Jakarta (ANTARA) - Produser film “Before, Now & Then (Nana)” Gita Fara berpendapat bahwa unsur lokal yang ditampilkan di dalam film semestinya bukan menjadi penghambat untuk mencapai penonton yang tersebar di berbagai negara.
“Kelokalan ini bukan sesuatu penghambat untuk kita bisa punya audiens yang lebih luas lagi. It’s worth to try untuk mengeksplorasi bahasa daerah dan budaya daerah,” kata Gita saat ditemui wartawan di Jakarta, Jumat.
Ia menilai bahwa karya-karya sutradara Kamila Andini serta rumah produksi Fourcolours Film merupakan keunikan tersendiri karena menggunakan unsur-unsur lokal menjadi sebuah “statement” di dalam film, termasuk penggunaan bahasa lokal.
“Ini yang mudah-mudahan bisa bergulir menjadi energi yang lebih besar untuk pembuat-pembuat film lain yang lebih muda di depan,” ujarnya.
Pada Rabu (19/1), penyelenggara Festival Film Internasional Berlin mengumumkan deretan film yang masuk program kompetisi utama, film “Nana” menjadi salah satu di antaranya.
Kamila Andini menjadi sutradara perempuan kedua Indonesia yang masuk di festival yang dikenal dengan nama Berlinale itu setelah Sofia WD dengan film “Badai Selatan” (1962). Selain itu, Edwin juga muncul di festival tersebut dengan film “Postcards from the Zoo” atau “Kebun Binatang” (2012).
“Saya bisa bilang bahwa film ini pencapaian terbesar buat Fourcolours Film, buat saya, buat Kamila Andini, dalam konteks sinema dunia,” ujar produser Ifa Isfansyah.
Ia mengatakan saat ini film “Nana” telah digaet oleh distributor internasional Wild Bunch yang telah memasarkan film-film besar, termasuk “Shoplifters” karya Kore-eda Hirokazu, “City of God” karya Fernando Meirelles, hingga “The Grandmaster” karya Wong Kar Wai.
“Kami juga mendorong untuk distribusi dan ini pertama kalinya kami bekerja sama dengan Wild Bunch. Bisa dibilang secara set-up, ini memang visi distribusinya lebih besar daripada sebelumnya,” kata Ifa.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan rencana distribusi film “Nana” di Indonesia, ia berharap film tersebut dapat segera ditayangkan di tanah air.
“Mudah-mudahan tidak terlalu jauh (tayangnya) sejak Berlin ini. Tentu saja, kapan waktunya dan sebagainya pasti bisa kami usulkan, tapi nanti mesti banyak sekali pertimbangan. Tapi kami ingin secepat mungkin setelah ini,” ujar Ifa.
“Kelokalan ini bukan sesuatu penghambat untuk kita bisa punya audiens yang lebih luas lagi. It’s worth to try untuk mengeksplorasi bahasa daerah dan budaya daerah,” kata Gita saat ditemui wartawan di Jakarta, Jumat.
Ia menilai bahwa karya-karya sutradara Kamila Andini serta rumah produksi Fourcolours Film merupakan keunikan tersendiri karena menggunakan unsur-unsur lokal menjadi sebuah “statement” di dalam film, termasuk penggunaan bahasa lokal.
“Ini yang mudah-mudahan bisa bergulir menjadi energi yang lebih besar untuk pembuat-pembuat film lain yang lebih muda di depan,” ujarnya.
Pada Rabu (19/1), penyelenggara Festival Film Internasional Berlin mengumumkan deretan film yang masuk program kompetisi utama, film “Nana” menjadi salah satu di antaranya.
Kamila Andini menjadi sutradara perempuan kedua Indonesia yang masuk di festival yang dikenal dengan nama Berlinale itu setelah Sofia WD dengan film “Badai Selatan” (1962). Selain itu, Edwin juga muncul di festival tersebut dengan film “Postcards from the Zoo” atau “Kebun Binatang” (2012).
“Saya bisa bilang bahwa film ini pencapaian terbesar buat Fourcolours Film, buat saya, buat Kamila Andini, dalam konteks sinema dunia,” ujar produser Ifa Isfansyah.
Ia mengatakan saat ini film “Nana” telah digaet oleh distributor internasional Wild Bunch yang telah memasarkan film-film besar, termasuk “Shoplifters” karya Kore-eda Hirokazu, “City of God” karya Fernando Meirelles, hingga “The Grandmaster” karya Wong Kar Wai.
“Kami juga mendorong untuk distribusi dan ini pertama kalinya kami bekerja sama dengan Wild Bunch. Bisa dibilang secara set-up, ini memang visi distribusinya lebih besar daripada sebelumnya,” kata Ifa.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan rencana distribusi film “Nana” di Indonesia, ia berharap film tersebut dapat segera ditayangkan di tanah air.
“Mudah-mudahan tidak terlalu jauh (tayangnya) sejak Berlin ini. Tentu saja, kapan waktunya dan sebagainya pasti bisa kami usulkan, tapi nanti mesti banyak sekali pertimbangan. Tapi kami ingin secepat mungkin setelah ini,” ujar Ifa.