Jakarta (ANTARA) - Tindakan operasi bukan merupakan langkah awal yang dilakukan para dokter dalam menangani benjolan pada payudara, hal ini seperti diungkap dokter spesialis bedah onkologi dari Universitas Indonesia, dr. Farida Briani Sobri, SpB (K)Onk.

Dia berpendapat, memilih operasi sebagai langkah awal berisiko melakukan tindakan tidak tepat, yang bisa berdampak pada penyebaran kanker atau kemungkinan dilakukannya operasi ulang.

Menurut Farida, dokter akan menilai terlebih dulu benjolan pada payudara berdasarkan pemeriksaan fisik untuk melihat kategori BI-RADS 1,2,3,4 atau 5. BI-RADS merupakan cara pembacaan benjolan berdasarkan hasil radiologi seperti USG atau mamografi.

Bila benjolan masuk BI-RADS 4 dan 5, maka dokter bisa mengambil tindakan core biopsy untuk mendapatkan hasil diagnosis patologi dan kepastian. Biopsi merupakan pemeriksaan histopatologi, dengan mengirimkan contoh jaringan ke laboratorium patologi untuk diperiksa di bawah mikroskop.

BI-RADS 1,2,3 kita lihat lagi. Kalau dia BI-RADS 1, di USG dengan klinis curiga maka core biopsy langkah berikutnya, kecuali kecurigaan klinisnya rendah, maka kita bisa kerjakan observasi,” kata dia dalam sebuah diskusi virtual, dikutip Minggu.

Tetapi apabila benjolan termasuk BI-RADS 2, maka dokter nantinya melanjutnya screening. Jika kecurigaan klinis rendah maka observasi menjadi pilihan dan ini akan terus dilakukan hingga ada kecurigaan untuk kemudian dilakukan core biopsy.

Pada hasil core biopsy yang menunjukkan keganasan, dokter akan melakukan evaluasi ada tidaknya penyebaran yang bermanfaat untuk menegakkan stadium kanker.

“Pengobatan kanker payudara bergantung pada stadium dan sifat kanker berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia yang merupakan syarat kedua dokter untuk bisa mendesain terapi yang tepat pada pasien,” tutur Farida.

Sementara itu, pada benjolan yang ternyata tumor jinak dengan tidak ada peningkatan risiko kanker, seperti dikutip dari laman breastcancer.org, pasien hanya memerlukan skrining rutin tahunan dan pemeriksaan klinis.

Tetapi bila pasien merasakan sakit atau tidak nyaman dan ada peningkatkan risiko kanker, maka terapi lumpektomi atau operasi untuk menghilangkan benjolan berisi cairan atau prosedur aspirasi jarum halus dapat dilakukan.

Prosedur penanganan kanker payudara

Pada kanker stadium kanker awal (1,2 dan 3) dengan ukuran tumor kurang dari 2 cm, pembedahan optimal dimungkinkan. Tetapi pada ukuran tumor lebih dari 2 cm dan kanker termasuk tipe agresif seperti triple negatif, HER2 positif, maka terapi sistemik yang dianjurkan untuk memperkecil ukuran tumor di payudara, mengurangi kemungkinan penyebaran jauh dan melihat respons.

Pembedahan pada kanker payudara terbagi menjadi beberapa macam, salah satunya mastektomi yakni mengangkat seluruh bagian payudara. Tindakan ini dilakukan dengan indikasi tergantung ukuran tumor terlalu besar, besar payudara dan ketidakmampuan mendapatkan batas sayatan sehingga tidak sesuai indikasi tindakan operasi konservasi payudara (BCS).

Dalam prosedur BCS, payudara tidak dihilangkan seluruhnya demi memberikan kualitas hidup lebih baik bagi pasien. Menurut Farida, BCS mensyaratkan batas sayatan harus bebas tumor.

Pembedahan juga bisa mencakup kelenjar getah bening di ketiak apabila biopsi menyatakan kanker invasif atau berpotensi menyebar ke organ lain. Sementara bila biopsi menunjukkan hasil in-situ artinya tumor masih terlokalisir belum punya potensi menyebar, maka tindakan pada ketiak tidak harus dilakukan, kecuali ada beberapa indikasi.

Di sisi lain, apabila tumor sudah berukuran lebih dari 2 cm, punya karakter agresif, maka rekomendasi dokter pemberian terapi sistemik terlebih dahulu. Pasien sebaiknya mendapatkan kemoterapi pra-operasi untuk menilai respons dan prognosis untuk menentukan terapi setelah operasi nanti.

Sementara itu, pada pasien kanker payudara stadium lanjut atau metastasik yakni sudah ada penyebaran ke organ lain seperti paru-paru, hati dan tulang, misalnya dengan HER2 positif, ada sejumlah pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien, salah satunya terapi target anti-HER2.

Terapi ini bertujuan menghambat kerja protein HER2 yang berperan pada pertumbuhan dan penyebaran kanker, semisal pemberian trastuzumab, atau kombinasi pertuzumab dan trastuzumab. Pada terapi ini efek yang samping yang perlu dipantau antara lain fungsi jantung, reaksi suntik, efek samping ke saluran cerna dan reaksi alergi.

Terapi lainnya yakni kemo utuk mematikan sel-sel yang membelah cepat termasuk sel kanker. Efek samping tersering pada terapi ini antara lain gangguan pada sel darah dan saluran cerna, kerontokan rambut, gangguan pada saraf tepi dan fungsi jantung.

Lalu, bila pada pasien dengan reseptor hormon positif (ER/PR positif) maka bisa diberikan terapi hormonal yang bermanfaat menghambat produksi atau kerja hormone reproduksi wanita, Efek samping yang bisa muncul yakni gejala seperti menopause, fungsi jantung dan ostroporosis.

“Pada stadium lanjut, metastatis, maka pemberian anti-HER2 sampai seterusnya. Sampai kapan? Tidak tahu. Ini menjadi tantangan yang lain, masalah finansial menjadi problem utama karena selama memberikan respon yang baik maka harus diteruskan,” tutur dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi dari di Universitas Indonesia, dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM.

Jeffry menegaskan, pada stadium metastatik kanker masih dapat diterapi sehingga pasien jangan sampai kehilangan harapan untuk tetap hidup.

Dia menyimpulkan, penanganan kanker payudara bergantung sejumlah faktor yakni stadium, subtipe, kondisi pasien dan mutasi gen yang terjadi.

“Dulu, kalau ketemu kanker, operasi. Sekarang (operasi) ditaruh setelah kemoterapi,” demikian tutur dia yang tak menampik ada beberapa pasien yang justru ingin langsung menghilangkan kedua payudaranya.


 

Pewarta : Lia Wanadriani Santosa
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024