Makassar (ANTARA) - Potensi alam negeri ini berupa hasil bumi minyak sejak era 1970 -1980-an telah memposisikan Indonesia sebagai negara produsen minyak yang menyuplai kebutuhan dunia.

Kiprah Indonesia itu telah ditunjukan dengan bergabung dalam organisasi negara pengahasil minyak dunia atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) , karena memiliki produksi minyak dengan jumlah fantastis rata-rata 1 juta barrel per hari (BPOD) pada era 1980-an yang disebut juga masa keemasan atau Golden Era.

Namun dalam perkembangannya masa keemasan itu berangusur-angsur ditinggalkan, hingga akhirnya pada era 2000 rata-rata produksinya hanya sekitar 750 ribu barrel saja per hari.

Fluktuasi harga minyak dunia dan kondisi dalam negeri, sedikit banyaknya mempengaruhi produksi minyak di Indonesia yang terus menurun dari tahun ke tahun.

Lalu puncaknya pada 2020 saat pandemi COVID-19 masuk di Indonesia, otomatis kinerja produksi melambat karena adanya protokol kesehatan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Pembatasan karyawan bekerja di lokasi ekplorasi minyak di laut lepas, serta adanya karyawan berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG), otomatis harus melakukan isolasi mandiri yang nota bene tidak boleh bekerja dulu.



Karena itu untuk mengembalikan kejayaan minyak Indonesia era 1970 -1980an, diwujudkan dalam visi bersama produksi 1 juta BOPD pada tahun 2030 tidak hanya menjadi tugas para engineer di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), tetapi semua pihak terkait termasuk dukungan pemerintah dengan terus mencari sumber migas baru dan meningkatkan produksi dari angka 745,6 ribu BOPD pada 2019.

Untuk mencapai itu, Kepala SKK Migas Perwakilan Kalimantan Sulawesi Syaifuddin pada webinar terkait Migas mengakui hal tersebut tidaklah mudah menuju target 2030. Pasalnya, sejumlah hambatan dan tantangan menghadang di depan, dan kondisi ini tidak diperkirakan sebelumnya (force majeur), khusus pandemi COVID-19.

Dalam mewujudkan target 1 juta barrel itu dalam 10 tahun ke depan, lanjut dia, membutuhkan perjuangan keras dan membutuhkan dukungan dari semua pihak terkait utamanya pemerintah pusat hingga daerah, termasuk DPR RI hingga DPRD setempat.

Adapun roadmap SKK Migas untuk mencapai 1 juta BOPD pada 2030 terbagi 2 fase, yakni sepanjang 2020-2025 diprediksi produksi akan stagnan dan sempat terjadi penurunan produksi pada 2021 bila dibandingkan produksi di 2019.

Kendati demikian, pada 2026 diprediksi akan lebih membaik seiring dengan selesainya proyek utama hulu migas, maka produksi minyak akan mencapai diatas 800 ribu BOPD, diiikuti produksi diatas 900 BOPD pada 2029.

Sementara realisasi lifting gas wilayah kerja Kalimantan-Sulawesi (Kalsul) diakui Syaifudin telah sumbang 31 persen terhadap capaian nasional 5.502 barel minyak per hari (BPOD) pada posisi Januari - September 2020 sesuai data SKK Migas-KKKS.

Dia mengatakan, adanya perlambatan capaian itu sedikit banyaknya dipengaruhi kondisi global yang mempengaruhi industri migas yakni harga minyak dunia rendah, turunnya konsumsi minyak akibat COVID-19 dan fluktuasi kurs valuta asing.

Sedang dampak COVID-19 terhadap kegiatan hulu migas diantaranya kegiatan manufaktur peralatan migas untuk proyek tertunda atau lebih lama.

Selain itu, keterbatasan jumlah personel yang diperbolehkan berada di lokasi proyek, khususnya untuk proyek Offshore. Termasuk produktivitas enineering dan konstruksi menjadi lebih rendah karena Work From Home (WFH) pada masa pandemi.

"Mobilisasi pekerja ke lokasi lebih sulit, karena perizinan dan waktu karantina, dan potensi overstay berisiko pada keselamatan kerja," kata Syaifudin.

Sementara dari administrasi, persetujuan pengurusan perizinan untuk proyek dapat lebih lama waktunya.

