Jakarta (ANTARA) - Rencana pemerintah kembali menyelenggarakan belajar tatap muka pada awal 2021 mendapat sambutan antusias dari kalangan anak didik.

Namun ternyata pelaksanaannya memang tidaklah mudah. Butuh dukungan lintas sektor agar dapat terlaksana dengan aman.

Perencanaan matang sangat dibutuhkan di saat wabah COVID-19 belum mereda. Berdasarkan data dari Worldometers, hingga Rabu (2/12), total kasus positif COVID-19 di dunia telah mencapai 64 juta lebih, sedangkan di Indonesia angkanya juga masih di atas 440 ribuan.

Persiapan matang itu diawali dari peserta didik yang tentunya akan terlibat langsung dalam proses belajar tata muka nantinya. Peran orang tua, guru, dan pemerintah daerah memegang peranan penting untuk mencegah klaster sekolah nantinya.

Banyak kekhawatiran yang muncul bagi masyarakat dan menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah siap untuk mengirim kembali anak kita ke sekolah? Apa yang perlu dipersiapkan? Bagaimana sekolah tatap muka jika vaksin belum juga ditemukan?

Kasus klaster Madrasah Aliyah Negeri (MAN 22) dimana puluhan guru dan staf administrasi terpapar menjadi pelajaran bahwa abai terhadap protokol kesehatan COVID-19 dapat berakibat fatal. Dengan demikian tiga unsur, yaitu orang tua, guru dan pemerintah daerah menjadi penentu agar pelaksanaan sekolah tatap muka berlangsung aman.

Beberapa hal menjadi pertimbangan khususnya para orang tua yang harus kembali melepas anaknya berangkat sekolah, lalu bersosialisasi kembali dengan para siswa lainnya, guru dan banyak lagi orang lain di luar keluarganya yang biasa dijumpainya dan kelompok teraman saat ini.
  Siswa Ibtidaiyah mengikuti kegiatan belajar mengajar di lapangan futsal Sekolah Satu Atap Ibnu Aqil Ibnu Sina (IAIS) di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/8/2020). Sekolah IAIS yang berada di zona hijau kembali menggelar pembelajaran secara tatap muka dengan menerapkan konsep seminggu belajar tatap muka dan dua minggu belajar secara daring di rumah guna memaksimalkan pendidikan karakter dan pembinaan akhlak bagi anak (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.)

Belum turun

Sepanjang kasus COVID-19 belum turun maka pelaksanaan sekolah tatap muka harus mengacu kepada protokol kesehatan yang sangat ketat. Simulasi seharusnya sudah diterapkan sekarang untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penularan, serta upaya apa saja apabila sampai terjadi wabah.

Menurut ahli kesehatan anak, dr. Ajeng Indriaastari, Sp.A kebijakan untuk menyelenggarakan belajar tatap muka ini memang sudah sepatutnya dilaksanakan mengingat ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan belajar secara daring selama ini.

Memang dilematis, pembelajaran jarak jauh yang telah berlangsung sembilan bulan membuat anak-anak jenuh serta bisa dikatakan hanya efektif pada 15 menit pertama pembelajaran dimulai, selebihnya anak-anak akan teralihkan dengan kegiatan lain. Sementara pada sisi lain, orang tua merasa aman sekolah di rumah untuk menghindari virus corona (COVID-19).

Penyebaran virus ini tidak main-main dan sangat mengkhawatirkan membuat orang tua cemas untuk melepas anaknya bersekolah tatap muka. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan sekolah tatap muka membutuhkan izin dari orang tua.

Orang tua bisa melarang anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar tatap muka apabila menganggap pelaksanaannya tidak aman. Karena itu, pihak sekolah dan pemerintah daerah harus memastikan kegiatan belajar mengajar itu aman dan jauh dari kemungkinan tertular COVID-19.

Berdasarkan data terkini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), proporsi anak-anak terinfeksi virus corona sebesar 11,3 persen. Selain itu, Jurnal dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan risiko anak terkena virus corona lebih rendah 20 kali dari kelompok usia tua.

Ajeng mengatakan meskipun risiko anak terkena virus corona lebih rendah, bukan berarti kewaspadaan terhadap hal tersebut hilang. Karena anak-anak tetap memiliki risiko terinfeksi dan menginfeksi. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memulai sekolah tatap muka.

