Kuala Lumpur (ANTARA) - Terdapat sejumlah pekerjaan rumah (PR) dalam hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia hingga di pengujung 2024.

Dari isu yang berkaitan dengan pekerja migran hingga garis batas dua negara, masih menjadi PR, yang perlu diselesaikan oleh dua negara bertetangga ini.

Dalam hal pekerja migran, yang kentara adalah masih adanya warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja secara nonprosedural di Malaysia.

Dari perkiraan puluhan ribu WNI yang dideportasi sepanjang 2024, berdasarkan hasil wawancara ANTARA dengan sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI), masih ada saja dari mereka yang masuk sebagai turis, namun sebetulnya bekerja di Malaysia.

Ada pula yang masuk melalui jalur ilegal, menyeberangi Selat Malaka dengan perahu kayu ke Malaysia. Atau, jalur-jalur tidak resmi di Kalimantan.

Ada pula yang mengaku secara sadar menempuh jalan itu dan mengambil segala risikonya, termasuk akhirnya tertangkap aparat Malaysia dan kemudian diproses hukum, harus merasakan berbulan-bulan mendekam di “hotel prodeo”, lalu dideportasi.

Namun ada pula yang mengaku tertipu oleh oknum-oknum agen penempatan tenaga kerja, seperti Sanjaya Ariopan (24) asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sempat bekerja di ladang sawit. Gaji yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan pada awal penempatan kerja.

Tanpa berpikir panjang, kemudian ramai-ramai malah kabur dari tempat kerja, tidak membawa paspor dan dokumen kerja lainnya. Seketika itu pula ia dan rekan-rekannya berstatus ilegal dan justru memperumit hidup mereka di negeri orang.

Sanjaya mengaku takut dan was-was untuk pergi keluar lokasi kerjanya yang baru setelah berubah status menjadi pekerja migran nonprosedural. Karena khawatir akan diamankan oleh aparat setempat, akhirnya ketakutan yang terjadi.

Pada akhirnya, masih adanya pekerja migran nonprosedural itu justru membuat Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel System) yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia, yang satu-satunya kanal legal untuk mekanisme perekrutan dan penempatan tenaga kerja Indonesia sektor domestik ke Malaysia yang sudah berjalan sejak 1 September 2022, menjadi tidak bisa optimal memberikan pelindungan bagi pekerja migran Indonesia.

Pekerja migran Indonesia nonprosedural tentu menjadi rentan, tidak memiliki posisi tawar ketika menghadapi persoalan di tempat kerja, mulai dari tidak menerima gaji hingga mendapatkan kekerasan fisik. Terlebih lagi jika harus menghadapi proses hukum yang panjang.

Perdana Menteri Anwar Ibrahim usai menerima Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan memberikan jaminan bahwa Malaysia tetap berkomitmen meningkatkan pelindungan hak asasi dan kesejahteraan lebih dari 500.000 pekerja migran Indonesia di negaranya.


Penanganan di Malaysia

Di Malaysia, sepanjang 2024, Jabatan Imigresen Malaysia (JIM) dan aparat penegak hukum lainnya gencar melakukan operasi Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) di seluruh negeri. Tentu saja pekerja migran Indonesia nonprosedural juga banyak ikut terjaring, termasuk Ariopan dan rekan-rekannya.

Dari Januari hingga pertengahan tahun 2024 saja sudah ada 76.477 warga asing dari berbagai negara yang dirazia. Sebanyak 20.207 di antaranya tidak memiliki dokumen keimigrasian, melebihi masa tinggal, maupun menyalahgunakan izin.

Pada jangka waktu yang sama, Malaysia menahan 456 majikan yang kedapatan membawa masuk dan mempekerjakan warga asing tanpa dokumen.

Prinsip ekonomi suplai dan permintaan juga berlaku di sana. Ada suplai ketika ada permintaan. Pekerja migran Indonesia membutuhkan kerja yang tidak tersedia di Tanah Air, sedangkan majikan di Malaysia sangat membutuhkan tenaga kerja.

Tidak hanya menangkap pekerja migran, aparat Malaysia juga menangkap warga negara Indonesia (WNI) maupun warga Malaysia yang diduga terlibat dalam sindikat penyelundupan migran ke negara tersebut. 


Hingga Oktober 2024, Menteri Dalam Negeri Malaysia Saifuddin Nasution Ismail mengatakan pihaknya telah menangkap 47 sindikat yang memasukkan warga asing secara ilegal ke negaranya. Penangkapan itu dilakukan terhadap 1.285 anggota sindikat dan PATI.

Pada saat yang sama, pada masa Pemerintahan Madani di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, pencegahan dan pemberantasan korupsi digencarkan, termasuk meningkatkan pemantauan terhadap petugas-petugas Imigrasi di pintu-pintu masuk negara.

Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) yang merupakan Komisi Pemberantasan Korupsi milik Malaysia pada September lalu menangkap setidaknya 50 oknum petugas imigrasi yang diduga terlibat dalam sindikat counter setting.

