Palembang (ANTARA) - Ekspor kelapa Provinsi Sumatera Selatan sepanjang Januari – Oktober 2020 mencapai 21,04 juta dolar AS. Nilai tersebut melonjak 41,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai 14,85 juta dolar AS.

Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan Endang Tri Wahyuningsih dalam keterangan pers secara virtual, Senin, mengatakan, ekspor kelapa mengalami kenaikan siginifikan karena terjadi peningkatan produktivitas di daerah ini.

“Ini menjadi suatu peluang dan potensi bagi Sumsel. Manakala diberdayakan dengan baik, akan dapat mendongkrak perekonomian daerah,” kata dia.

Komoditas kelapa ini sangat berpotensi karena produk yang dijual beranekaragam, mulai dari buahnya, sabut, batok, dan lainnya.

Sumsel sebaiknya segera mengembangkan industri pengolahan kelapa agar mendapatkan nilai tambah.

“Jangan sebatas jadi komoditas yang untuk dibakar saja (batok kelapa), buat mengusir nyamuk,” kata dia.

Untuk itu, Organisasi Perangkat Daerah terkait segera mendorong terciptanya produk turunan kelapa ini agar ekspor dari komoditas ini dapat berlangsung secara terus menerus.

BPS berharap market share bagi ekspor kelapa ini dapat meningkat karena sejauh ini (Januari-Oktober 2020) hanya 0,76 persen atau menjadi urutan ke-8 dari total 10 komoditas unggulan Sumsel.

Baca juga: Ekspor pertanian Sumsel tumbuh 89,89 persen

Baca juga: Perpekindo dorong UPPK di Sumsel segera terealisasi

Sejauh ini, Sumsel masih bertumpu pada tiga komoditas ekspor utama yakni karet dengan kontribusi 34,95 persen, bubur kayu (pulp) 32 persen dan batubara 17,04 persen.

Sementara itu, terkait pertumbuhan sektor ekspor kelapa itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berencana membentuk unit pengolahan dan pemasaran kelapa (UPPK) seperti yang sudah berkembang di sektor karet.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengatakan namun upaya itu masih terkendala payung hukum baik Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).

"Kami mendorong kabupaten segera bergerak membentuk UPPK walau belum ada payung hukumnya, yang penting ada wadahnya dulu baru payung hukum menyusul," ujarnya.

Menurut dia pembentukan UPPK perlu segera untuk memancing kesadaran para petani kelapa agar mau mendapatkan selisih harga yang lebih menguntungkan dampak terpangkasnya mata rantai pemasaran sehingga tidak lagi melalui perantara.

Selisih penjualan kelapa ke UPPK bisa mencapai Rp100-Rp200 per butir dibandingkan ke perantara, kata dia, sehingga petani dapat mengambil keuntungan hingga Rp1 juta untuk setiap penjualan 5.000 butir kelapa.

"Nilai Rp1 juta ini seandainya dibelikan beras maka cukup untuk memenuhi kebutuhan, kalau dijual di luar UPPK Rp1 juta ini tidak akan didapat petani, mindset ini yang ingin kami tumbuhkan ke petani," kata dia.

Sementara itu, data Disbun Sumsel 2019 mencatat terdapat 165.000 petani kelapa dengan produksi mencapai 57.570 ton kopra dan mayoritas berada di Kabupaten Banyuasin.

Baca juga: Produk hilirisasi kelapa UKM di Banyuasin targetkan ekspor

Baca juga: Pembentukan unit pengolahan kelapa Sumsel terkendala payung hukum
 

Pewarta : Dolly Rosana
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024