Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo merespons keputusan lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) yang mempertahankan peringkat utang atau Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB/outlook negatif pada 22 April 2021.

Dalam laporannya, S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada level BBB, karena prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat dan rekam jejak kebijakan yang berhati-hati yang tetap ditempuh otoritas. Pada sisi lain, S&P juga menyatakan bahwa risiko fiskal dan risiko eksternal terkait pandemi COVID-19 perlu menjadi perhatian.

"Afirmasi rating Indonesia tersebut menunjukkan bahwa di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia," ujar Perry melalui keterangan, di Jakarta, Jumat.

Hal itu, lanjut Perry, didukung oleh kredibilitas kebijakan dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara BI dan Pemerintah.

Ke depan, BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik, mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional.

Pada 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi 2,1 persen, relatif terbatas dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Respons kebijakan fiskal pemerintah serta pembatasan mobilitas yang terukur saat pandemi dapat meredam dampak negatif pada ekonomi.

S&P memperkirakan perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terakselerasi pada 2022 seiring percepatan program vaksinasi dan normalisasi aktivitas ekonomi secara bertahap.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah pada November 2020 juga akan menciptakan lapangan kerja dan menarik penanaman modal asing (PMA), sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pada sisi eksternal, cadangan devisa Indonesia terus meningkat dan mencatat rekor tertinggi pada Februari 2021 sebagai dampak dari penurunan impor dan kebijakan nilai tukar yang fleksibel.

S&P memandang kemampuan Indonesia untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri tetap terjaga, didukung kebijakan kehati-hatian dalam pengelolaan risiko utang luar negeri korporasi.

Lebih lanjut, dalam satu tahun terakhir, rasio utang dalam valuta asing juga menurun hingga di bawah 40 persen dari total hutang. Rasio kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah berdenominasi rupiah juga menurun tajam pada 2020.

Pada sisi fiskal, dalam jangka pendek, S&P memperkirakan pemerintah akan mempertahankan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mendorong pemulihan ekonomi, sehingga defisit fiskal akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata historisnya.

S&P memandang dukungan fiskal masih dibutuhkan untuk mitigasi dampak pandemi dan mendukung pemulihan ekonomi. Selanjutnya, S&P memperkirakan bahwa pemerintah akan secara bertahap mengembalikan kebijakan fiskal ke arah yang lebih prudent.

S&P mencatat peran BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Langkah Bank Indonesia untuk membeli surat berharga pemerintah di pasar primer sebagai "last resort", dapat membantu pemerintah mengelola kebutuhan pendanaan dan menurunkan beban bunga ketika pasar keuangan sedang mengalami tekanan.

S&P memandang langkah ini tidak terindikasi memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dan imbal hasil obligasi.

S&P sebelumnya mempertahankan sovereign credit rating Indonesia pada BBB dan merevisi outlook dari stabil menjadi negatif pada 17 April 2020 lalu.

Pewarta : Citro Atmoko
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024