Jakarta (ANTARA) - Pemerintah gencar membangun jaringan jalan tol dalam upaya meningkatkan konektivitas antardaerah, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional juga bisa dirasakan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dalam konteks ini, termasuk pembangunan jaringan jalan tol Jakarta yang terhubung dengan daerah-daerah penyangga, menjadikan Jakarta tak lagi menjadi kota metropolitan, tetapi sudah menjadi megalopolitan, dengan jangkauan hingga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Apabila direkam dari langit, maka kondisi Jakarta dan sekitarnya, ibarat jaring laba-laba dengan jalan tol sebagai jaring utama serta jalan arteri sebagai penghubung.
Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apabila kediaman kita berdekatan dengan jalan tol atau malah dilewati, apakah bisa meminta pengelola (badan usaha jalan tol/ BUJT) membukakan akses.
Beberapa masyarakat yang tinggal di dekat jalan tol terkadang harus berkeliling dulu untuk menuju pintu tol terdekat, bahkan harus menembus kemacetan dulu baru bisa masuk jalan tol.
Beberapa pengembang ternyata berhasil membuka pintu tol di dekat kawasan perumahan. Pertanyaannya apakah hal ini dimungkinkan karena kalau kebijakan ini diterapkan, maka bisa saja semua pengembang di sepanjang jalan tol membuka akses langsung ke dalam tol.
Tentunya kebijakan menyediakan akses langsung ke dalam jalan tol bukan pilihan yang bijak. Kondisi demikian hanya akan membuat fungsi tol sebagai jalan bebas hambatan menjadi terhambat.
Terkait fakta itu, pengembang berdalih tidak membuka akses baru, hanya saja mereka membangun jalan akses sendiri yang mendekati atau terhubung dengan akses keluar/ masuk tol.
Pertanyaannya apakah regulasi untuk membuka akses jalan tol itu dimungkinkan, mengingat setiap jalan tol dibangun dengan mempertimbangkan rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW).
Kemungkinan bisa
Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, ternyata untuk membuka akses jalan tol dimungkinkan, namun dengan sederet persyaratan.
Di dalam peraturan tersebut, pengembang properti dimungkinkan untuk mengusulkan sendiri agar kawasannya dibukakan akses jalan tol, ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Agar usulan itu disetujui, pengembang harus memastikan tidak menyalahi peraturan RTRW yang berlaku dan berikutnya memberikan alasan bahwasanya dengan tersedia akses itu akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian untuk memuluskan usulan itu, pengembang harus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda). Hal ini karena hanya pemda yang mengetahui kebijakan RTRW dan memiliki data terkait pertumbuhan ekonomi, kalau akses dibuka.
Pemda yang biasanya akan mendorong pengelola jalan tol yang melalui wilayahnya untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar bisa dibukakan akses.
Anggota BPJT Tulus Abadi dalam diskusi pengembangan jalan tol. ANTARA/HO-Kementerian PUPR
Bagi pengelola jalan tol (BUJT), usulan ini bisa sebagai alternatif pendapatan untuk meningkatkan lalu lintas harian rata-rata (LHR).
Beberapa ruas jalan tol baru biasanya belum mencapai kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi masing-masing, dilihat dari pengembalian investasi dan kontribusi bagi pertumbuhan pembangunan daerah.
Atas dasar itu juga, BUJT berdasarkan usulan pemda dapat meminta persetujuan kepada Menteri PUPR untuk dibukakan akses jalan tol.
Kementerian PUPR tentunya dengan senang hati menyetujui usulan itu karena berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur jalan tol.
Pembangunan jalan tol itu ibarat dengan bola salju, begitu satu ruas beroperasi dan menghasilkan, maka dana untuk pembebasan tanah akan dialihkan ke ruas lain yang pada akhirnya menciptakan ruas baru lagi.
Konektivitas
Kehadiran jalan tol seharusnya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang terkait dengan konektivitas ke berbagai wilayah.
Hadirnya jalan tol Cinere-Jagorawi, sebagai contoh, memberikan akses bagi warga di Depok dan Cinere berpergian melalui jaringan tol, sebagai contoh, bisa ke ibu kota, Jakarta-Cikampek, Tanjung Priok, Bandara Soekarno Hatta, dan lain-lain.
Jadi kalau sebelum adanya jalan tol masyarakat yang akan berpergian harus menghabiskan biaya bahan bakar dan membutuhkan waktu lebih lama, namun dengan tersedianya akses tol, semuanya bisa menjadi lebih singkat dan efisien.
Oleh karena itu pemerintah menetapkan agar tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan memanfaatkan jalan tol harus lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan kalau tidak lewat jalan tol.
