Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan adanya anggapan pasal terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP sama dengan menghidupkan kembali pasal yang dimatikan Mahkamah Konstitusi adalah keliru.
"Ini adalah sesuatu kekeliruan," kata dia di Jakarta, Senin.
Pertama, yang dimatikan Mahkamah Konstitusi adalah delik biasa padahal yang disusun pemerintah dan DPR RI terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah delik aduan.
Baca juga: Hina bupati, anggota DPRD Kepulauan Tanimbar divonis 18 bulan penjara
Kedua, ada yang beranggapan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu ada, namun cukup dimasukkan kedalam pasal penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam pasal 310 sampai 321 KUHP.
Ia berpandangan jika pasal-pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dihapus dan dimasukkan kedalam pasal penghinaan secara umum, maka sebaiknya pasal tentang makar dihapus.
"Toh makar itu adalah pembunuhan terhadap Presiden dan Wakil Presiden," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada tersebut.
Oleh sebab itu, katanya, perlu diketahui bahwa Presiden merupakan simbol negara dan personifikasi dari suatu negara sehingga perlu diatur secara khusus.
Baca juga: Menkumham: Pasal penghinaan terhadap presiden jadi delik aduan
Secara umum isu tentang KUHP materi muatannya hampir sama di seluruh dunia kecuali tiga hal. Pertama, mengenai delik politik. Dalam KUHP Indonesia sama sekali tidak ada BAB yang berjudul delik politik hal itu berbeda dengan Prancis yang memiliki delik politik.
Kedua, yang menjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain adalah menyangkut kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satu BAB yang tertulis kejahatan terhadap kesusilaan.
Terakhir adalah masalah penghinaan atau pencemaran nama baik. Antara satu negara dengan yang lain akan berbeda. Jadi jika berbicara mengenai penghinaan terhadap Presiden maka tidak bisa membandingkannya dengan negara lain.
Baca juga: Pasal 218 untuk melindungi kehormatan Kepala Negara dari hinaan WNA
"Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multireligi, bukan KUHP Prancis, Amerika Serikat, dan lain sebagainya," katanya.
"Ini adalah sesuatu kekeliruan," kata dia di Jakarta, Senin.
Pertama, yang dimatikan Mahkamah Konstitusi adalah delik biasa padahal yang disusun pemerintah dan DPR RI terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah delik aduan.
Baca juga: Hina bupati, anggota DPRD Kepulauan Tanimbar divonis 18 bulan penjara
Kedua, ada yang beranggapan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu ada, namun cukup dimasukkan kedalam pasal penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam pasal 310 sampai 321 KUHP.
Ia berpandangan jika pasal-pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dihapus dan dimasukkan kedalam pasal penghinaan secara umum, maka sebaiknya pasal tentang makar dihapus.
"Toh makar itu adalah pembunuhan terhadap Presiden dan Wakil Presiden," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada tersebut.
Oleh sebab itu, katanya, perlu diketahui bahwa Presiden merupakan simbol negara dan personifikasi dari suatu negara sehingga perlu diatur secara khusus.
Baca juga: Menkumham: Pasal penghinaan terhadap presiden jadi delik aduan
Secara umum isu tentang KUHP materi muatannya hampir sama di seluruh dunia kecuali tiga hal. Pertama, mengenai delik politik. Dalam KUHP Indonesia sama sekali tidak ada BAB yang berjudul delik politik hal itu berbeda dengan Prancis yang memiliki delik politik.
Kedua, yang menjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain adalah menyangkut kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satu BAB yang tertulis kejahatan terhadap kesusilaan.
Terakhir adalah masalah penghinaan atau pencemaran nama baik. Antara satu negara dengan yang lain akan berbeda. Jadi jika berbicara mengenai penghinaan terhadap Presiden maka tidak bisa membandingkannya dengan negara lain.
Baca juga: Pasal 218 untuk melindungi kehormatan Kepala Negara dari hinaan WNA
"Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multireligi, bukan KUHP Prancis, Amerika Serikat, dan lain sebagainya," katanya.