Bandung (ANTARA) - Sungai Citarum, urat nadi kehidupan bagi jutaan masyarakat Jawa Barat, menyimpan kisah panjang peradaban yang terukir di sepanjang alirannya.

Dari hulu di Gunung Wayang hingga muaranya di Laut Jawa, Citarum menjadi saksi bisu perjalanan manusia, budaya, dan kerajaan-kerajaan besar di masa lampau.

Sungai Citarum telah melalui berbagai fase kehidupan. Ratusan ribu tahun yang lalu, terjadi peristiwa letusan sebuah gunung purba berjuluk Gunung Sunda.

Letusannya begitu kuat sehingga gunung itu pun lenyap dan mengubah bentang alam wilayah di sekitarnya bekas kaldera Gunung Sunda menjadi Danau Bandung Purba, sedangkan di timurnya kemudian berkembang Gunung Tangkuban Parahu.

Pada masa-masa setelahnya, Danau Bandung Purba secara berangsur terbagi dan menyusut. Debit airnya kemudian menjadi bagian dari aliran Sungai Citarum.

Bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang alirannya, Citarum bukan hanya sungai biasa. Citarum adalah sumber kehidupan, budaya, dan identitas. Airnya mengairi sawah, menggerakkan roda industri, dan menjadi sumber air minum bagi jutaan penduduk.

Citarum telah menjadi saksi bisu perkembangan peradaban di wilayah Jawa Barat. Sungai ini bukan hanya penting sebagai sumber air, melainkan juga sebagai penghubung berbagai budaya dan aktivitas manusia sepanjang masa.

Namun, Citarum juga menghadapi berbagai tantangan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menjadi ancaman serius bagi kelestarian akan kebudayaan dari sungai ini.

Hal ini yang membuat Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah IX Provinsi Jawa Barat menggagas jejak pelestarian budaya yang bertajuk Cerita Citarum dengan melibatkan pegiat budaya, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), hingga tokoh adat setempat.

Cerita Citarum sendiri merupakan sebuah catatan perjalanan ekspedisi dengan menyusuri peninggalan budaya dari hulu di Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, hingga hilir tepat di Muara Pakis, Kabupaten Karawang, yang telah membentuk berbagai warisan budaya yang ada hingga saat ini.

Tersembunyi di balik rimbunnya hutan lindung di kaki Gunung Wayang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terdapat sebuah danau menawan bernama Situ Cisanti. Keindahan alamnya yang memesona bukan satu-satunya daya tarik Situ Cisanti.

Danau ini menyimpan sejarah panjang dan menjadi titik awal peradaban yang dialiri oleh nadi kehidupan, Sungai Citarum.

Situ Cisanti dikelilingi oleh panorama alam yang asri dan menyejukkan mata. Hutan lindung yang rimbun menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna. Danau ini merupakan hulu Sungai Citarum, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat, yang dikenal sebagai "Ibu Citarum” yang memiliki luas kurang lebih 5 hektare dan berada di lahan seluas 10 hektare di Kawasan Perhutani.

Situ Cisanti menampung tujuh aliran mata air yaitu Pangsiraman, Cikoleberes, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan Cisanti, mengalir sepanjang 297 kilometer, mengairi sawah dan menjadi sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat.
 

Satu dari tujuh mata air yang keluar dari Situ Cisantu untuk mengairi Sungai Citarum. ANTARA/Rubby Jovan

Bagi masyarakat Sunda, Situ Cisanti memiliki nilai spiritual yang tinggi. Di sini, terdapat petilasan Prabu Siliwangi, raja Sunda legendaris. Konon ia bertapa di tempat ini sebelum masuk Islam. Legenda lain menceritakan tentang Dipati Ukur, seorang panglima perang Sunda yang bersembunyi di Situ Cisanti saat dikejar oleh pasukan Belanda.

Sebagai hulu Sungai Citarum, Situ Cisanti memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga kebersihan danau dan sekitarnya, seperti revitalisasi air danau, edukasi bagi masyarakat dan wisatawan, serta penanaman pohon hingga ikan di kawasan danau.

Sekretariat Satgas Citarum, Sandhi Firmansyah, menyampaikan bahwa revitalisasi Situ Cisanti merupakan kelanjutan dari SK Menteri Kehutanan Nomor 195 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa status Gunung Wayang sebagai hutan lindung yang perlu dilestarikan.

Selanjutnya tepat pada Februari 2018 kawasan tersebut dilakukan pembersihan oleh TNI sebagai program Citarum Harum yang digagas oleh Pemerintah Pusat kala itu.

“Dulu airnya agak kehijauan karena banyak eceng gondok tumbuh, tetapi sejak 2018, para petugas dari TNI yang membersihkan kawasan Situ Cisanti juga menanam bibit ikan mas dan mengeluarkan aturan tidak diperbolehkan adanya aktivitas memancing untuk menjaga kelestariannya,” kata dia.

Meskipun ada tantangan, harapan untuk menjaga keasrian Situ Cisanti tetaplah besar. Dengan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, Situ Cisanti dapat dilestarikan sebagai sumber kehidupan, budaya, dan wisata bagi generasi sekarang dan masa depan.

 

Citarum pernah jadi jalur perdagangan

Di balik panjang aliran Sungai Citarum, tersimpan kisah pelabuhan bersejarah bernama Cikaobandung. Pelabuhan ini, yang terletak di Desa Cikao Bandung, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, ini pernah menjadi saksi bisu kejayaan perdagangan di Indonesia pada abad ke-18.

