Banda Aceh (ANTARA) - Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinilai belum membuat jera para pelaku kekerasan terhadap anak.
“Qanun Jinayat lebih mengutamakan penghukuman pada pelaku kejahatan dan belum menyentuh pada aspek perlindungan terhadap anak yang menjadi korban,” kata Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh Ayu Ningsih, di Banda Aceh, Jumat.
Dalam Webinar bertajuk Ruang Negosiasi pada Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Sosiologis, Yuridis, dan Politis diselenggarakan Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (FISIP USK), Ayu Ningsih menjelaskan anak yang menjadi korban pemerkosaan sangat rentan menjadi pelaku, dan dijunctokan dengan pasal-pasal lain dalam Qanun Jinayat, seperti pengakuan zina dan zina anak.
Namun dalam UU Perlindungan Anak, apa pun kondisi anak tetap dianggap sebagai korban, meskipun persetubuhan tersebut dilakukan tanpa ancaman kekerasan, karena ada perluasan unsur pidana, seperti tipu muslihat, bujuk rayu, iming-iming, dan serangkaian kebohongan lainnya.
“Maka orang dewasa tetap akan dihukum dan anak tetap merupakan korban tindak pidana, sayangnya hal ini tidak ada dalam Qanun Jinayat,” katanya lagi.
Menurut dia, Qanun tentang Hukum Jinayat masih menawarkan tiga alternatif hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang terdiri atas hukuman cambuk, kurungan, dan denda.
“Seharusnya Pemerintah menerapkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak bagi pelaku kekerasan terhadap anak,” katanya pula.
Ia mengatakan selama ini penegak hukum belum pernah memakai qanun tersebut untuk menjerat pelaku kekerasan terhadap anak di Aceh. Padahal, sudah sepantasnya para aparatur hukum memastikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan, mulai dari moral and social justice kepada legal justice menuju pressure justice.
“Perlu diketahui, bahwasanya tindak kekerasan terhadap anak di Aceh cenderung tinggi,” katanya lagi.
Dia menyebutkan sampai Juni 2021, sudah ada 202 kasus tindak kekerasan terhadap anak yang terdiri dari 46 kasus pelecehan seksual, 45 kasus kekerasan psikis, dan 34 kasus kekerasan fisik.
KPPA menginginkan adanya upaya pemulihan kondisi korban (restitusi) atau penggantian kerugian yang dialami korban baik secara fisik maupun mental.
“Jadi, KPPA mendesak agar lahirnya peraturan gubernur yang mengatur tentang restitusi,” kata dia.
Anggota DPR Aceh Darwani A Gani mengatakan selama ini masih ada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, tetapi tidak melapor karena takut malu.
“Masyarakat menganggap kasus kekerasan seksual adalah masalah yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” katanya pula.