Washington (ANTARA) - Penerima vaksin COVID-19 Johnson & Johnson akan memiliki respons antibodi penetralisir yang lebih kuat jika mereka diberi dosis penguat (booster) vaksin mRNA, Axios melaporkan pada Kamis, mengutip sumber yang melihat data Institut Kesehatan Nasional AS (NIH).
J&J meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) agar menyetujui vaksin dosis tunggal mereka sebagai booster.
NIH akan memaparkan data perbandingan (mix-and-match) ke panel penasihat FDA untuk mendapat pertimbangan pada Jumat, kata Axios.
Ada keterbatasan pada data NIH itu, kata laporan tersebut.
Antibodi penetralisir hanya mencegah virus masuk ke dalam sel dan bereplikasi, sementara laporan Axios mengatakan belum jelas berapa lama respons itu akan berlangsung.
NIH, FDA, dan J&J belum memberikan komentar.
Vaksin dua dosis buatan Pfizer/BioNTech dan vaksin Moderna menggunakan teknologi mRNA.
Pakar di luar FDA juga akan membahas perlu tidaknya dosis tambahan vaksin Moderna pada Jumat.
Ilmuwan FDA mengatakan bahwa Moderna belum memenuhi semua kriteria dari badan tersebut untuk mendukung penggunaan booster vaksin COVID-19 mereka, kemungkinan karena efikasi dua dosis pertama vaksin itu masih kuat.
Sumber: Reuters
J&J meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) agar menyetujui vaksin dosis tunggal mereka sebagai booster.
NIH akan memaparkan data perbandingan (mix-and-match) ke panel penasihat FDA untuk mendapat pertimbangan pada Jumat, kata Axios.
Ada keterbatasan pada data NIH itu, kata laporan tersebut.
Antibodi penetralisir hanya mencegah virus masuk ke dalam sel dan bereplikasi, sementara laporan Axios mengatakan belum jelas berapa lama respons itu akan berlangsung.
NIH, FDA, dan J&J belum memberikan komentar.
Vaksin dua dosis buatan Pfizer/BioNTech dan vaksin Moderna menggunakan teknologi mRNA.
Pakar di luar FDA juga akan membahas perlu tidaknya dosis tambahan vaksin Moderna pada Jumat.
Ilmuwan FDA mengatakan bahwa Moderna belum memenuhi semua kriteria dari badan tersebut untuk mendukung penggunaan booster vaksin COVID-19 mereka, kemungkinan karena efikasi dua dosis pertama vaksin itu masih kuat.
Sumber: Reuters