Pada masa itu, Pelabuhan Cikaobandung berperan penting sebagai jalur transit utama untuk bahan-bahan hasil bumi dari berbagai daerah di Jawa Barat, terutama Priangan Timur menuju Batavia.

Pada masa Hindia Belanda, Pelabuhan Cikaobandung menjadi salah satu pusat perdagangan utama yang memanfaatkan strategisnya posisi Sungai Citarum. Pelabuhan ini terletak di sepanjang aliran sungai, yang memungkinkan kapal-kapal dagang untuk berlabuh dan melakukan aktivitas bongkar muat.

Pelabuhan Cikaobandung memainkan peran penting dalam distribusi hasil bumi seperti kopi, teh, karet, dan rempah-rempah. Komoditas ini diangkut melalui Sungai Citarum menuju pelabuhan, kemudian diekspor ke berbagai penjuru dunia.

Di sekitar pelabuhan, dulu terdapat gudang-gudang besar untuk menyimpan hasil bumi yang ramai dikunjungi pedagang, dan permukiman penduduk sekitar.

Kepala Bidang Kebudayaan Pada Disporaparbud Kabupaten Purwakarta Wawan Supriatna kepada ANTARA, menjelaskan seiring dengan  berjalannya waktu, peran Pelabuhan Cikaobandung mulai tergeser oleh pembangunan infrastruktur transportasi darat seperti jalan raya dan rel kereta api yang membuat pelabuhan ini perlahan mulai meredup dan hilang.

Setelah zaman terus berkembang sehingga Pelabuhan Cikaobandung sudah mulai tidak digunakan lagi, bahkan sekarang kan tidak bekas bangunan hanya ada bukti-bukti seperti foto-foto pada zaman Hindia Belanda.

Meskipun Pelabuhan Cikaobandung kini tinggal kenangan, penting untuk mengingat dan menghargai peran strategis yang pernah dimainkan oleh Sungai Citarum dalam sejarah ekonomi pada masa lampau.

Pelabuhan Cikaobandung dan Sungai Citarum adalah dua elemen yang tak terpisahkan dalam sejarah. Meskipun pelabuhan tersebut kini hanya tersisa dalam cerita dan foto-foto lama, peran strategis Sungai Citarum tetap hidup hingga kini.


Peran Citarum dalam perkembangan Candi Batujaya

Terletak di hilir Sungai Citarum, Kompleks Candi Batujaya tidak hanya sebuah situs arkeologi, tetapi juga saksi bisu dari kejayaan masa lalu yang berhubungan erat dengan sungai yang mengalir di dekatnya.

Candi Batujaya, terletak di Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, merupakan kompleks candi Buddha yang diduga dibangun antara abad ke-5 hingga abad ke-7 Masehi.

Penemuan situs pertama kali diteliti oleh Tim Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1984. Sejak awal penelitian hingga 2013, telah ditemukan 39 sisa bangunan purbakala, sebagian besar merupakan bagian dari struktur candi.

Kompleks percandian ini terdiri dari puluhan struktur candi, stupa, dan bangunan lainnya yang tersebar di area seluas sekitar 5 hektare. Beberapa candi yang terkenal di antaranya adalah Candi Jiwa dan Candi Blandongan.

Sebagai hilir dari Sungai Citarum, Percandian Batujaya memanfaatkan sungai ini sebagai jalur transportasi utama. Sungai Citarum berperan penting dalam pembangunan, distribusi barang serta sebagai sarana komunikasi antara Batujaya dengan daerah lainnya.

“Jadi, aliran Sungai Citarum memang dimanfaatkan untuk mengambil bahan dasar dari pembangunan candi yaitu stuko melalui kapal-kapal pengangkut yang berjarak kurang lebih 50 kilometer dari kompleks percandian ini,” kata Peneliti BRIN Agus kepada ANTARA.

Menelusuri jejak Percandian Batujaya adalah perjalanan menembus waktu, yang mengungkapkan bagaimana manusia dahulu hidup, berinteraksi, dan membangun peradaban di tepi sungai yang kini terus mengalir, menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan.

Pelestarian Cerita Citarum menjadi salah satu kegiatan untuk menyelamatkan warisan budaya, bagaimana ke depan generasi penerus dapat menjaga kelestarian sungai ini agar terus mengalirkan kehidupan dan menjadi jejak peradaban yang dapat tersimpan dengan baik.

“Pendekatan yang dilakukan oleh BPK IX bertujuan untuk memantik adanya suatu kegiatan yang dapat menggambarkan ekosistem budaya di Sungai Citarum, baik budaya masa lalu melalui cagar budaya, maupun budaya yang masih berlanjut lewat obyek pemajuan kebudayaan,” kata Kepala BPK Wilayah IX Jabar Dwi Ratna.

Sungai Citarum bukan hanya tentang masa lalu, melainkan juga tentang masa depan yang berkelanjutan. Melalui upaya konservasi dan pengelolaan yang bijak, sungai ini dapat terus menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Jawa Barat dan Indonesia.

Editor: Achmad Zaenal M


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusuri jejak peradaban Sungai Citarum dari hulu ke hilir

Pewarta : Rubby Jovan Primananda
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024