Jakarta (ANTARA) - Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan hal yang menarik untuk dikupas di negara manapun di dunia ini dan tetap aktual sepanjang masa, karena kehadiran TKA akan mempengaruhi keterpakaian tenaga kerja lokal di negara tersebut.
Hal yang tak kalah penting yaitu memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak, kewajiban dan merupakan harga diri serta impian setiap individu.
Lapangan kerja yang ada dan kompetensi tenaga kerja yang tersedia merupakan dua hal yang bisa menjadi peluang sekaligus bisa menjadi permasalahan bagi Tenaga Kerja tersebut.
Di satu sisi, pada beberapa sektor Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum memiliki kompetensi, di sini lain TKA terbuka peluang untuk bekerja di Indonesia.
Untuk menyeimbangkan kontribusi TKA dan TKI secara proporsional dalam pembangunan nasional dibutuhkan koridor peraturan perundang-undangan.
Sehingga TKA yang bekerja di Indonesia adalah TKA yang benar-benar dibutuhkan artinya kompetensi TKA tersebut tidak/belum dimiliki oleh TKI.
Hal tersebut bertujuan agar terdapat alih pengetahuan dan keahlian dari TKA ke TKI, sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu bumi dan air dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mengenai TKA terdapat beberapa stakeholders yang terkait antara lain Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM (Direktorat Jenderal Imigrasi/Ditjenim), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Kementerian Keuangan.
Dalam bahasan ini dibatasi ketentuan tentang TKA pada 4 stakeholders yang terkait yaitu Kemenaker, Satgas Covid-19 (dengan pertimbangan masa pandemi covid-19), BKPM, Ditjenim.
Penggunaan TKA
Dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 81 dan pasal 185 huruf b UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) no 34 tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
PP ini diperlukan guna mendorong percepatan pembangunan nasional melalui penggunaan TKA secara selektif dengan persyaratan dan pembatasan TKA yang akan dipekerjakan melalui penetapan jabatan tertentu dan waktu tertentu yang dapat diduduki oleh TKA.
Pasal 1 TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Pada Pasal 4 TKA hanya dapat dipekerjakan oleh Pemberi Kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Hal ini berarti tidak semua TKA dapat menduduki jabatan, salah satu jabatan yang tidak dapat diduduki TKA adalah personalia.
Publik tidak begitu memahami jabatan tertentu yang dapat diduduki TKA karena publik tidak terbiasa melakukan check and balance atas informasi dengan membaca sumber aslinya.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No.228 Tahun 2019 tentang Jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh TKA antara lain konstruksi, real estate, pendidikan, industri pengolahan, pengangkutan dan pergudangan; pertanian, kehutanan dan perikanan; infornasi dan telekomunikasi, pertambangan dan penggalian.
Publik belum memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai instansi yang menangani jabatan tertentu yang bisa diisi oleh TKA.
Secara fungsi dan tugas pokok Kemenakerlah sebagai pemangku tusi yang berkewajiban mensosialisasikan ke publik.
Pasal 6 Setiap Pemberi Kerja TKA yang mempekerjakan TKA wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
RPTKA merupakan hal yang wajib dimiliki oleh TKA yang bekerja di Indonesia. Kemenaker yang berwewenang untuk mengeluarkan RPTKA tersebut.
Pemahaman ini kurang dimiliki dan bahkan tidak tersampaikan secara luas ke publik, mungkin karena sosialisasi yang telah dilakukan oleh Kemenaker terbatas pada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan TKA.
Pasal 14 Ayat 6 Pengesahan RPTKA digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja bagi TKA.
RPTKA yang dikeluarkan oleh Kemenaker, yang menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja untuk mengajukan permohonan visa dan izin tinggal ke Imigrasi.
RPTKA inilah yang menjadi salah satu dasar bagi Imigrasi untuk mengizinkan orang asing untuk beraktivitas di Indonesia.