Terkini, salah satu pengembang yang berhasil menyediakan akses bagi penghuninya ada di Kabupaten Tangerang, Banten, yang menyediakan infrastruktur untuk mendekatkan jalan tol Serpong-Balaraja.
Infrastruktur ini merupakan hal penting mengingat pengembangan permukiman yang sudah meluas, hingga ke wilayah barat Jakarta.
Manajemen pengembang perumahan itu menyebutkan Gading Serpong telah menjadi pusat pertumbuhan baru di barat Jakarta. Banyaknya kawasan permukiman dan komersial, sehingga dibutuhkan konektifitas yang lebih baik.
Dulu Kota Gading Serpong merupakan salah satu penopang wilayah Jakarta, tapi kini telah menjadi daya tarik terhadap kawasan sekitarnya. Ada banyak hal yang bisa dikembangkan, ditunjang dengan lanskap fasilitas kota yang lengkap.
Riset pengembang menunjukkan, dari awal tahun hingga September 2023 terdapat peningkatan 40 persen aktivitas ruko di kawasan itu yang menunjukkan adanya pertumbuhan bisnis.
Perkembangan Gading Serpong seiring dengan akses tol baru Serpong-Balaraja, membuat perusahaan itu harus bersinergi dengan kota-kota baru sekitarnya. Salah satunya mengembangkan akses selatan yang terhubung langsung dengan Kota BSD.
Konektivitas saat ini menjadi kata kunci untuk mengembangkan wilayah pada daerah-daerah yang dilewati jalan tol. Tentunya pemerintah daerah sudah memiliki perencanaan seiring hadirnya jalan tol di daerah.
Pemerintah daerah juga yang memahami benar potensi yang ada di daerahnya yang bisa mengembangkan wilayahnya agar bisa menjadi magnet pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, hadirnya tol Cinere-Jagorawi ternyata juga membantu warga Cibubur yang selama ini harus "berjibaku" dengan kemacetan lantaran di koridor itu sudah padat dengan permukiman, namun akses yang tersedia hanya jalan Raya Transyogi.
Kehadiran jalan tol membuat ekonomi di kawasan itu tumbuh pesat, bahkan hingga ke arah Cileungsi, Jawa Barat, yang dikenal dengan hasil tani dan perkebunan.
Terbukanya kawasan Cileungsi ini akan membuat sentra pangan DKI Jakarta menjadi lebih banyak alternatif karena terakses langsung dengan kawasan Puncak yang menjadi nadi Kabupaten Cianjur, yang dikenal sebagai penghasil padi.
Dalam konteks ini, termasuk pembangunan jaringan jalan tol Jakarta yang terhubung dengan daerah-daerah penyangga, menjadikan Jakarta tak lagi menjadi kota metropolitan, tetapi sudah menjadi megalopolitan, dengan jangkauan hingga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Apabila direkam dari langit, maka kondisi Jakarta dan sekitarnya, ibarat jaring laba-laba dengan jalan tol sebagai jaring utama serta jalan arteri sebagai penghubung.
Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apabila kediaman kita berdekatan dengan jalan tol atau malah dilewati, apakah bisa meminta pengelola (badan usaha jalan tol/ BUJT) membukakan akses.
Beberapa masyarakat yang tinggal di dekat jalan tol terkadang harus berkeliling dulu untuk menuju pintu tol terdekat, bahkan harus menembus kemacetan dulu baru bisa masuk jalan tol.
Beberapa pengembang ternyata berhasil membuka pintu tol di dekat kawasan perumahan. Pertanyaannya apakah hal ini dimungkinkan karena kalau kebijakan ini diterapkan, maka bisa saja semua pengembang di sepanjang jalan tol membuka akses langsung ke dalam tol.
Tentunya kebijakan menyediakan akses langsung ke dalam jalan tol bukan pilihan yang bijak. Kondisi demikian hanya akan membuat fungsi tol sebagai jalan bebas hambatan menjadi terhambat.
Terkait fakta itu, pengembang berdalih tidak membuka akses baru, hanya saja mereka membangun jalan akses sendiri yang mendekati atau terhubung dengan akses keluar/ masuk tol.
Pertanyaannya apakah regulasi untuk membuka akses jalan tol itu dimungkinkan, mengingat setiap jalan tol dibangun dengan mempertimbangkan rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW).
Kemungkinan bisa
Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, ternyata untuk membuka akses jalan tol dimungkinkan, namun dengan sederet persyaratan.
Di dalam peraturan tersebut, pengembang properti dimungkinkan untuk mengusulkan sendiri agar kawasannya dibukakan akses jalan tol, ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Agar usulan itu disetujui, pengembang harus memastikan tidak menyalahi peraturan RTRW yang berlaku dan berikutnya memberikan alasan bahwasanya dengan tersedia akses itu akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian untuk memuluskan usulan itu, pengembang harus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda). Hal ini karena hanya pemda yang mengetahui kebijakan RTRW dan memiliki data terkait pertumbuhan ekonomi, kalau akses dibuka.
