Jakarta (ANTARA) - Pekan depan invasi Rusia ke Ukraina akan genap satu tahun. Apa yang awalnya disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai operasi militer khusus itu ternyata menjadi perang berkepanjangan nan kian berlarut-larut.
Seperti sering terjadi dalam sejarah umat manusia, memulai perang itu mudah, tapi mengakhiri perang itu sungguh perkara yang sulit.
Serangan kilat Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua dari akhir 1930-an memang membuat pendulum perang berpihak kepada Jerman sampai 1943, tapi perang malah mempersatukan mereka yang menentang Jerman. Begitu pula dengan Jepang pada Perang Dunia Kedua yang justru memupuk perlawanan semesta di seantero Asia.
Intervensi Amerika Serikat di Vietnam pada 1965 juga tak menyudahi perang di Indochina. Sebaliknya, konflik menjadi makin berlarut-larut dan menelan korban yang terus membesar.
Demikian pula Uni Soviet di Afghanistan pada 1979. Bahkan Rusia yang menjadi pewaris Uni Soviet melewati periode berdarah-darah ketika menghadapi separatisme Chechnya dengan perang dan bombardemen pada 1994-1995 dan 1999-2009.
Perang terakhir yang dilalui singkat oleh Rusia adalah Perang Georgia pada 2018, selain aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014.
Putin berusaha mengulangi sukses perang kilat di Georgia dan Krimea pada 24 Februari tahun lalu. Ternyata, operasi militer ini tak berakhir sesingkat yang diharapkan.
Perang Ukraina malah akan genap memakan waktu saat tahun. Kini, baik Rusia maupun Ukraina, mempersiapkan diri menghadapi situasi perang yang makin buruk. Mereka berpacu dengan waktu untuk mencapai kemenangan paripurna.
Awalnya Ukraina sukses membalikkan pendulum perang sampai bisa merebut kembali kota Kherson pada pertengahan November tahun lalu.
Namun, Rusia sudah beradaptasi dengan situasi di medan perang dan belajar dari rangkaian kemunduran mereka di medan perang sebelum ini.
Rusia pun menemukan lagi pijakannya sampai bersiap melancarkan operasi militer besar-besaran yang bertepatan dengan setahun invasi mereka di Ukraina.
Semakin sulit dihentikan
Pertanyaannya, apakah momentum yang lagi dipegang Rusia ini membuat Ukraina dan Barat, khususnya Amerika Serikat, mundur dari posisi politiknya? Jawabannya, kecil kemungkinannya, mengingat mereka sudah mengerahkan begitu banyak sumber daya, mulai dana sampai senjata.
Lagi pula, situasi sama terjadi saat Ukraina mencapai kemajuan di medan perang beberapa bulan lalu, Rusia pun sama sekali bergeming dari posisinya.
Yang ada, kedua belah pihak terus meningkatkan pengerahan kekuatan militer pada tingkat maksimum, sampai-sampai hal yang dulu tabu dilakukan, sekarang malah menjadi opsi utama.
Eropa dan Amerika Serikat misalnya. Mereka kini tak lagi sungkan-sungkan memasok Ukraina dengan tank tempur canggih seperti Leopard 2, jet tempur seperti F-16, dan sistem artileri berat berdaya jangkau jauh.
Padahal ketika memutuskan mengirimkan perangkat perang canggih seperti M142 HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System), AS membuat batasan bahwa sistem peluncur roket presisi tinggi ini tak boleh dipakai untuk meluncurkan rudal yang bisa mencapai wilayah Rusia.
Kini, pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy meminta pesawat tempur canggih kepada Barat. Sejumlah negara yang menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengamini keinginan Ukraina itu. Padahal pesawat-pesawat tempur seperti F-16 bisa membuat Ukraina menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia.
Hal yang beberapa bulan lalu dikesampingkan NATO pun kini menjadi pilihan nyata di medan perang.
Ukraina bahkan sudah mendapatkan lampu hijau dari Polandia untuk mendapatkan pesawat tempur F-16 yang diyakini bakal mengimbangi superioritas udara Rusia dan menekan kemampuan Rusia dalam melancarkan bombardemen jarak jauh.
Para pemimpin terkemuka Eropa lainnya seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron pun tak mengesampingkan opsi memasok Ukraina dengan jet tempur Barat.