Sejak April tahun 2018 telah diterapkan konsep One Single Submission (OSS) merupakan skema pelaksanaan teknis dalam hal perizinan penggunaan TKA yang berbasis daring.
Sistem ini memanfaatkan teknologi informasi dan mengintegrasikan sistem yang dimiliki oleh Kemenaker dan Kemenkumham melalui Ditjenim.
Penanaman Modal Asing (PMA)
Di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19, realisasi investasi pada Januari – Desember 2020: Rp 826,3 T, meningkat 2,1% dari tahun sebelumnya yaitu Januari – Desember 2019 (Rp 809,6T) (sumber: www.bkpm.go.id).
Sedangkan investasi PMA berdasarkan Negara Asal dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel investasi penanaman modal asing (PMA) berdasarkan negara (ANTARA/HO-)
Dari tabel tersebut terdapat beberapa negara yang cukup besar dalam berkontribusi terhadap investasi di Indonesia yaitu Singapura US$ 9,8 M (34,2%), R.R.Tiongkok US$ 4,8 M (16,7%), Hongkong, RRT US$ 3,5 M (12,15%), Jepang US$ 2,6 M (9,2%), Korea Selatan US$ 1,8 M (6,3%), Lainnya US$ 6,2 M (21,7%).
Peraturan BKPM RI No 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan BKPM No 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal.
Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 Penanaman Modal Asing dalam ketentuan tersebut dapat disarikan bahwa Penanaman Modal Asing harus mendapatkan Rekomendasi dari BKPM dan surat rekomendasi tersebut menjadi salah satu persyaratan dalam pengajuan visa dan izin tinggal pada Direktorat Jenderal Imigrasi.
PMA merupakan domain BKPM hal ini tidak begitu familiar di telinga publik karena publik tidak bersentuhan langsung dengan penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.
Selain itu tingkat pengetahuan publik cukup beragam, hanya kalangan terbatas yang memahami secara komprehensif mengenai BKPM.
Jadi tidak mengherankan bila Imigrasi yang disorot bila publik mendengar kata “asing” pada hal yang terkait dengan Penanaman Modal Asing.
Prokes
Aturan bagi WNA yang akan masuk ke Indonesia semakin ketat karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Satgas COVID-19 menerbitkan Penetapan adendum perubahan dan tambahan Surat Edaran No 8 Tahun 2021 terkait protokol kesehatan perjalanan internasional.
WNA yang akan masuk Indonesia, maka wajib mematuhi prokes berikut antara lain saat kedatangan, dilakukan tes ulang RT-PCR dan wajib menjalani karantina selama 8x24 jam atas biaya mandiri.
WNA harus melakukan tes RT-PCR kedua pada hari ke-7 karantina. Jika menunjukkan hasil negatif, maka karantina dinyatakan selesai setelah hari ke-8.
Ketentuan mengenai prokes bagi WNA merupakan ranah Satgas COVID-19 bukan ranah Imigrasi. Satgas COVID-19 yang berkewajiban melaksanakan, memantau dan mengevaluasi ketentuan prokes tersebut.
Visa dan Izin Tinggal
Dalam masa pandemi COVID-19 terdapat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.
Pasal 2 Ayat (1) Orang Asing pemegang Visa dan / atau Izin Tinggal yang sah dan berlaku dapat masuk wilayah Indonesia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi tertentu setelah memenuhi prokes.
Ayat (2) Prokes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang melaksanakan penanganan terhadap COVID-19.
Surat keterangan sehat yang diatur pada pasal 6 menjadi salah satu dasar bagi Imigrasi untuk mengizinkan WNA masuk ke wilayah Indonesia.
Di sinilah dibutuhkan sinergitas antara Imigrasi dan Satgas COVID-19 sehingga segala ketentuan yang terkait prokes bagi WNA dapat diimplementasikan dalam rangka menekan laju sebaran COVID-19.
