Beijing (ANTARA) - Hingga hampir dua bulan berjalan, warga Beijing masih belum bisa lepas sepenuhnya dari belenggu restriksi yang silang-sengkarut melingkupi aktivitas mereka.
Padahal sejak 29 Mei 2022 otoritas pemerintahan ibu kota China itu telah mencabut status penguncian wilayah atau lockdown.

Gejolak sosial sempat muncul di beberapa tempat karena tak kuat menahan "gerah" akibat pembatasan-pembatasan selama otoritas setempat menerapkan kebijakan yang dilabeli sejumlah media Barat dengan cap "draconian lockdown".

Namun bukan pekerjaan sulit bagi pemerintahan totaliter di bawah rezim Partai Komunis China (CPC) yang bertangan besi itu dalam meredam gejolak tersebut agar tidak sampai meluas dan membesar.  Apalagi sistem reward and punishment dalam protokol kesehatan antipandemi COVID-19 yang diterapkan sejak 22 April lalu juga berjalan sangat efektif.

Para pedagang kecil yang menempati fasilitas pemerintah di kawasan berisiko tinggi dan risiko sedang COVID-19 dibebaskan dari biaya sewa selama enam bulan terhitung mulai 1 Mei sebagai bentuk kompensasi dari otoritas setempat atas larangan menerima pengunjung kafe dan restoran makan dan minum di tempat (dine-in).

Akan tetapi jangan coba-coba berani menentang kalau tidak ingin berurusan dengan polisi karena sudah puluhan warga Beijing dijebloskan ke dalam sel penjara akibat tidak taat prokes selama munculnya klaster-klaster baru COVID-19 varian Omicron yang bermula dari salah satu sekolah dasar dan menengah di Distrik Chaoyang.

Entah kebetulan atau tidak, relevan atau tidak. Yang pasti, pencabutan pembatasan itu diumumkan oleh otoritas Beijing bersamaan dengan berakhirnya masa kunjungan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCHR) Michelle Bachelet ke China pada 23-28 Mei terkait dengan adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang.

Beijing bukan termasuk objek kunjungan lingkaran tertutup atau close loop Bachelet dan delegasi lain UNHCHR ke Guangzhou dan Xinjiang. Namun Beijing adalah pusat pemerintahan. Di Beijing pula kantor-kantor perwakilan asing, termasuk perwakilan negara-negara yang selama ini menyoroti isu Xinjiang berada.

"Draconian lockdown" itu sebelumnya juga diterapkan di Shanghai selama hampir tiga bulan yang sempat membuat perusahaan-perusahaan multinasional bersiap hengkang dari pusat keuangan China itu.

Kebijakan antipandemi terkini di Shanghai yang kemudian dilanjutkan di Beijing itu tidak bisa dihindarkan dari spekulasi bernuansa politis. Ditambah lagi bulan depan CPC akan menggelar "gawe akbar" lima tahunan.

Sayangnya, pencabutan pembatasan tidak berlaku di seluruh wilayah Ibu Kota berpenduduk 21,3 juta jiwa itu. Dari puluhan stasiun kereta metro bawah tanah (subway) yang ditutup sejak 1 Mei lalu masih ada yang belum buka sampai sekarang, seperti Stasiun Panjiayuan yang ketiga pintu gerbangnya masih terkunci rapat.

Otoritas setempat pun masih tidak memberikan izin kepada pengelola restoran dan kafe untuk melayani pengunjung, kecuali untuk layanan pesan-antar.

Warga Beijing, utamanya yang suka kongkow-kongkow di kafe mal, harus melewatkan begitu saja dua musim libur hari besar. Liburan sepekan Hari Buruh mulai 1 Mei lalu mengharuskan warga Ibu Kota itu untuk berdiam diri di rumah. Kini, musim libur Festival Perahu Naga yang berlangsung pada 3-5 Juni itu kurang-lebih situasinya sama.

Santap Bakcang

Pemerintah Kota Beijing pada Rabu (1/6) telah mengeluarkan imbauan kepada warga setempat agar tidak meninggalkan wilayah Ibu Kota selama musim liburan Festival Perahu Naga tahun ini.

Imbauan tersebut didasarkan pada situasi masih adanya penambahan kasus harian COVID-19 di Beijing sehingga dianggap belum sepenuhnya terbebas dari risiko penularan dalam standar minimum kebijakan nol kasus yang diberlakukan secara meluas di wilayah China daratan.

Bagi mereka yang berduit dan bermobil bisa berlibur di distrik pinggiran yang menawarkan objek menarik, seperti Mentougou, Pinggu, Huairou, Miyun, dan Yanqing.

Hanya sebagian kecil warga Beijing yang memiliki mobil karena adanya pembatasan jumlah kendaraan bermotor sehingga tidak semua bisa menghabiskan waktu liburan tiga hari itu di objek-objek wisata alam tersebut. Objek wisata dan pusat jajanan favorit warga Beijing, seperti Nanluoguxiang, masih belum buka.

Demikian halnya dengan kafe dan restoran yang tersebar di Distrik Chaoyang juga masih tutup karena distrik tersebut masih menjadi penyumbang kasus harian.

Sejumlah diaspora Indonesia di Beijing tak kekurangan akal dalam menandai masuknya musim panas itu. Para diaspora turut mentradisikan makan nasi pulut atau bakcang dalam perayaan yang juga dikenal dengan nama "duanwujie" atau "zhongxiaojie" atau "longchuanjie".

Festival Perahu Naga identik dengan bakcang yang dalam bahasa Mandarinnya adalah "zongzi" atau nasi ketan yang dibungkus daun mirip kue lepat. Isinya bisa bermacam-macam, ada kacang hijau, kacang merah, kurma, atau daging, tergantung selera.

Secara kebetulan, tradisi duanwujie untuk memperingati kematian penyair China kuno Qu Yuan itu jatuh pada hari Jumat sehingga suasana Kedutaan Besar RI di Beijing tetap ramai meskipun hari libur untuk menyesuaikan kalender nasional China.

Dengan lahap mereka menyantap bakcang isi kacang merah dan kurma yang disajikan dalam kondisi suam itu selepas shalat Jumat di aula serba guna KBRI Beijing yang dalam tiga bulan terakhir disulap menjadi musala setelah masjid-masjid di Ibu Kota ditutup total sejak awal 2022 dengan alasan pandemi.

Satu lagi, bakcang tersebut ternyata menjadi suguhan bagi jamaah Jumat anggota majelis taklim At Taqwa KBRI Beijing yang siang itu juga melaksanakan shalat gaib untuk Emmeril Kahn Mumtadz (23), putra Gubernur Jawa Timur Ridwan Kamil, yang hilang di Sungai Aaree, Swiss. 



 

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024