Jakarta (ANTARA) - Dalang Ki Bayu Aji Nugraha dari Sanggar Seni Bajran Gupita Yogyakarta berpendapat kolaborasi dan dukungan generasi muda adalah hal penting agar seni pementasan wayang kulit mampu lestari dan tetap digemari.
"Wayang tidak akan mati, karena usianya hingga sekarang sudah 3.000 tahun lebih, sejak zaman nenek moyang, animisme dinamisme. Wayang masih bergerak ikuti perkembangan zaman, dengan kolaborasi lintas disiplin ilmu harus terus dicoba agar kehadirannya tetap ada," kata Ki Bayu saat ditemui ANTARA di Jakarta, dikutip Minggu.
Baca juga: Memburu oleh-oleh topeng dan wayang cepak di Indramayu
Bicara soal kolaborasi dan anak muda, dalang berusia 29 tahun tersebut mengatakan ketertarikan dapat dibentuk dengan melibatkan mereka langsung ke proses berkesenian, dan tidak membatasi kreativitas mereka.
Dengan itu, lanjut Ki Bayu, generasi muda akan terus semangat mengeksplorasi, bertukar pikiran, dan mengembangkan bakat serta gaya seninya.
Baca juga: Warga Jepang antusias saksikan wayang, gamelan
Di Sanggar Seni Bajran Gupita Yogyakarta sendiri, Ki Bayu mengatakan didominasi dengan kehadiran anak-anak muda, mulai dari mereka yang mendalami ilmu pendalangan, musik tradisional, hingga sinden.
Kehadiran para senior pun turut mendampingi mereka guna memberikan dasar-dasar ilmu dan pengalaman, sehingga para anak muda di sanggar mampu berkreasi sesuai dengan zaman.
Dalang Ki Bayu Aji Nugraha dari Sanggar Seni Bajran Gupita Yogyakarta, saat ditemui usai roadshow Apex Legends Mobile "Jagad Sandhya Legenda" di M Bloc Space Jakarta Selatan, Sabtu (2/7/2022). (ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)
"Saya bilang semangat mereka luar biasa karena mereka juga tidak berhenti berkarya. Mereka tidak hanya sekadar mengembangkan, tp juga melakukan kolaborasi lintas ilmu seni, saling bertukar pengalaman dan berikan sajian baru," papar Ki Bayu.
"Rasa memiliki itu saja sudah cukup untuk membuat wayang tetap hidup dan menganyam cerita bagi kita semua," tutupnya.
"Itu strategi jitu bagi anak muda untuk tertarik, tanya dan belajar. Dari situlah, sanggar menganggap misi kami telah berhasil," imbuhnya.
Ki Bayu sendiri memulai perjalanannya sebagai dalang sejak tahun 2008 atau ketika ia duduk di bangku SMA. Ia mengikuti jejak sang kakek, dalang kenamaan di Yogyakarta, Ki Basirun Hadisumarta.
"Ini tidak sengaja, karena saya belajar dalang berbeda dengan teman-teman yang memang belajar sejak kecil, sementara saya memulainya dari SMA. Saya mencoba masuk ke seni dalang dan masih belajar hingga saat ini dari 2008," kenangnya.
Selain sang kakek, hal lain yang membuatnya tertarik dengan seni pentas wayang kulit adalah ragam ceritanya. Tak hanya kaya dengan visualisasi dan gaya penceritaannya yang unik, adu dialog di dalam cerita wayang, bagi Ki Bayu, merupakan sesuatu yang sangat menarik.
"Dalam pementasan, saya suka adegan-adegan berdebat, bahwa perang tidak harus selalu secara fisik. Saya suka adegan peperangan dialog, argumen. Dengan itu, saya mengambil konflik keseharian ke dalam seni pendalangan," paparnya.
Lebih lanjut, Ki Bayu berharap, rasa memiliki yang besar dari masyarakat akan seni wayang bisa terus ada.
"Wayang tidak akan mati, karena usianya hingga sekarang sudah 3.000 tahun lebih, sejak zaman nenek moyang, animisme dinamisme. Wayang masih bergerak ikuti perkembangan zaman, dengan kolaborasi lintas disiplin ilmu harus terus dicoba agar kehadirannya tetap ada," kata Ki Bayu saat ditemui ANTARA di Jakarta, dikutip Minggu.
Baca juga: Memburu oleh-oleh topeng dan wayang cepak di Indramayu
Bicara soal kolaborasi dan anak muda, dalang berusia 29 tahun tersebut mengatakan ketertarikan dapat dibentuk dengan melibatkan mereka langsung ke proses berkesenian, dan tidak membatasi kreativitas mereka.
Dengan itu, lanjut Ki Bayu, generasi muda akan terus semangat mengeksplorasi, bertukar pikiran, dan mengembangkan bakat serta gaya seninya.
Baca juga: Warga Jepang antusias saksikan wayang, gamelan
Di Sanggar Seni Bajran Gupita Yogyakarta sendiri, Ki Bayu mengatakan didominasi dengan kehadiran anak-anak muda, mulai dari mereka yang mendalami ilmu pendalangan, musik tradisional, hingga sinden.
Kehadiran para senior pun turut mendampingi mereka guna memberikan dasar-dasar ilmu dan pengalaman, sehingga para anak muda di sanggar mampu berkreasi sesuai dengan zaman.
"Saya bilang semangat mereka luar biasa karena mereka juga tidak berhenti berkarya. Mereka tidak hanya sekadar mengembangkan, tp juga melakukan kolaborasi lintas ilmu seni, saling bertukar pengalaman dan berikan sajian baru," papar Ki Bayu.
"Rasa memiliki itu saja sudah cukup untuk membuat wayang tetap hidup dan menganyam cerita bagi kita semua," tutupnya.
"Itu strategi jitu bagi anak muda untuk tertarik, tanya dan belajar. Dari situlah, sanggar menganggap misi kami telah berhasil," imbuhnya.
Ki Bayu sendiri memulai perjalanannya sebagai dalang sejak tahun 2008 atau ketika ia duduk di bangku SMA. Ia mengikuti jejak sang kakek, dalang kenamaan di Yogyakarta, Ki Basirun Hadisumarta.
"Ini tidak sengaja, karena saya belajar dalang berbeda dengan teman-teman yang memang belajar sejak kecil, sementara saya memulainya dari SMA. Saya mencoba masuk ke seni dalang dan masih belajar hingga saat ini dari 2008," kenangnya.
Selain sang kakek, hal lain yang membuatnya tertarik dengan seni pentas wayang kulit adalah ragam ceritanya. Tak hanya kaya dengan visualisasi dan gaya penceritaannya yang unik, adu dialog di dalam cerita wayang, bagi Ki Bayu, merupakan sesuatu yang sangat menarik.
"Dalam pementasan, saya suka adegan-adegan berdebat, bahwa perang tidak harus selalu secara fisik. Saya suka adegan peperangan dialog, argumen. Dengan itu, saya mengambil konflik keseharian ke dalam seni pendalangan," paparnya.
Lebih lanjut, Ki Bayu berharap, rasa memiliki yang besar dari masyarakat akan seni wayang bisa terus ada.