Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan dalam rangka mengontrol praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia.
Thomas menuturkan kebijakan pemerintah dalam mengontrol predatory pricing tersebut merupakan pembatasan impor yang ternyata tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga penjual eceran domestik.
“Kebijakan pemerintah untuk merespons kekhawatirannya bahwa praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia merugikan banyak pihak,” katanya di Jakarta, Sabtu.
Thomas menjelaskan sebelumnya pemerintah telah menurunkan ambang batas bea masuk untuk transaksi lintas negara pada awal 2020.
Kemudian kini pemerintah mewacanakan pembatasan perdagangan barang impor secara online demi mencegah produsen asing menguasai pasar karena menjual dengan tarif jauh di bawah biaya produksi.
Menurutnya, kebijakan pembatasan tersebut terlalu terburu-buru karena pemerintah tidak memiliki bukti bahwa benar telah terjadi praktik tarif predator di pasar digital di Indonesia.
Ia menjelaskan memangkas biaya produksi yang tidak efisien adalah hal yang bukan hanya fair tetapi justru diharapkan memicu efisiensi pada skala lebih besar melalui proses kompetisi.
“Demikian juga halnya dengan peningkatan volume produksi untuk menurunkan biaya produksi per unit yang bukan merupakan tarif predator,” ujarnya.
Ia menilai mengkategorikan produsen yang berhasil memperluas porsi pasarnya dengan produktivitas tinggi atau pengelolaan biaya yang baik sebagai predator merupakan preseden buruk bagi ekonomi.
“Karena justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar,” tegasnya.
Ia menegaskan tindakan itu dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar, dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka.
“Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar,” ujarnya.
Terlebih lagi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengeluarkan pedoman dengan berbagai opsi pengujian untuk menentukan ada tidaknya predatory pricing di balik rendahnya suatu harga.
Pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi potensi terjadinya praktik tarif predator.
Hal ini dilakukan karena akan sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.
Selanjutnya, tingginya partisipasi pelaku usaha eceran pada pasar digital juga menandakan pembatasan kuota terhadap peredaran barang asing akan merugikan pembeli dan UKM eceran.
Oleh sebab itu ia menyarankan pemerintah dapat mendukung UKM dengan menimbang ulang pemberlakuan persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online.
Ia mengatakan langkah itu membuat perusahaan predator sulit membebani konsumen dengan harga tinggi untuk menutup kerugian mereka, karena ini hanya akan menarik pemain baru yang dapat menawarkan harga lebih rendah.
Thomas menuturkan kebijakan pemerintah dalam mengontrol predatory pricing tersebut merupakan pembatasan impor yang ternyata tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga penjual eceran domestik.
“Kebijakan pemerintah untuk merespons kekhawatirannya bahwa praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia merugikan banyak pihak,” katanya di Jakarta, Sabtu.
Thomas menjelaskan sebelumnya pemerintah telah menurunkan ambang batas bea masuk untuk transaksi lintas negara pada awal 2020.
Kemudian kini pemerintah mewacanakan pembatasan perdagangan barang impor secara online demi mencegah produsen asing menguasai pasar karena menjual dengan tarif jauh di bawah biaya produksi.
Menurutnya, kebijakan pembatasan tersebut terlalu terburu-buru karena pemerintah tidak memiliki bukti bahwa benar telah terjadi praktik tarif predator di pasar digital di Indonesia.
Ia menjelaskan memangkas biaya produksi yang tidak efisien adalah hal yang bukan hanya fair tetapi justru diharapkan memicu efisiensi pada skala lebih besar melalui proses kompetisi.
“Demikian juga halnya dengan peningkatan volume produksi untuk menurunkan biaya produksi per unit yang bukan merupakan tarif predator,” ujarnya.
Ia menilai mengkategorikan produsen yang berhasil memperluas porsi pasarnya dengan produktivitas tinggi atau pengelolaan biaya yang baik sebagai predator merupakan preseden buruk bagi ekonomi.
“Karena justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar,” tegasnya.
Ia menegaskan tindakan itu dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar, dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka.
“Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar,” ujarnya.
Terlebih lagi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengeluarkan pedoman dengan berbagai opsi pengujian untuk menentukan ada tidaknya predatory pricing di balik rendahnya suatu harga.
Pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi potensi terjadinya praktik tarif predator.
Hal ini dilakukan karena akan sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.
Selanjutnya, tingginya partisipasi pelaku usaha eceran pada pasar digital juga menandakan pembatasan kuota terhadap peredaran barang asing akan merugikan pembeli dan UKM eceran.
Oleh sebab itu ia menyarankan pemerintah dapat mendukung UKM dengan menimbang ulang pemberlakuan persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online.
Ia mengatakan langkah itu membuat perusahaan predator sulit membebani konsumen dengan harga tinggi untuk menutup kerugian mereka, karena ini hanya akan menarik pemain baru yang dapat menawarkan harga lebih rendah.