Jakarta (ANTARA) - Selama beberapa dekade, Jepang telah menciptakan karakter ikonik terkenal di dunia seperti Godzilla, Pikachu, Hello Kitty hingga Mario.
Hubungan erat antara Jepang dan karakter-karakter uniknya menjadi tema perbincangan dalam master class Japanese Animation di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) pekan ini.
Profesor Studi Manga dan Teori Media Tomoyo Iwashita, kritikus fiksi ilmiah dan pengajar di Japan Academy of Moving Images Naoya Fujita dan Programming Advisor Japanese Animation di TIFF Ryota Fujitsu saling berdiskusi mengenai tema ini.
Perbincangan dimulai dari Pokemon yang hadir dalam bentuk video game, film, hingga pernak-pernik. Iwashita menyebutkan, film "Pokemon: The First Movie" sangat dipengaruhi budaya pop Jepang masa lampau.
"Pengaruh Astro Boy dalam film ini sangat besar," kata dia, dikutip dari siaran resmi TIFF, Minggu.
Fujita mengamini, dia juga melihat ada kesamaan antara Godzilla dan Akira, dua karakter ikonik tentang peneliti yang berkreasi seakan dirinya Tuhan dan hasilnya justru kacau balau.
"Anime mengangkat tema yang rumit dan membuat anak-anak lebih mudah memahaminya. Itulah hebatnya anime," tutur Fujita.
Salah satu alasan mengapa Pokemon begitu digemari adalah deretan monster menggemaskan yang dihadirkan menyentuh "budaya karakter" Jepang, di mana karakter maskot bisa dilihat secara virtual di mana saja.
"Tentu saja karakter kita itu benda mati, bukan makhluk betulan. Tapi pada sat bersamaan, kita tidak menganggap mereka sebagai ciptaan belaka, kita menganggapnya hidup," kata Fujita.
Alasannya mengapa Jepang menyukai karakter-karakter bisa ditelusuri ke masa lampau, mulai dari budaya animisme, bahwa semua benda di dunia memiliki roh.
Kepercayaan itu mungkin salah satu alasan mengapa film "Spirited Away" dari Hayao Miyazaki betul-betul populer.
"Ceritanya tentang masuk ke hutan dan menemukan dewa-dewa Jepang," katanya. "Saya kira di lubuk hatinya banyak orang Jepang mencari cerita seperti itu."
Seiring perkembangan teknologi, karakter Jepang juga berevolusi. Game Pokemon, di mana pemainnya menangkap dan melatih monster, didasari pengalaman sang pembuat game saat menangkap serangga di desa kampung halamannya.
Fujita dan Iwashita sama-sama mencatat bahwa seiring waktu berjalan, karakter Jepang dibuat semakin lucu dan menggemaskan.
Godzilla, misalnya, adalah simbol simbol bahaya perang nuklir yang menakutkan ketika pertama kali muncul pada tahun 1954. Namun selama bertahun-tahun, Godzilla berubah menjadi semacam pahlawan anak-anak yang dicintai. Tren karakter yang menggemaskan tidak selalu positif, kata Fujita.
“Karakter seperti Godzilla bisa menjadi penghubung untuk memahami hal-hal seperti perang dan bencana alam,” katanya. “Jadi mengubah hal-hal negatif itu menjadi menggemaskan dan positif mungkin berbahaya, terutama bagi anak-anak.”
Saat ditanya kemana tren karakter saat ini akan menuju, Iwashita menyebut game augmented reality di smartphone yang membuat pemain bisa berinteraksi dengan karakter favoritnya di dunia nyata.
Fujita menuturkan prognosis di mana budaya karakter mungkin berujung kepada kepunahan manusia.
"Kita sudah melihat ini di Jepang. Daripada menjalin hubungan, menikah dan berkeluarga, bagi sebagian orang terasa lebih menyenangkan menikmati hidup dengan karakter favorit mereka."
Hubungan erat antara Jepang dan karakter-karakter uniknya menjadi tema perbincangan dalam master class Japanese Animation di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) pekan ini.
Profesor Studi Manga dan Teori Media Tomoyo Iwashita, kritikus fiksi ilmiah dan pengajar di Japan Academy of Moving Images Naoya Fujita dan Programming Advisor Japanese Animation di TIFF Ryota Fujitsu saling berdiskusi mengenai tema ini.
Perbincangan dimulai dari Pokemon yang hadir dalam bentuk video game, film, hingga pernak-pernik. Iwashita menyebutkan, film "Pokemon: The First Movie" sangat dipengaruhi budaya pop Jepang masa lampau.
"Pengaruh Astro Boy dalam film ini sangat besar," kata dia, dikutip dari siaran resmi TIFF, Minggu.
Fujita mengamini, dia juga melihat ada kesamaan antara Godzilla dan Akira, dua karakter ikonik tentang peneliti yang berkreasi seakan dirinya Tuhan dan hasilnya justru kacau balau.
"Anime mengangkat tema yang rumit dan membuat anak-anak lebih mudah memahaminya. Itulah hebatnya anime," tutur Fujita.
Salah satu alasan mengapa Pokemon begitu digemari adalah deretan monster menggemaskan yang dihadirkan menyentuh "budaya karakter" Jepang, di mana karakter maskot bisa dilihat secara virtual di mana saja.
"Tentu saja karakter kita itu benda mati, bukan makhluk betulan. Tapi pada sat bersamaan, kita tidak menganggap mereka sebagai ciptaan belaka, kita menganggapnya hidup," kata Fujita.
Alasannya mengapa Jepang menyukai karakter-karakter bisa ditelusuri ke masa lampau, mulai dari budaya animisme, bahwa semua benda di dunia memiliki roh.
Kepercayaan itu mungkin salah satu alasan mengapa film "Spirited Away" dari Hayao Miyazaki betul-betul populer.
"Ceritanya tentang masuk ke hutan dan menemukan dewa-dewa Jepang," katanya. "Saya kira di lubuk hatinya banyak orang Jepang mencari cerita seperti itu."
Seiring perkembangan teknologi, karakter Jepang juga berevolusi. Game Pokemon, di mana pemainnya menangkap dan melatih monster, didasari pengalaman sang pembuat game saat menangkap serangga di desa kampung halamannya.
Fujita dan Iwashita sama-sama mencatat bahwa seiring waktu berjalan, karakter Jepang dibuat semakin lucu dan menggemaskan.
Godzilla, misalnya, adalah simbol simbol bahaya perang nuklir yang menakutkan ketika pertama kali muncul pada tahun 1954. Namun selama bertahun-tahun, Godzilla berubah menjadi semacam pahlawan anak-anak yang dicintai. Tren karakter yang menggemaskan tidak selalu positif, kata Fujita.
“Karakter seperti Godzilla bisa menjadi penghubung untuk memahami hal-hal seperti perang dan bencana alam,” katanya. “Jadi mengubah hal-hal negatif itu menjadi menggemaskan dan positif mungkin berbahaya, terutama bagi anak-anak.”
Saat ditanya kemana tren karakter saat ini akan menuju, Iwashita menyebut game augmented reality di smartphone yang membuat pemain bisa berinteraksi dengan karakter favoritnya di dunia nyata.
Fujita menuturkan prognosis di mana budaya karakter mungkin berujung kepada kepunahan manusia.
"Kita sudah melihat ini di Jepang. Daripada menjalin hubungan, menikah dan berkeluarga, bagi sebagian orang terasa lebih menyenangkan menikmati hidup dengan karakter favorit mereka."