Jakarta (ANTARA) - Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa melakukan pemufakatan jahat yaitu menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA).

"Terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah melakukan pemufakatan jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Soegiarto Tjandra untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung," kata jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung KMS Roni di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Tujuannya adalah agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Joko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.

Baca juga: Jaksa Pinangki keberatan dengan surat dakwaan

Pinangki saat itu adalah Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.

Awalnya, Pinangki bertemu dengan Rahmat dan Anita Dewi Kolopaking pada September 2019 di hotel Grand Mahakam Jakarta. Pinangki meminta Rahmat dapat dikenalkan dengan Joko Tjandra yang berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO), Rahmat lalu menyanggupinya.

Baca juga: JPU serahkan berkas kasus bkorupsi-TPPU Pinangki ke Pengadilan Tipikor

"Rahmat menghubungi Joko Soegiarto Tjandra dengan menyampaikan bahwa terdakwa ingin berkenalan dengan Joko Tjandra dan disanggupi setelah melihat data dan foto terdakwa sedang berseragam Kejaksaan," tambah jaksa.

Pinangki dan Rahmat lalu bertemu dengan Joko Tjandra pada 12 November 2019 di The Exchange 106 Kuala Lumpur, Malaysia.

"Terdakwa mengatakan akan mengurus upaya hukum Joko Tjandra tapi meminta agar Joko Tjandra menjalani pidana lebih dulu kemudian terdakwa akan mengurus upaya hukum tersebut. Joko Tjandra tidak langsung percaya karena merasa telah banyak pengacara hebat dicoba tapi tidak bisa memasukkan kembali Jandra ke Indonesia," tambah jaksa.

Baca juga: Gratifikasi jaksa, Mantan ketua minta Komjak tidak ganggu penyidikan jaksa Pinangki

Namun karena Pinangki adalah jaksa, Joko Tjandra tidak bersedia bertransaksi dengan Pinangki sehingga Pinangki menghadirkan pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya yang bertransaksi dengan Joko Tjandra.

Pada 19 November 2019, Pinangki kembali megnajak Rahmat dan kali ini bersama dengan advokat Anita Kolopaking yang diketahui sering berdiskusi dengan hakim di MA untuk bertemu Joko Tjandra di Kuala Lumpur. Anita pun menyampaikan dokumen berisi surat kuasa dan surat penawaran jasa bantuan hukum.

Anita Kolopaking meminta 200 ribu dolar AS sebagai "success fee" kemudian Joko Tjandra menyetujui dan menandatangani dokumen tersebut.

Baca juga: Kejagung tetapkan Andi Irfan Jaya tersangka dalam kasus Jaksa Pinangki

Untuk melancarkan rencana itu, Joko meminta Pinangkit untuk membuat "action plan" dan surat ke Kejagung menanyakan status hukum Joko Tjandra.

"Terdakwa akan mengajukan 'action plan' yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya mengurus fatwa MA itu dengan biaya sebesar 100 juta dolar AS, namun saat itu Joko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar 10 juta dolar AS yang akan dimasukkan dalam 'action plan'," tambah jaksa.

Pada 25 November 2019, Pinangki bersama Anita dan Andi Irfan kemudian bertemu Joko Tjandra di kantornya di The Exchange 106 Kuala Lumpur, dalam pertemuan itu, Pinangki menyerahkan "action plan" yang terdiri dari 10 tahap dan melibatkan nama Jaksa Agung dan Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.

Baca juga: Gratifikasi Djoko Tjandra, Kejagung sita mobil BMW milik Jaksa Pinangki

Sebagai realisasi janji, maka pada 26 November 2019, adik ipar Joko Tjandra Herriyadi Angga Kusuma (almarhum) memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mall Senayan City.

Pinangki lalu memberikan uang dari Tjoko itu sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS.

"AtaS kesepakatan 'action plan' tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal joko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500 ribu dolar AS sehingga Joko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan 'action plan' dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan "NO" kecuali pada 'action' ke-7 dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4,5' dan 'action' ke-9 dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus kepada terdakwa bila Tjoko kembali ke Indonesia," ungkap jaksa.

Atas perbuatannya, Pinangki didakwa pasal 15 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 15 jo pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur soal "Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14" dengan ancaman penjara paling singkat 1 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.

Selain soal pemufakatan jahat, Pinangki juga didakwa menerima suap dan melakukan pencucian uang.

Baca juga: Kejagung berkoordinasi dengan PPATK telusuri pencucian uang Jaksa Pinangki
Baca juga: Gratifikasi PNS, Kejagung periksa dua pengelola apartemen sebagai saksi kasus Pinangki
 

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024