Jakarta (ANTARA) - Generasi Z, sekelompok orang lahir pada rentang tahun 1997 hingga tahun 2012 yang tumbuh di era digital, menjadi generasi paling terpelajar dan mahir digital sehingga mengalahkan generasi yang pernah ada.
Generasi tersebut tumbuh dengan menggunakan ponsel pintar, internet, dan media sosial sejak mereka masih sangat muda sehingga mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Sensus penduduk 2020 mencatat Generasi Z mendominasi jumlah penduduk Indonesia dari total populasi sebesar 270,2 juta jiwa. Generasi Z yang lahir antara tahun 1997-2012 sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94 persen), disusul Generasi Milenial yang lahir antara antara 1981 dan 1996 dengan jumlah populasi sebesar 69,38 juta jiwa (25,87 persen).
Corey Seemiller dan Meghan Grace, penulis buku Generation Z: A Century in the Making, menyebut Gen Z adalah generasi yang menghargai keberagaman serta dibentuk oleh perubahan sosial dan teknologi.
Gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh dengan smartphone dan media sosial. Anak-anak muda alias Gen Z yang jadi populasi terbanyak di dunia memiliki karakteristik yang dapat menjadi peluang dalam hidup mereka.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia (UI) Tara De Thouars menuturkan, generasi Z adalah orang-orang yang punya pemikiran lebih terbuka sehingga bisa menghargai berbagai pandangan dan mudah menerima keberagaman.
Tara memaparkan, berdasarkan studi yang dilakukan oleh McKinsey (2018), perilaku Gen Z dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen besar. Salah satunya adalah Gen Z disebut sebagai “the undefined ID”, dimana generasi ini menghargai ekspresi setiap individu tanpa memberi label tertentu.
Pencarian akan jati diri, membuat Gen Z memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan tiap individu."Anak muda kalau melihat sesama Gen Z berani menunjukkan keunikan mereka lewat ketertarikan yang mereka jalan. Bahkan itu jadi daya tarik untuk ditunjukkan ke dunia," jelas dia.
Karakteristik pikiran terbuka ini bisa menjadi peluang untuk gen Z dalam menjalankan apa yang mereka sukai. Gen Z bisa menunjukkan apa keunikan mereka masing-masing hingga membuka banyak pintu peluang.
Gen-Z bukan hanya konsumen pasif konten digital, mereka juga berperan aktif sebagai produsen, menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk berbagi kreasi kreatif. Kemampuan adaptasi mereka terhadap fitur digital terbaru dan keahlian dalam mengatasi tantangan teknologi menempatkan mereka di garis depan inovasi digital.
Minus bahagia
Gen Z adalah generasi yang lahir dengan kemajuan teknologi pesat sehingga kondisi tersebut menyebabkan generasi Z dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah bahkan generasi ini cenderung rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
World Happiness Report 2024 menyoroti tingkat kebahagiaan penduduk muda yang berusia di bawah 30 tahun. Termasuk di dalamnya milenial, yang lahir antara 1981 hingga 1996 dan Gen Z yang lahir antara 1997 hingga 2012. Dalam laporan tersebut diungkapkan bahwa penduduk muda di sejumlah negara kurang bahagia dibandingkan dengan penduduk tua di atas 60 tahun, atau generasi baby boomers yang lahir pada 1946 - 1964.
Sedangkan dari sebuah survei lainnya dilakukan oleh Gallup bersama dengan Walton Family Foundation ini mengumpulkan data lebih dari 2.000 orang Amerika dari Generasi Z (usia 12 hingga 26 tahun) meringkas bahwa Gen Z mengalami masa yang lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya pada usia mereka.
Orang-orang Gen Z yang berusia 18 hingga 26 tahun cenderung tidak menilai kehidupan mereka secara positif dibandingkan generasi yang lebih tua ketika mereka berada dalam rentang usia tersebut.
Penelitian baru dari studi Gallup-Walton Family Foundation Voices of Gen Z, yang dikembangkan bersama pakar kebahagiaan Arthur C. Brooks, menawarkan lebih banyak wawasan kepada kelompok Gen Z itu dan menyarankan cara untuk meningkatkan kebahagiaan mereka.
Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar tiga perempat dari Gen Z – anak-anak dan dewasa muda yang lahir antara tahun 1997 dan 2012 – mengatakan mereka sangat bahagia (25 persen) atau agak bahagia (48 persen).
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa selain seperempat dari Gen Z yang tidak bahagia, sekitar seperempat dari Gen Z tidak selalu merasa bahwa hidup mereka penting, sekitar setengahnya sering merasa cemas, dan kira-kira satu dari lima sering merasa depresi.