Pertama adalah komitmen seluruh pihak untuk memutus rantai penularan. Pemerintah khususnya pemerintah daerah harus menyiapkan aturan protokol kesehatan yang ketat untuk sekolah dengan menyiapkan regulasi bahwa tingkat pendidikan sekolah apa saja yang akan dibuka.

Menurut Ajeng, untuk pendidikan tingkat SLTA hingga universitas mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan karena peraturan bisa diterapkan dengan baik. Justru yang mengkhawatirkan adalah jika dibukanya tatap muka untuk tingkat SD dan SMP.

Seperti diketahui kesadaran siswa SD dan SMP memang masih rendah terhadap pelaksanaan protokol kesehatan. Guru dalam hal ini memegang peranan penting untuk melakukan pengawasan, tentunya bisa juga dibantu dengan orang tua apabila SDM yang tersedia terbatas.

Ajeng mengatakan sekolah juga perlu menyiapkan aturan dan sumber daya manusia yang siap. Selain screening protokol kesehatan dari mulai suhu tubuh hingga menerapkan 3M, sekolah juga perlu mengatur jumlah siswa yang akan masuk di dalam kelas.

Kapasitas bisa dikurangi hingga 25 persen saja yang bisa belajar di kelas, hal ini penting untuk menjaga jarak bagi setiap anak di kelas. Serta guru harus berperan aktif sebagai petugas kesehatan yang sigap.

Selain itu, maksimalkan Unit Kesehatan Sekolah (UKS), isi stok obat-obatan generik. Bahkan jika perlu siapkan petugas medis seperti dokter yang bertugas di sekolah.

Namun, setiap sekolah pasti memiliki kapasitas yang berbeda. Maka dari itu, pemanfaatan layanan pengobatan jarak jauh untuk berkonsultasi dengan dokter serta layanan apotek digital dapat menjadi alternatif solusi bagi sekolah.

Selain itu, untuk mempersiapkan anak kembali ke sekolah, tentunya sangat penting memperhatikan dan menjaga sistem imun agar anak-anak tidak rentan terkena paparan virus. Konsumsi buah dan sayuran yang cukup serta aktivitas fisik selama di sekolah menjadi hal utama untuk menjaga daya tahan tubuh.


Belum pasti

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri belum memastikan apakah akan mengikuti kebijakan belajar tatap muka. Banyak pertimbangan untuk mengikuti kebijakan itu salah satunya angka kasus positif di DKI Jakarta yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Gubernur DKI Anies Baswedan akan mempelajari kegiatan belajar tatap muka di Jakarta.

Salah satu alasan Anies untuk belum memutuskan akan ikut kegiatan belajar tatap muka atau tidak karena kondisi daerah yang berbeda-beda. Gubernur berpesan untuk mengonsultasikan terlebih dahulu dengan para pemangku kepentingan.

Meskipun berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Program belajar jarak jauh yang diterapkan Provinsi DKI Jakarta jauh lebih memungkinkan karena dukungan infrastruktur yang memadai. Berbeda dengan daerah lain yang jaringan internetnya masih sulit.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan layanan wifi gratis yang dapat diakses siswa tanpa harus ke sekolah.

Dengan demikian untuk penerapan belajar tatap muka ini memang harus melalui pertimbangan yang sangat matang. Harus melihat laju penularan COVID-19 di daerah tersebut, termasuk tingkat kepatuhan masyarakat dalam menerapkan 3M.

Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah ketersediaan rumah sakit dan ruang isolasi. Apabila kondisinya masih penuh maka kebijakan yang paling tepat menunda dulu penerapan belajar tatap muka agar terhindar munculnya klaster baru.

Kasus MAN 22 salah satu bukti bahwa masih ada masyarakat yang belum patuh dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Padahal dalam kasus itu mereka merupakan guru yang seharusnya menjadi panutan.

Sehingga menjadi hal wajar apabila semua itu diserahkan kembali kepada orang tua siswa. Apabila melihat kondisinya memang belum aman sebaiknya tidak perlu mengizinkan anaknya pergi ke sekolah, cukup belajar dari rumah seperti biasa.

Pewarta : Ganet Dirgantara
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024