Khusus roadmap SKK Migas menuju 1 juta BOPD pada 2030 akan terbagi menjadi 2 fase, yakni fase 2020-2025 yang diprediksi produksinya akan stagnan dan terjadi penurunan produksi tahun 2021 dibandingkan produksi pada 2019.

Namun mulai 2026 seiring dengan telah selesainya proyek utama hulu migas maka produksi minyak akan mulai mencapai diatas 800 ribu BOPD dan pada 2029 akan mencapai diatas 900 BOPD.

Berkaitan dengan hal tersebut, perusahaan migas nasional yang telah beroperasi di empat pulau besar Indonesia yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi di 15 wilayah kerja dan berada dibawah koordinasi dua lembaga yaitu SKK Migas dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA ), harus berkolaborasi dengan para pihak di lapangan.

Sementara itu, Sekretaris SKK Migas Murdo Gantoro dalam keterangan persnya mengatakan, peranan hulu migas sangat signifikan bagi perekonomian nasional, karena itu isu terkait energi harus senantiasa dikemas menarik untuk mendorong kinerja hulu migas di lapangan.

Dia mengatakan, manajemen SKK Migas akan senantiasa mendukung kegiatan insan Hulu Migas. Apalagi disadari bahwa mereka berada dalam perahu yang sama yang akan mendukung kembalinya kejayaan hulu migas dengan merealisasikan 1 juta BOPD pada 2030.


Optimistis raih target

Kendati terdapat sejumlah rintangan sekaligus tantangan di lapangan dalam mencapai target 1 juta BOPD itu, SKK Migas telah membukukan capaian demi capaian produksi yang terus digenjot dalam memenuhi target nasional itu,

Hal itu diikuti dengan tata kelola yang semakin baik di lapangan, juga ditunjang dengan rancangan strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi dan pemanfaatan teknologi, mengoperasikan pusat operasi terpadu atau Integrated Operation Center (IOC), serta “4 No” (No Luxurious Hospitality, No Bribery, No Gift, dan No Kickback), menjadikan SKK Migas semakin optimistis untuk mencapai target 1 juta BPOD.

Sikap optimistis itu seiring dengan upaya pemenuhan kebutuhan energi minyak penduduk dunia yang diproyeksikan populasinya pada 2030 mencapai 8,5 miliar dari jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 7,7 miliar jiwa berdasarkan laporan United Nation (Persatuan Bangsa-Bangsa/PBB).

Dari jumlah populasi tersebut, penyumbang terbesar lonjakan populasi berasal dari negara-negara berkembang dan lonjakan populasi itu diyakini akan menimbulkan beragam efek domino ke depan.

Sementara itu pada 2030, konsumsi energi di Indonesia diprediksi mencapai sekitar 2,3 juta barel minyak per hari. Peningkatan konsumsi energi nasional didorong oleh pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi nasional, dan peningkatan daya beli masyarakat.

Bank Dunia sendiri pada 2020 telah menetapkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas (middle upper income) dalam menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dengan menurunkan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) untuk memproduksi minyak 1 juta BPOD pada 2030.

Sementara itu, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, PhD pada Forum Humas Hulu Migas mengatakan, defisit migas telah menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan. Selanjutnya SKK Migas harus berupaya meraih kembali produksi 1 juta BOPD pada 2030.

Dia mengatakan, untuk meningkatkan produksi minyak, maka Indonesia harus meningkatkan cadangan migas, maka eksplorasi menjadi penting dan harus masif, karena cadangan migas Indonesia tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan negara lain seperti Arab Saudi, Iran, Rusia, Venezuela dan lainnya.

Guna mendukung ekplorasi, lanjut dia, penyederhanaan perizinan adalah salah satu hal yang harus dilakukan sebagai bentuk transformasi SKK Migas melalui program "One Door Service Policy" atau kebijakan pelayanan satu pintu untuk meningkatkan investasi hulu migas.

Semoga semua perencanaan dan strategi yang sudah tersusun rapi untuk diterapkan dalam 10 tahun ke depan dapat mengulang kembali masa keemasan produksi minyak Indonesia, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai amanah pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yakni "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Ilustrasi hasil olahan minyak yang dijual di SPBU. ANTARA Foto / Reno Esnir/wsj.

Pewarta : Suriani Mappong
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024