Bagi Kelompok ini melakukan aktivitas sehari-hari yang mereka anggap menarik, memotivasi, atau penting dapat memberi generasi Z jalan yang dapat diandalkan menuju kebahagiaan.
Selain itu, survei tersebut menemukan bahwa tidur yang cukup dan periode relaksasi yang cukup selama seminggu merupakan faktor yang dapat memprediksi kebahagiaan Gen Z secara keseluruhan. Meskipun survei ini dilakukan kepada G Z di Amerika Serikat, perilaku tersebut terjadi secara universal.
Bonus Demografi
Dibalik sederet kekurangan yang dikaitkan dengan keterbatasan berinteraksi sosial dan masalah kesehatan mental, Generasi Z tetap dinilai jauh lebih unggul dan visioner.
Selain Gen Z menjadi kelompok paling melek teknologi, kemahiran digital yang dimiliki telah membuka wawasan dalam menyikapi permasalahan yang berkembang mulai dari lingkup terkecil sampai pada isu global.
Bila generasi sebelumnya sering kali terjebak dalam pengelolaan privasi digital yang buruk, maka berbeda halnya dengan generasi Z yang tumbuh dengan pemahaman yang tajam tentang batas antara publik dan pribadi di dunia maya.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia Tara de Thouars, BA, M.Psi mengatakan bahwa Gen Z menjadi kelompok usia yang paling rentan mengalami masalah mental sehingga memerlukan dukungan yang tepat termasuk dari keluarga agar potensi dirinya keluar.
"Semua Gen Z punya ciri, karakter yang kuat. Kalaupun potensi itu ada tapi tidak didukung, tidak dipupuk ya tidak akan keluar," kata Tara beberapa waktu lalu.
Tara mengingatkan Gen Z menghadapi banyak tantangan. Walaupun begitu, mereka tetap mencoba tetap produktif dan menjaga kesehatan mentalnya.
Peran orang tua dan pembuat kebijakan menjadi sangat penting untuk memberi pengaruh psikologi dalam pendidikan bagi generasi Z dengan aktif mendukung kesehatan mental serta kepercayaan diri mereka.
Generasi Z menjadi tumpuan masa depan yang kelak membawa Indonesia pada era Emas 2045. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70 persen dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Bonus demografi menjadi masa keemasan bagi usia 15-64 tahun, termasuk Gen Z yang dapat memanfaatkan peluang ini dengan baik untuk menghapus kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, serta kriminalitas yang tinggi memasuki satu abad usia Indonesia tercinta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyiapkan generasi Z mahir digital serta mental yang sehat
Generasi tersebut tumbuh dengan menggunakan ponsel pintar, internet, dan media sosial sejak mereka masih sangat muda sehingga mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Sensus penduduk 2020 mencatat Generasi Z mendominasi jumlah penduduk Indonesia dari total populasi sebesar 270,2 juta jiwa. Generasi Z yang lahir antara tahun 1997-2012 sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94 persen), disusul Generasi Milenial yang lahir antara antara 1981 dan 1996 dengan jumlah populasi sebesar 69,38 juta jiwa (25,87 persen).
Corey Seemiller dan Meghan Grace, penulis buku Generation Z: A Century in the Making, menyebut Gen Z adalah generasi yang menghargai keberagaman serta dibentuk oleh perubahan sosial dan teknologi.
Gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh dengan smartphone dan media sosial. Anak-anak muda alias Gen Z yang jadi populasi terbanyak di dunia memiliki karakteristik yang dapat menjadi peluang dalam hidup mereka.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia (UI) Tara De Thouars menuturkan, generasi Z adalah orang-orang yang punya pemikiran lebih terbuka sehingga bisa menghargai berbagai pandangan dan mudah menerima keberagaman.
Tara memaparkan, berdasarkan studi yang dilakukan oleh McKinsey (2018), perilaku Gen Z dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen besar. Salah satunya adalah Gen Z disebut sebagai “the undefined ID”, dimana generasi ini menghargai ekspresi setiap individu tanpa memberi label tertentu.
Pencarian akan jati diri, membuat Gen Z memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan tiap individu."Anak muda kalau melihat sesama Gen Z berani menunjukkan keunikan mereka lewat ketertarikan yang mereka jalan. Bahkan itu jadi daya tarik untuk ditunjukkan ke dunia," jelas dia.
Karakteristik pikiran terbuka ini bisa menjadi peluang untuk gen Z dalam menjalankan apa yang mereka sukai. Gen Z bisa menunjukkan apa keunikan mereka masing-masing hingga membuka banyak pintu peluang.
Gen-Z bukan hanya konsumen pasif konten digital, mereka juga berperan aktif sebagai produsen, menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk berbagi kreasi kreatif. Kemampuan adaptasi mereka terhadap fitur digital terbaru dan keahlian dalam mengatasi tantangan teknologi menempatkan mereka di garis depan inovasi digital.