Oleh karena itu, setiap kemajuan perang oleh salah satu pihak, akan membuat pihak lainnya kian agresif mencari alat perang yang lebih andal dan lebih maut, sehingga perang semakin sulit dihentikan dan mungkin bisa meluas ke mana-mana.
Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa Ukraina sudah bukan lagi medan perang, namun juga dianggap kavling kepentingan dan ruang pamer alat-alat perang canggih, termasuk Iran dan Turki yang turut menggunakan Ukraina sebagai tempat menguji pesawat tak berawak buatan mereka.
November tahun lalu surat kabar terkemuka New York Times bahkan menyebut militer Barat, khususnya AS, sudah menganggap Ukraina tempat uji teknologi militer terbaru dan laboratorium untuk sistem persenjataan dan informasi perang, yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan konfrontasi terbuka dengan China.
Negara netral jadi penengah
Perang Ukraina juga menjadi lahan bisnis rekonstruksi pascaperang. Saat ini saja, lembaga-lembaga keuangan raksasa seperti JPMorgan dan Goldman Sachs menjadi calon penyandang dana untuk proses rekonstruksi Ukraina jika perang ini selesai.
Tak heran keadaan yang sudah melibatkan begitu banyak kepentingan ini membuat upaya mediasi bagi pengakhiran perang pun menjadi sulit dilakukan.
Tidak saja karena harus menghadapi para pemuja perang dalam elite kekuasaan Ukraina dan Rusia, tapi juga elemen-elemen Barat yang menginginkan perang harus berakhir dengan kekalahan menyeluruh di pihak Rusia, salah satunya kelompok neokonservatif di Amerika Serikat.
Mereka ditengarai acap mencegat dan mematikan prakarsa damai, termasuk yang digagas Israel dan Turki.
Mantan perdana menteri Israel Naftali Bennett mengungkapkan bahwa mediasi yang dilakukan negaranya saat awal konflik Rusia-Ukraina sebenarnya sudah mencapai kemajuan, tetapi proses itu dimatikan AS dan sekutu-sekutunya.
Pun dengan prakarsa damai yang digagas Turki pada Maret tahun lalu yang juga mencapai kemajuan, apalagi saat itu Ukraina menyatakan bersedia menerima permintaan Rusia untuk netral menyangkut NATO dan bersedia menyelesaikan masalah Donbas dan Krimea.
Tetapi prakarsa itu terjegal karena AS diduga menekan Ukraina agar tidak berkompromi dengan Rusia.
Perang pun semakin berlarut-larut sehingga sudah sangat sulit mengajak semua pihak untuk mundur dari posisinya masing-masing. Tidak Ukraina, tidak pula Rusia, pun tidak AS dan Eropa.
Sudah terlalu banyak ongkos perang yang dikeluarkan baik Ukraina dan Rusia, maupun Uni Eropa dan Amerika Serikat. Konsesi-konsesi pun semakin mahal sehingga untuk masuk duduk di meja perundingan pun semakin sulit.
Apalagi semua pihak yang bersengketa berpandangan perundingan hanya tercipta lewat supremasi perang, seperti diutarakan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg bahwa "senjata adalah cara untuk mencapai perdamaian."
Ini kian menegaskan situasi perang di Ukraina sudah semakin menutup pintu perundingan. Bayangkan, jika tank dan pesawat tempur NATO dikerahkan di Ukraina, maka Rusia bisa memperluas konflik jauh dari sekadar Ukraina.
Untuk itu, keadaan ini mesti dicegah. Namun, dunia membutuhkan penengah yang benar-benar tidak berpihak baik kepada Rusia maupun Ukraina.
Ekonom Jeffrey Sachs yang turut merancang rekonstruksi Eropa timur pasca Perang Dingin, menyebut negara-negara netral seperti Argentina, Brazil, China, India, Indonesia dan Afrika Selatan, bisa menjadi penengah karena sikap mereka yang tidak anti Rusia, tapi juga tidak anti Ukraina.
Negara-negara itu menolak pendudukan Rusia di Ukraina, tapi juga menolak perluasan NATO ke timur Eropa.
Ini membuat posisi mereka ideal dalam membantu menemukan solusi yang adil, langgeng dan menyeluruh bagi pihak-pihak yang berperang sehingga siklus kekerasan yang sudah begitu membahayakan dunia ini bisa segera diakhiri.