Saifuddin mengatakan Pemerintah Malaysia menyikapi serius persoalan sindikat counter setting atau pengaturan yang dilakukan oknum petugas imigrasi di titik perbatasan untuk memasukkan warga asing tanpa dokumen sah.

Pendidikan anak PMI

Persoalan pekerja migran Indonesia di Malaysia tidak sederhana yang dibayangkan. Tidak hanya soal pekerja migran nonprosedural, tapi juga soal keluarganya.

Aturan hukum Malaysia melarang pekerja migran untuk menikah selama masih terikat kontrak kerja. Mereka juga tidak dibolehkan membawa keluarganya ke Malaysia.

Persoalan muncul ketika mereka--pekerja migran Indonesia yang legal maupun yang ilegal--menikah secara agama dan kemudian memiliki anak dari pernikahan itu. Dengan pernikahan tidak terdaftar secara legal membuat buah hati mereka tidak memiliki dokumen kelahiran.

Ada pula yang nekat membawa keluarganya. Padahal konsekuensinya anak-anak mereka justru sulit mendapat akses pendidikan hingga kesehatan.

Tidak jarang ditemui anak-anak pekerja migran Indonesia dalam usia yang sudah menginjak remaja namun belum bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Masalah pendidikan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia menjadi salah satu isu penting yang menjadi pembahasan kerja sama dengan Malaysia.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi saat melakukan kunjungan kerja ke Kuala Lumpur dan menemui Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan turut membahas isu pendidikan bagi anak pekerja migran Indonesia.

Terdapat 57 sanggar bimbingan yang merupakan bagian dari Indonesian Community Center (ICC), yang tersebar di Semenanjung Malaysia, terbuka bagi anak-anak pekerja migran Indonesia untuk mendapatkan hak pendidikan dasar.

Sanggar-sanggar bimbingan tersebut memungkinkan anak-anak di sana mengikuti ujian paket A untuk bisa lulus sekolah dasar (SD), ujian paket B untuk bisa lulus sekolah menengah pertama (SMP), dan ujian paket C untuk bisa lulus sekolah menengah atas (SMA) dan akhirnya dapat meneruskan pendidikan di tanah air.

Itu sekaligus menjadi salah satu cara untuk membawa mereka kembali ke Tanah Air.

Dalam dua kali pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di 2023, isu pemenuhan pendidikan dasar anak-anak pekerja migran Indonesia selalu diutarakan. Namun, permintaan agar Community Learning Center (CLC) yang sudah ada di Sabah dan Sarawak juga dapat diadakan di Semenanjung tampaknya masih menjadi PR bagi Pemerintah.



Batas RI-Malaysia

Dalam pertemuan PM Anwar Ibrahim dengan Menlu Retno juga membahas isu perbatasan Malaysia dan Indonesia. Kedua negara senada untuk semakin intensif mengupayakan dan melakukan diskusi guna mencapai kesepakatan dan penyelesaian yang win-win, khususnya terkait perbatasan Sabah dan Kalimantan Utara yang sedang dalam tahap penyelesaian.

Persoalan garis perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara sudah selesai menyusul tercapainya kesepakatan yang akan dapat segera dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) formal. Negosiasi dua garis perbatasan darat, yaitu di Pulau Sebatik dan garis Sinapad-Sesai di Pulau Kalimantan, telah selesai dan siap disahkan melalui MoU.

Terkait dengan batas darat pula, khususnya di segmen West Pillar ke AA-2 (di Pulau Sebatik), proses teknis sudah mencapai tahap akhir, kata dia.

Dengan demikian, garis batas yang membagi Pulau Sebatik menjadi bagian Indonesia di Provinsi Kalimantan Utara dan Malaysia di negara bagian Sabah dapat segera ditetapkan.

Langkah selanjutnya, kedua pihak akan menyiapkan field plan yang akan digunakan sebagai lampiran MoU, kata Retno kala itu, menambahkan terkait segmen perbatasan darat West Pillar ke AA-2.

Sementara pada segmen perbatasan laut, Retro mengatakan bahwa negosiasi masih dilanjutkan untuk kawasan intertidal dan gap area di Laut Sulawesi.

Ia mengharapkan ada komitmen yang lebih kuat dari kedua belah pihak dalam perundingan batas maritim untuk memperoleh hasil yang baik dan saling menguntungkan.

Terkait soal penangkapan kapal nelayan yang melibatkan warga Malaysia dan Indonesia, kedua negara akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan setiap pembahasan atau permohonan adalah tunduk pada ketetapan dalam Nota Kesepahaman (MoU) Common Guidelines.

PR Indonesia-Malaysia masih cukup banyak dan kompleks. Pertemuan dua pemimpin pemerintahan yang sempat tertunda di Langkawi, Malaysia, tentu diharapkan dapat segera terjadi dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang masih terjadi dalam hubungan bilateral dua negara.

 

Editor: Achmad Zaenal M

 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: PR Indonesia-Malaysia di pengujung 2024



 


Pewarta : Virna P Setyorini
Editor : Syarif Abdullah
Copyright © ANTARA 2025