Pemda yang biasanya akan mendorong pengelola jalan tol yang melalui wilayahnya untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar bisa dibukakan akses.
Bagi pengelola jalan tol (BUJT), usulan ini bisa sebagai alternatif pendapatan untuk meningkatkan lalu lintas harian rata-rata (LHR).
Beberapa ruas jalan tol baru biasanya belum mencapai kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi masing-masing, dilihat dari pengembalian investasi dan kontribusi bagi pertumbuhan pembangunan daerah.
Atas dasar itu juga, BUJT berdasarkan usulan pemda dapat meminta persetujuan kepada Menteri PUPR untuk dibukakan akses jalan tol.
Kementerian PUPR tentunya dengan senang hati menyetujui usulan itu karena berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur jalan tol.
Pembangunan jalan tol itu ibarat dengan bola salju, begitu satu ruas beroperasi dan menghasilkan, maka dana untuk pembebasan tanah akan dialihkan ke ruas lain yang pada akhirnya menciptakan ruas baru lagi.
Konektivitas
Kehadiran jalan tol seharusnya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang terkait dengan konektivitas ke berbagai wilayah.
Hadirnya jalan tol Cinere-Jagorawi, sebagai contoh, memberikan akses bagi warga di Depok dan Cinere berpergian melalui jaringan tol, sebagai contoh, bisa ke ibu kota, Jakarta-Cikampek, Tanjung Priok, Bandara Soekarno Hatta, dan lain-lain.
Jadi kalau sebelum adanya jalan tol masyarakat yang akan berpergian harus menghabiskan biaya bahan bakar dan membutuhkan waktu lebih lama, namun dengan tersedianya akses tol, semuanya bisa menjadi lebih singkat dan efisien.
Oleh karena itu pemerintah menetapkan agar tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan memanfaatkan jalan tol harus lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan kalau tidak lewat jalan tol.
Terkini, salah satu pengembang yang berhasil menyediakan akses bagi penghuninya ada di Kabupaten Tangerang, Banten, yang menyediakan infrastruktur untuk mendekatkan jalan tol Serpong-Balaraja.
Infrastruktur ini merupakan hal penting mengingat pengembangan permukiman yang sudah meluas, hingga ke wilayah barat Jakarta.
Manajemen pengembang perumahan itu menyebutkan Gading Serpong telah menjadi pusat pertumbuhan baru di barat Jakarta. Banyaknya kawasan permukiman dan komersial, sehingga dibutuhkan konektifitas yang lebih baik.
Dulu Kota Gading Serpong merupakan salah satu penopang wilayah Jakarta, tapi kini telah menjadi daya tarik terhadap kawasan sekitarnya. Ada banyak hal yang bisa dikembangkan, ditunjang dengan lanskap fasilitas kota yang lengkap.
Riset pengembang menunjukkan, dari awal tahun hingga September 2023 terdapat peningkatan 40 persen aktivitas ruko di kawasan itu yang menunjukkan adanya pertumbuhan bisnis.
Perkembangan Gading Serpong seiring dengan akses tol baru Serpong-Balaraja, membuat perusahaan itu harus bersinergi dengan kota-kota baru sekitarnya. Salah satunya mengembangkan akses selatan yang terhubung langsung dengan Kota BSD.
Konektivitas saat ini menjadi kata kunci untuk mengembangkan wilayah pada daerah-daerah yang dilewati jalan tol. Tentunya pemerintah daerah sudah memiliki perencanaan seiring hadirnya jalan tol di daerah.
Pemerintah daerah juga yang memahami benar potensi yang ada di daerahnya yang bisa mengembangkan wilayahnya agar bisa menjadi magnet pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, hadirnya tol Cinere-Jagorawi ternyata juga membantu warga Cibubur yang selama ini harus "berjibaku" dengan kemacetan lantaran di koridor itu sudah padat dengan permukiman, namun akses yang tersedia hanya jalan Raya Transyogi.
Kehadiran jalan tol membuat ekonomi di kawasan itu tumbuh pesat, bahkan hingga ke arah Cileungsi, Jawa Barat, yang dikenal dengan hasil tani dan perkebunan.
Terbukanya kawasan Cileungsi ini akan membuat sentra pangan DKI Jakarta menjadi lebih banyak alternatif karena terakses langsung dengan kawasan Puncak yang menjadi nadi Kabupaten Cianjur, yang dikenal sebagai penghasil padi.