Seperti sering terjadi dalam sejarah umat manusia, memulai perang itu mudah, tapi mengakhiri perang itu sungguh perkara yang sulit.
Serangan kilat Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua dari akhir 1930-an memang membuat pendulum perang berpihak kepada Jerman sampai 1943, tapi perang malah mempersatukan mereka yang menentang Jerman. Begitu pula dengan Jepang pada Perang Dunia Kedua yang justru memupuk perlawanan semesta di seantero Asia.
Intervensi Amerika Serikat di Vietnam pada 1965 juga tak menyudahi perang di Indochina. Sebaliknya, konflik menjadi makin berlarut-larut dan menelan korban yang terus membesar.
Demikian pula Uni Soviet di Afghanistan pada 1979. Bahkan Rusia yang menjadi pewaris Uni Soviet melewati periode berdarah-darah ketika menghadapi separatisme Chechnya dengan perang dan bombardemen pada 1994-1995 dan 1999-2009.
Perang terakhir yang dilalui singkat oleh Rusia adalah Perang Georgia pada 2018, selain aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014.
Putin berusaha mengulangi sukses perang kilat di Georgia dan Krimea pada 24 Februari tahun lalu. Ternyata, operasi militer ini tak berakhir sesingkat yang diharapkan.
Perang Ukraina malah akan genap memakan waktu saat tahun. Kini, baik Rusia maupun Ukraina, mempersiapkan diri menghadapi situasi perang yang makin buruk. Mereka berpacu dengan waktu untuk mencapai kemenangan paripurna.
Awalnya Ukraina sukses membalikkan pendulum perang sampai bisa merebut kembali kota Kherson pada pertengahan November tahun lalu.
Namun, Rusia sudah beradaptasi dengan situasi di medan perang dan belajar dari rangkaian kemunduran mereka di medan perang sebelum ini.
Rusia pun menemukan lagi pijakannya sampai bersiap melancarkan operasi militer besar-besaran yang bertepatan dengan setahun invasi mereka di Ukraina.
Semakin sulit dihentikan
Pertanyaannya, apakah momentum yang lagi dipegang Rusia ini membuat Ukraina dan Barat, khususnya Amerika Serikat, mundur dari posisi politiknya? Jawabannya, kecil kemungkinannya, mengingat mereka sudah mengerahkan begitu banyak sumber daya, mulai dana sampai senjata.
Lagi pula, situasi sama terjadi saat Ukraina mencapai kemajuan di medan perang beberapa bulan lalu, Rusia pun sama sekali bergeming dari posisinya.
Yang ada, kedua belah pihak terus meningkatkan pengerahan kekuatan militer pada tingkat maksimum, sampai-sampai hal yang dulu tabu dilakukan, sekarang malah menjadi opsi utama.
Eropa dan Amerika Serikat misalnya. Mereka kini tak lagi sungkan-sungkan memasok Ukraina dengan tank tempur canggih seperti Leopard 2, jet tempur seperti F-16, dan sistem artileri berat berdaya jangkau jauh.
Padahal ketika memutuskan mengirimkan perangkat perang canggih seperti M142 HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System), AS membuat batasan bahwa sistem peluncur roket presisi tinggi ini tak boleh dipakai untuk meluncurkan rudal yang bisa mencapai wilayah Rusia.
Kini, pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy meminta pesawat tempur canggih kepada Barat. Sejumlah negara yang menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengamini keinginan Ukraina itu. Padahal pesawat-pesawat tempur seperti F-16 bisa membuat Ukraina menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia.
Hal yang beberapa bulan lalu dikesampingkan NATO pun kini menjadi pilihan nyata di medan perang.
Ukraina bahkan sudah mendapatkan lampu hijau dari Polandia untuk mendapatkan pesawat tempur F-16 yang diyakini bakal mengimbangi superioritas udara Rusia dan menekan kemampuan Rusia dalam melancarkan bombardemen jarak jauh.
Para pemimpin terkemuka Eropa lainnya seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron pun tak mengesampingkan opsi memasok Ukraina dengan jet tempur Barat.
