Jakarta (ANTARA) -
"Dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang mana sebenarnya tindakan ini sudah cukup lama," kata Burhanuddin usai bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang melibatkan empat debitur perusahaan, yang sudah terdeteksi sejak lama, yakni sekitar 2019.
"Dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang mana sebenarnya tindakan ini sudah cukup lama," kata Burhanuddin usai bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
Dugaan tindak pidana korupsi pada LPEI itu resmi dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Jaksa Agung pagi tadi. Total ada empat debitur yang dilaporkan dengan nilai kredit macet total Rp2,505 triliun.
Keempat debitur tersebut, yakni PT RII senilai Rp1,8 triliun, PT SMS sebesar Rp216 miliar, PT SPV sebesar Rp144 miliar dan PT PRS sebesar Rp305 miliar.
Selain itu, Burhanuddin juga menyampaikan bahwa laporan ini baru tahap pertama. Akan ada tahap kedua yang melibatkan enam perusahaan dengan nilai kredit mencapai Rp3 triliun.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumeda, bahwa dugaan ini hasil temuan yang dilakukan oleh tim gabungan LPEI bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
"Ini adalah temuan dari 3 tim gabungan ya, tadi sudah jelaskan tadi, yaitu ada BPKP, ada Jamdatun dan Inspektorat Keuangan yang ada di Kementerian Keuangan," kata Ketut menerangkan.
Menurut Ketut, kenapa kasus ini baru dilaporkan sekarang, karena awalnya kasus diserahkan kepada Jamdatun Kejaksaan Agung. Akan tetapi, setelah dilakukan penelitian ditemukan dugaan tindak pidana.
"Ternyata ada mengandung unsur fraud ada unsur penyimpangan dalam pemberian fasilitas ataupun pembiayaan kredit dari LPEI kepada para debitur tadi. Sehingga karena sudah macet dan sebagainya, makanya kami serahkan ke Pidsus (Pidana khusus) untuk recovery aset," katanya.
Karena baru diserahkannya penanganan perkara tersebut kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), kata Ketut, maka Kejaksaan Agung belum menentukan status penanganan perkara apakah sudah penyelidikan atau penyidikan.
Status akan ditentukan setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan penyelidikan oleh Tim Penyidik Jampidsus.
"Nanti setelah serangkaian pemeriksaan penyelidikan oleh teman-teman Jampidsus akan ditentukan statusnya," katanya.
Adapun keempat perusahaan yang disebutkan tadi, adalah debitur LPEI yang bergerak di bidang kelapa sawit, bidang batu bara, nikel dan shipping atau perusahaan perkapalan.
Ketut juga menyampaikan, bahwa untuk tahap pertama ada empat perusahaan yang dilaporkan. Akan ada laporan tahap kedua yang diduga melibatkan enam perusahaan yang terindikasi fraud senilai Rp3 triliun dan Rp85 miliar.
"Untuk tahapan pertama tetap empat perusahaan. Nanti untuk tahap kedua, kalau seandainya diserahkan nanti ke Jampidsus ini masih kami imbau, tadi disampaikan oleh Jaksa Agung, itu ada enam perusahaan dengan nilai kreditnya Rp3 triliun," kata Ketut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kejagung sebut dugaan korupsi pendanaan di LPEI dideteksi sejak 2019
Selain itu, Burhanuddin juga menyampaikan bahwa laporan ini baru tahap pertama. Akan ada tahap kedua yang melibatkan enam perusahaan dengan nilai kredit mencapai Rp3 triliun.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumeda, bahwa dugaan ini hasil temuan yang dilakukan oleh tim gabungan LPEI bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
"Ini adalah temuan dari 3 tim gabungan ya, tadi sudah jelaskan tadi, yaitu ada BPKP, ada Jamdatun dan Inspektorat Keuangan yang ada di Kementerian Keuangan," kata Ketut menerangkan.
Menurut Ketut, kenapa kasus ini baru dilaporkan sekarang, karena awalnya kasus diserahkan kepada Jamdatun Kejaksaan Agung. Akan tetapi, setelah dilakukan penelitian ditemukan dugaan tindak pidana.
"Ternyata ada mengandung unsur fraud ada unsur penyimpangan dalam pemberian fasilitas ataupun pembiayaan kredit dari LPEI kepada para debitur tadi. Sehingga karena sudah macet dan sebagainya, makanya kami serahkan ke Pidsus (Pidana khusus) untuk recovery aset," katanya.
Karena baru diserahkannya penanganan perkara tersebut kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), kata Ketut, maka Kejaksaan Agung belum menentukan status penanganan perkara apakah sudah penyelidikan atau penyidikan.
Status akan ditentukan setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan penyelidikan oleh Tim Penyidik Jampidsus.
"Nanti setelah serangkaian pemeriksaan penyelidikan oleh teman-teman Jampidsus akan ditentukan statusnya," katanya.
Adapun keempat perusahaan yang disebutkan tadi, adalah debitur LPEI yang bergerak di bidang kelapa sawit, bidang batu bara, nikel dan shipping atau perusahaan perkapalan.
Ketut juga menyampaikan, bahwa untuk tahap pertama ada empat perusahaan yang dilaporkan. Akan ada laporan tahap kedua yang diduga melibatkan enam perusahaan yang terindikasi fraud senilai Rp3 triliun dan Rp85 miliar.
"Untuk tahapan pertama tetap empat perusahaan. Nanti untuk tahap kedua, kalau seandainya diserahkan nanti ke Jampidsus ini masih kami imbau, tadi disampaikan oleh Jaksa Agung, itu ada enam perusahaan dengan nilai kreditnya Rp3 triliun," kata Ketut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kejagung sebut dugaan korupsi pendanaan di LPEI dideteksi sejak 2019