Minus bahagia
Gen Z adalah generasi yang lahir dengan kemajuan teknologi pesat sehingga kondisi tersebut menyebabkan generasi Z dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah bahkan generasi ini cenderung rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
World Happiness Report 2024 menyoroti tingkat kebahagiaan penduduk muda yang berusia di bawah 30 tahun. Termasuk di dalamnya milenial, yang lahir antara 1981 hingga 1996 dan Gen Z yang lahir antara 1997 hingga 2012. Dalam laporan tersebut diungkapkan bahwa penduduk muda di sejumlah negara kurang bahagia dibandingkan dengan penduduk tua di atas 60 tahun, atau generasi baby boomers yang lahir pada 1946 - 1964.
Sedangkan dari sebuah survei lainnya dilakukan oleh Gallup bersama dengan Walton Family Foundation ini mengumpulkan data lebih dari 2.000 orang Amerika dari Generasi Z (usia 12 hingga 26 tahun) meringkas bahwa Gen Z mengalami masa yang lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya pada usia mereka.
Orang-orang Gen Z yang berusia 18 hingga 26 tahun cenderung tidak menilai kehidupan mereka secara positif dibandingkan generasi yang lebih tua ketika mereka berada dalam rentang usia tersebut.
Penelitian baru dari studi Gallup-Walton Family Foundation Voices of Gen Z, yang dikembangkan bersama pakar kebahagiaan Arthur C. Brooks, menawarkan lebih banyak wawasan kepada kelompok Gen Z itu dan menyarankan cara untuk meningkatkan kebahagiaan mereka.
Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar tiga perempat dari Gen Z – anak-anak dan dewasa muda yang lahir antara tahun 1997 dan 2012 – mengatakan mereka sangat bahagia (25 persen) atau agak bahagia (48 persen).
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa selain seperempat dari Gen Z yang tidak bahagia, sekitar seperempat dari Gen Z tidak selalu merasa bahwa hidup mereka penting, sekitar setengahnya sering merasa cemas, dan kira-kira satu dari lima sering merasa depresi.
Bagi Kelompok ini melakukan aktivitas sehari-hari yang mereka anggap menarik, memotivasi, atau penting dapat memberi generasi Z jalan yang dapat diandalkan menuju kebahagiaan.
Selain itu, survei tersebut menemukan bahwa tidur yang cukup dan periode relaksasi yang cukup selama seminggu merupakan faktor yang dapat memprediksi kebahagiaan Gen Z secara keseluruhan. Meskipun survei ini dilakukan kepada G Z di Amerika Serikat, perilaku tersebut terjadi secara universal.
Bonus Demografi
Dibalik sederet kekurangan yang dikaitkan dengan keterbatasan berinteraksi sosial dan masalah kesehatan mental, Generasi Z tetap dinilai jauh lebih unggul dan visioner.
Selain Gen Z menjadi kelompok paling melek teknologi, kemahiran digital yang dimiliki telah membuka wawasan dalam menyikapi permasalahan yang berkembang mulai dari lingkup terkecil sampai pada isu global.
Bila generasi sebelumnya sering kali terjebak dalam pengelolaan privasi digital yang buruk, maka berbeda halnya dengan generasi Z yang tumbuh dengan pemahaman yang tajam tentang batas antara publik dan pribadi di dunia maya.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia Tara de Thouars, BA, M.Psi mengatakan bahwa Gen Z menjadi kelompok usia yang paling rentan mengalami masalah mental sehingga memerlukan dukungan yang tepat termasuk dari keluarga agar potensi dirinya keluar.
"Semua Gen Z punya ciri, karakter yang kuat. Kalaupun potensi itu ada tapi tidak didukung, tidak dipupuk ya tidak akan keluar," kata Tara beberapa waktu lalu.
Tara mengingatkan Gen Z menghadapi banyak tantangan. Walaupun begitu, mereka tetap mencoba tetap produktif dan menjaga kesehatan mentalnya.
Peran orang tua dan pembuat kebijakan menjadi sangat penting untuk memberi pengaruh psikologi dalam pendidikan bagi generasi Z dengan aktif mendukung kesehatan mental serta kepercayaan diri mereka.
Generasi Z menjadi tumpuan masa depan yang kelak membawa Indonesia pada era Emas 2045. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70 persen dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Bonus demografi menjadi masa keemasan bagi usia 15-64 tahun, termasuk Gen Z yang dapat memanfaatkan peluang ini dengan baik untuk menghapus kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, serta kriminalitas yang tinggi memasuki satu abad usia Indonesia tercinta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyiapkan generasi Z mahir digital serta mental yang sehat