Jakarta (ANTARA) - Kalangan tenaga pendidik memberikan metode khusus kepada anak dengan gangguan perkembangan fungsi otak atau autisme berkategori 'rigid' agar mereka dapat menyesuaikan kebiasaan baru di era pandemi COVID-19.
"Untuk melakukan apa yang kita arahkan, dia harus diberi 'reward' (penghargaan), biar senang. Kalau dia senang akan diulang-ulang terus. Biasanya dua pekan sampai sebulan, mereka akan terbiasa," kata Kepala Cabang Rumah Autis Bekasi Yasmir saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin pagi.
Penyandang autisme rigid, kata Yasmir, memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat dan menggambarkan benda-benda secara detail pada area otak yang berhubungan dengan informasi visual. Sedangkan area otak lain yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan perencanaan jadi kurang berkembang.
Menurut Yasmir, penyandang autisme dikategorikan rigid bila kebiasaan mereka sudah terpola, sehingga tidak bisa diusik oleh siapapun.
"Misalnya, kalau ke sekolah biasa lewat jalan di sebelah kiri, ya harus lewat kiri terus atau kalau di rumah, ada perubahan tata ruang tanpa sosialisasi, dia bisa marah," katanya.
Yasmir mengatakan kebijakan membatasi aktivitas di ruang publik selama pandemi juga memberikan tantangan tersendiri kepada orang tua untuk memberikan pemahaman kepada penyandang autisme rigid.
"Mereka biasa teratur di rumah. Saat akhir pekan mereka biasa jalan-jalan, tapi sekarang di rumah saja. Bahkan, di saat jam belajar, ada orang tua yang sengaja mengajak anaknya mendatangi sekolah demi meyakinkan seng anak bahwa sekolahnya sedang tutup. Ini masalah buat mereka dan orang tua juga," katanya.
Yasmir mengatakan sistem belajar dalam jaringan (daring) di rumah selama pandemi juga dirasa kurang optimal bagi penyandang autisme.
"Kalau kita kasih materi pembelajaran secara daring, kan orang tuanya yang mendampingi, sementara mereka juga punya anak-anak yang butuh juga diperhatikan. Sehingga, kendalanya yang autis bisa saja dikorbankan, lebih fokus pada adik atau kakaknya yang normal," katanya.
Selama pandemi, kata Yasmir, 80 persen orang tua di Rumah Autis Bekasi menginginkan anaknya tetap belajar bersama guru di sekolah.
Aktivitas belajar mengajar di Rumah Autis Bekasi sempat ditutup pada Januari hingga Februari 2021 akibat tiga guru dan satu orang tua siswa terkonfirmasi positif COVID-19. "Sejak awal Maret 2021, belajar tatap muka telah kembali dibuka dengan protokol kesehatan," katanya.
Penerapan kebiasaan baru bagi 50 anak di Rumah Autis Bekasi dilakukan 18 guru lewat pendekatan yang menggembirakan para siswa.
Sosialisasi terkait pandemi disampaikan lewat buku pelajaran yang dibuat secara swadaya. "Kalau buku kurikulum sekolah umum bisa didapat di mana saja, kalau sekolah autis ini kan panduannya tidak ada, jadi kita bikin sendiri. Kuncinya adalah aktivitas yang menyenangkan," katanya.
"Untuk melakukan apa yang kita arahkan, dia harus diberi 'reward' (penghargaan), biar senang. Kalau dia senang akan diulang-ulang terus. Biasanya dua pekan sampai sebulan, mereka akan terbiasa," kata Kepala Cabang Rumah Autis Bekasi Yasmir saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin pagi.
Penyandang autisme rigid, kata Yasmir, memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat dan menggambarkan benda-benda secara detail pada area otak yang berhubungan dengan informasi visual. Sedangkan area otak lain yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan perencanaan jadi kurang berkembang.
Menurut Yasmir, penyandang autisme dikategorikan rigid bila kebiasaan mereka sudah terpola, sehingga tidak bisa diusik oleh siapapun.
"Misalnya, kalau ke sekolah biasa lewat jalan di sebelah kiri, ya harus lewat kiri terus atau kalau di rumah, ada perubahan tata ruang tanpa sosialisasi, dia bisa marah," katanya.
Yasmir mengatakan kebijakan membatasi aktivitas di ruang publik selama pandemi juga memberikan tantangan tersendiri kepada orang tua untuk memberikan pemahaman kepada penyandang autisme rigid.
"Mereka biasa teratur di rumah. Saat akhir pekan mereka biasa jalan-jalan, tapi sekarang di rumah saja. Bahkan, di saat jam belajar, ada orang tua yang sengaja mengajak anaknya mendatangi sekolah demi meyakinkan seng anak bahwa sekolahnya sedang tutup. Ini masalah buat mereka dan orang tua juga," katanya.
Yasmir mengatakan sistem belajar dalam jaringan (daring) di rumah selama pandemi juga dirasa kurang optimal bagi penyandang autisme.
"Kalau kita kasih materi pembelajaran secara daring, kan orang tuanya yang mendampingi, sementara mereka juga punya anak-anak yang butuh juga diperhatikan. Sehingga, kendalanya yang autis bisa saja dikorbankan, lebih fokus pada adik atau kakaknya yang normal," katanya.
Selama pandemi, kata Yasmir, 80 persen orang tua di Rumah Autis Bekasi menginginkan anaknya tetap belajar bersama guru di sekolah.
Aktivitas belajar mengajar di Rumah Autis Bekasi sempat ditutup pada Januari hingga Februari 2021 akibat tiga guru dan satu orang tua siswa terkonfirmasi positif COVID-19. "Sejak awal Maret 2021, belajar tatap muka telah kembali dibuka dengan protokol kesehatan," katanya.
Penerapan kebiasaan baru bagi 50 anak di Rumah Autis Bekasi dilakukan 18 guru lewat pendekatan yang menggembirakan para siswa.
Sosialisasi terkait pandemi disampaikan lewat buku pelajaran yang dibuat secara swadaya. "Kalau buku kurikulum sekolah umum bisa didapat di mana saja, kalau sekolah autis ini kan panduannya tidak ada, jadi kita bikin sendiri. Kuncinya adalah aktivitas yang menyenangkan," katanya.