Dalam masa PPKM, telah dikeluarkan Surat Edaran Mennkumham no M.HH-01.GR.02.07 Tahun 2021 Tentang Ketentuam Visa, Tanda Masuk dan Izin Tinggal Keimigrasian Dalam Masa PPKM Darurat COVID-19.
SE Menkumham antara lain kebijakan hasil RT-PCR negatif COVID-19 dan masih berlaku serta dapat dilakukan pengecekan melalui QR-Code; bukti telah menerima vaksin COVID-19 dosis lengkap; surat pernyataan dalam Bahasa Inggris yang menyatakan bersedia masuk karantina sekurang-kurangnya 8 (delapan) hari di fasilitas karantina atau fasilitas pelayanan kesehatan sesuai prokes.
Ketentuan ini untuk menegaskan kembali ketentuan yang lebih tinggi sehingga secara berjenjang ke bawah, petugas memiliki pedoman standarisasi dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Visa, Tanda Masuk dan Izin Tinggal Keimigrasian dalam masa PPKM Darurat COVID-19
Dengan adanya SE ini diharapkan dalam implementasi di lapangan tidak terjadi multi tafsir terhadap ketentuan yang lebih tinggi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa stakeholders yang terkait dengan Pengaturan TKA bukan hanya satu/dua kementerian atau lembaga saja. Namun beberapa kementerian atau lembaga yang terkait dari hulu sampai hilir.
Sehingga jika terjadi ketidaksetujuan atas kehadiran TKA maka “mata dan telinga” publik tertuju pada Imigrasi. Padahal ketentuan mengenai TKA melibatkan beberapa kementerian atau lembaga.
Karena bagi publik, segala sesuatu yang berhubungan dengan orang asing merupakan tugas dan fungsi Imigrasi. Juga tak dapat dipungkiri keterkenalan Imigrasi dibenak publik, lebih dibandingkan dengan Instansi lain, tanpa bermaksud mengecilkan peranan instansi lainnya.
Demikian, semoga segala ketentuan yang ada dapat membawa kemaslahatan bagi Bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
*) Fenny Julita S.Sos, M.Si adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.
Hal yang tak kalah penting yaitu memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak, kewajiban dan merupakan harga diri serta impian setiap individu.
Lapangan kerja yang ada dan kompetensi tenaga kerja yang tersedia merupakan dua hal yang bisa menjadi peluang sekaligus bisa menjadi permasalahan bagi Tenaga Kerja tersebut.
Di satu sisi, pada beberapa sektor Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum memiliki kompetensi, di sini lain TKA terbuka peluang untuk bekerja di Indonesia.
Untuk menyeimbangkan kontribusi TKA dan TKI secara proporsional dalam pembangunan nasional dibutuhkan koridor peraturan perundang-undangan.
Sehingga TKA yang bekerja di Indonesia adalah TKA yang benar-benar dibutuhkan artinya kompetensi TKA tersebut tidak/belum dimiliki oleh TKI.
Hal tersebut bertujuan agar terdapat alih pengetahuan dan keahlian dari TKA ke TKI, sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu bumi dan air dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mengenai TKA terdapat beberapa stakeholders yang terkait antara lain Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM (Direktorat Jenderal Imigrasi/Ditjenim), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Kementerian Keuangan.
Dalam bahasan ini dibatasi ketentuan tentang TKA pada 4 stakeholders yang terkait yaitu Kemenaker, Satgas Covid-19 (dengan pertimbangan masa pandemi covid-19), BKPM, Ditjenim.
Penggunaan TKA
Dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 81 dan pasal 185 huruf b UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) no 34 tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
PP ini diperlukan guna mendorong percepatan pembangunan nasional melalui penggunaan TKA secara selektif dengan persyaratan dan pembatasan TKA yang akan dipekerjakan melalui penetapan jabatan tertentu dan waktu tertentu yang dapat diduduki oleh TKA.