Oleh karena itu, setiap kemajuan perang oleh salah satu pihak, akan membuat pihak lainnya kian agresif mencari alat perang yang lebih andal dan lebih maut, sehingga perang semakin sulit dihentikan dan mungkin bisa meluas ke mana-mana.
Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa Ukraina sudah bukan lagi medan perang, namun juga dianggap kavling kepentingan dan ruang pamer alat-alat perang canggih, termasuk Iran dan Turki yang turut menggunakan Ukraina sebagai tempat menguji pesawat tak berawak buatan mereka.
November tahun lalu surat kabar terkemuka New York Times bahkan menyebut militer Barat, khususnya AS, sudah menganggap Ukraina tempat uji teknologi militer terbaru dan laboratorium untuk sistem persenjataan dan informasi perang, yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan konfrontasi terbuka dengan China.
Negara netral jadi penengah
Perang Ukraina juga menjadi lahan bisnis rekonstruksi pascaperang. Saat ini saja, lembaga-lembaga keuangan raksasa seperti JPMorgan dan Goldman Sachs menjadi calon penyandang dana untuk proses rekonstruksi Ukraina jika perang ini selesai.
Tak heran keadaan yang sudah melibatkan begitu banyak kepentingan ini membuat upaya mediasi bagi pengakhiran perang pun menjadi sulit dilakukan.
Tidak saja karena harus menghadapi para pemuja perang dalam elite kekuasaan Ukraina dan Rusia, tapi juga elemen-elemen Barat yang menginginkan perang harus berakhir dengan kekalahan menyeluruh di pihak Rusia, salah satunya kelompok neokonservatif di Amerika Serikat.
Mereka ditengarai acap mencegat dan mematikan prakarsa damai, termasuk yang digagas Israel dan Turki.
Mantan perdana menteri Israel Naftali Bennett mengungkapkan bahwa mediasi yang dilakukan negaranya saat awal konflik Rusia-Ukraina sebenarnya sudah mencapai kemajuan, tetapi proses itu dimatikan AS dan sekutu-sekutunya.
Pun dengan prakarsa damai yang digagas Turki pada Maret tahun lalu yang juga mencapai kemajuan, apalagi saat itu Ukraina menyatakan bersedia menerima permintaan Rusia untuk netral menyangkut NATO dan bersedia menyelesaikan masalah Donbas dan Krimea.
Tetapi prakarsa itu terjegal karena AS diduga menekan Ukraina agar tidak berkompromi dengan Rusia.
Perang pun semakin berlarut-larut sehingga sudah sangat sulit mengajak semua pihak untuk mundur dari posisinya masing-masing. Tidak Ukraina, tidak pula Rusia, pun tidak AS dan Eropa.
Sudah terlalu banyak ongkos perang yang dikeluarkan baik Ukraina dan Rusia, maupun Uni Eropa dan Amerika Serikat. Konsesi-konsesi pun semakin mahal sehingga untuk masuk duduk di meja perundingan pun semakin sulit.
Apalagi semua pihak yang bersengketa berpandangan perundingan hanya tercipta lewat supremasi perang, seperti diutarakan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg bahwa "senjata adalah cara untuk mencapai perdamaian."
Ini kian menegaskan situasi perang di Ukraina sudah semakin menutup pintu perundingan. Bayangkan, jika tank dan pesawat tempur NATO dikerahkan di Ukraina, maka Rusia bisa memperluas konflik jauh dari sekadar Ukraina.
Untuk itu, keadaan ini mesti dicegah. Namun, dunia membutuhkan penengah yang benar-benar tidak berpihak baik kepada Rusia maupun Ukraina.
Ekonom Jeffrey Sachs yang turut merancang rekonstruksi Eropa timur pasca Perang Dingin, menyebut negara-negara netral seperti Argentina, Brazil, China, India, Indonesia dan Afrika Selatan, bisa menjadi penengah karena sikap mereka yang tidak anti Rusia, tapi juga tidak anti Ukraina.
Negara-negara itu menolak pendudukan Rusia di Ukraina, tapi juga menolak perluasan NATO ke timur Eropa.
Ini membuat posisi mereka ideal dalam membantu menemukan solusi yang adil, langgeng dan menyeluruh bagi pihak-pihak yang berperang sehingga siklus kekerasan yang sudah begitu membahayakan dunia ini bisa segera diakhiri.