perpres nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional pengurangan dan penghapusan merkuri.
Pertama, Ombudsman meminta KLHK agar membentuk tim sekretariat ruang lingkup RAN yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah serta unsur penegak hukum. Kedua, membuat petunjuk pelaksanaan teknis RAN pengurangan dan penghapusan merkuri.
"Hal ini bertujuan agar diturunkan juga ke daerah," ujarnya.
Selanjutnya, mantan anggota Kompolnas tersebut juga menyarankan KLHK melakukan pemulihan lahan-lahan yang terkontaminasi merkuri.