Pasal 1 TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Pada Pasal 4 TKA hanya dapat dipekerjakan oleh Pemberi Kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Hal ini berarti tidak semua TKA dapat menduduki jabatan, salah satu jabatan yang tidak dapat diduduki TKA adalah personalia.
Publik tidak begitu memahami jabatan tertentu yang dapat diduduki TKA karena publik tidak terbiasa melakukan check and balance atas informasi dengan membaca sumber aslinya.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No.228 Tahun 2019 tentang Jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh TKA antara lain konstruksi, real estate, pendidikan, industri pengolahan, pengangkutan dan pergudangan; pertanian, kehutanan dan perikanan; infornasi dan telekomunikasi, pertambangan dan penggalian.
Publik belum memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai instansi yang menangani jabatan tertentu yang bisa diisi oleh TKA.
Secara fungsi dan tugas pokok Kemenakerlah sebagai pemangku tusi yang berkewajiban mensosialisasikan ke publik.
Pasal 6 Setiap Pemberi Kerja TKA yang mempekerjakan TKA wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
RPTKA merupakan hal yang wajib dimiliki oleh TKA yang bekerja di Indonesia. Kemenaker yang berwewenang untuk mengeluarkan RPTKA tersebut.
Pemahaman ini kurang dimiliki dan bahkan tidak tersampaikan secara luas ke publik, mungkin karena sosialisasi yang telah dilakukan oleh Kemenaker terbatas pada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan TKA.
Pasal 14 Ayat 6 Pengesahan RPTKA digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja bagi TKA.
RPTKA yang dikeluarkan oleh Kemenaker, yang menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja untuk mengajukan permohonan visa dan izin tinggal ke Imigrasi.
RPTKA inilah yang menjadi salah satu dasar bagi Imigrasi untuk mengizinkan orang asing untuk beraktivitas di Indonesia.
Sejak April tahun 2018 telah diterapkan konsep One Single Submission (OSS) merupakan skema pelaksanaan teknis dalam hal perizinan penggunaan TKA yang berbasis daring.
Sistem ini memanfaatkan teknologi informasi dan mengintegrasikan sistem yang dimiliki oleh Kemenaker dan Kemenkumham melalui Ditjenim.
Penanaman Modal Asing (PMA)
Di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19, realisasi investasi pada Januari – Desember 2020: Rp 826,3 T, meningkat 2,1% dari tahun sebelumnya yaitu Januari – Desember 2019 (Rp 809,6T) (sumber: www.bkpm.go.id).
Sedangkan investasi PMA berdasarkan Negara Asal dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Dari tabel tersebut terdapat beberapa negara yang cukup besar dalam berkontribusi terhadap investasi di Indonesia yaitu Singapura US$ 9,8 M (34,2%), R.R.Tiongkok US$ 4,8 M (16,7%), Hongkong, RRT US$ 3,5 M (12,15%), Jepang US$ 2,6 M (9,2%), Korea Selatan US$ 1,8 M (6,3%), Lainnya US$ 6,2 M (21,7%).
Peraturan BKPM RI No 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan BKPM No 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal.
Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 Penanaman Modal Asing dalam ketentuan tersebut dapat disarikan bahwa Penanaman Modal Asing harus mendapatkan Rekomendasi dari BKPM dan surat rekomendasi tersebut menjadi salah satu persyaratan dalam pengajuan visa dan izin tinggal pada Direktorat Jenderal Imigrasi.
PMA merupakan domain BKPM hal ini tidak begitu familiar di telinga publik karena publik tidak bersentuhan langsung dengan penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.
Selain itu tingkat pengetahuan publik cukup beragam, hanya kalangan terbatas yang memahami secara komprehensif mengenai BKPM.
Jadi tidak mengherankan bila Imigrasi yang disorot bila publik mendengar kata “asing” pada hal yang terkait dengan Penanaman Modal Asing.
Prokes
Aturan bagi WNA yang akan masuk ke Indonesia semakin ketat karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Satgas COVID-19 menerbitkan Penetapan adendum perubahan dan tambahan Surat Edaran No 8 Tahun 2021 terkait protokol kesehatan perjalanan internasional.
WNA yang akan masuk Indonesia, maka wajib mematuhi prokes berikut antara lain saat kedatangan, dilakukan tes ulang RT-PCR dan wajib menjalani karantina selama 8x24 jam atas biaya mandiri.
WNA harus melakukan tes RT-PCR kedua pada hari ke-7 karantina. Jika menunjukkan hasil negatif, maka karantina dinyatakan selesai setelah hari ke-8.
Ketentuan mengenai prokes bagi WNA merupakan ranah Satgas COVID-19 bukan ranah Imigrasi. Satgas COVID-19 yang berkewajiban melaksanakan, memantau dan mengevaluasi ketentuan prokes tersebut.
Visa dan Izin Tinggal
Dalam masa pandemi COVID-19 terdapat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.
Pasal 2 Ayat (1) Orang Asing pemegang Visa dan / atau Izin Tinggal yang sah dan berlaku dapat masuk wilayah Indonesia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi tertentu setelah memenuhi prokes.
Ayat (2) Prokes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang melaksanakan penanganan terhadap COVID-19.
Surat keterangan sehat yang diatur pada pasal 6 menjadi salah satu dasar bagi Imigrasi untuk mengizinkan WNA masuk ke wilayah Indonesia.
Di sinilah dibutuhkan sinergitas antara Imigrasi dan Satgas COVID-19 sehingga segala ketentuan yang terkait prokes bagi WNA dapat diimplementasikan dalam rangka menekan laju sebaran COVID-19.
Dalam masa PPKM, telah dikeluarkan Surat Edaran Mennkumham no M.HH-01.GR.02.07 Tahun 2021 Tentang Ketentuam Visa, Tanda Masuk dan Izin Tinggal Keimigrasian Dalam Masa PPKM Darurat COVID-19.
SE Menkumham antara lain kebijakan hasil RT-PCR negatif COVID-19 dan masih berlaku serta dapat dilakukan pengecekan melalui QR-Code; bukti telah menerima vaksin COVID-19 dosis lengkap; surat pernyataan dalam Bahasa Inggris yang menyatakan bersedia masuk karantina sekurang-kurangnya 8 (delapan) hari di fasilitas karantina atau fasilitas pelayanan kesehatan sesuai prokes.
Ketentuan ini untuk menegaskan kembali ketentuan yang lebih tinggi sehingga secara berjenjang ke bawah, petugas memiliki pedoman standarisasi dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Visa, Tanda Masuk dan Izin Tinggal Keimigrasian dalam masa PPKM Darurat COVID-19
Dengan adanya SE ini diharapkan dalam implementasi di lapangan tidak terjadi multi tafsir terhadap ketentuan yang lebih tinggi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa stakeholders yang terkait dengan Pengaturan TKA bukan hanya satu/dua kementerian atau lembaga saja. Namun beberapa kementerian atau lembaga yang terkait dari hulu sampai hilir.
Sehingga jika terjadi ketidaksetujuan atas kehadiran TKA maka “mata dan telinga” publik tertuju pada Imigrasi. Padahal ketentuan mengenai TKA melibatkan beberapa kementerian atau lembaga.
Karena bagi publik, segala sesuatu yang berhubungan dengan orang asing merupakan tugas dan fungsi Imigrasi. Juga tak dapat dipungkiri keterkenalan Imigrasi dibenak publik, lebih dibandingkan dengan Instansi lain, tanpa bermaksud mengecilkan peranan instansi lainnya.
Demikian, semoga segala ketentuan yang ada dapat membawa kemaslahatan bagi Bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
*) Fenny Julita S.Sos, M.Si adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.