Palembang (ANTARA) - Tim Balai Arkeologi Sumatera Selatan meneliti pengaruh Hindu dan Budha pada makam-makam Muslim di Kota Palembang untuk menelusuri jejak interaksi dan toleransi masyarakat masa awal-awal masuknya Islam di Palembang.
Arkeolog Balar Sumsel, Retno Purwati, Sabtu, mengatakan bahwa agama-agama lain tetap eksis saat Islam berkembang di Palembang setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, kemudian dalam perjalanannya terjadi interaksi dan akulturasi budaya yang terlihat dari ragam hias makam raja-raja Palembang.
"Meski makamnya bernuansa Islam, namun pada nisannya terdapat corak atau ornamen yang menggambarkan simbol-simbol Hindu dan Budha," kata Retno di kompleks pemakaman bersejarah Kawah Tengkurep Palembang.
Menurutnya, makam-makam bersejarah di Palembang dari masa awal berkembangnya Islam banyak memiliki ragam hias, namun yang menarik bahwa ragam hias tersebut memiliki corak yang sama dengan corak ornamen pada candi atau arca-arca di Jawa Timur, baik dari peninggalan Kerajaan Singasari maupun Majapahit.
Tim Balai Sumsel berencana melakukan penelitian hingga 15 September dengan mendatangi tujuh lokasi pemakaman bersejarah, yakni Kawah Tengkurep, Makam Sultan Agung, Makam Panembahan, Makam Geding Suro, Makam Sabo Kingking, Makam Sultan Mansur, Makam Talang Kerangga, Makam Sultan Abdurrahman, Makam Panembahan Hamim dan Makam Pangeran Nangling.
Sejauh ini tim baru meneliti Kawah Tengkurep yang dibangun pada 1728 dan menjadi Komplek Pemakaman Sultan Mahmud Badaruddin beserta empat isteri serta guru besarnya yakni Imam Sayid Al Idrus.
Retno menyebut terdapat ragam hias pada makam-makam di Kawah Tengkurep yang menggambarkan simbolisasi dari ajaran Hindu - Budha, seperti terdapat nisan bertipologi Demak Troloyo yang memiliki ornamen Surya Majapahit berupa corak sinar matahari.
"Surya Majapahit yang sebenarnya terdapat simbol matahari di tengah suryanya sebagai penggambaran dewa, namun di makam Kawah Tengkurep ini tampak suryanya lebih disesuaikan dengan ajaran islam yakni simbol matahari diganti dengan bunga-bunga," ujarnya.
Arkeolog Balar Sumsel, Retno Purwati, menunjukan nisan Sultan Muhammad Bahaudin yang memiliki ragam hias bercorak Hindu Budha di Komplek Pemakaman Kawah Tengkurap di Palembang, Sabtu (5/9) (ANTARA/Aziz Munajar/20)
Pada nisan makam juga ditemukan jejak kebudayaan China berupa motif garis-garis, sementara dugaan adanya corak tersebut karena akulturasi budaya sudah cukup kuat pada masa itu.
Sebab para pendatang dari China pada masa awal kesultanan lebih memilih ikut dengan budaya lokal dibandingkan menguatkan budaya yang mereka bawa, kata dia.
"Dampaknya tipologi nisan-nisan di Palembang bersifat lokal, tidak dijumpai di daerah lain, ini juga menunjukkan kuatnya budaya lokal di Palembang masa itu," kata Retno menjelaskan.
Tim Balar Sumsel dalam penelitian itu terdiri dari Sondang M. Siregar, Kristantina Indriastuti, Wahyu Rizky Andhifani, Titet Fauzi Rahmawan, Muhammad Yusuf, dan Untung.
Retno belum dapat memberikan kesimpulan lebih jauh terkait pengaruh Hindu-Budha pada makam-makam Islam di Palembang karena masih harus meneliti ke lokasi lain.
"Nanti setelah penelitian ada FGD nya," kata Retno.*
Arkeolog Balar Sumsel, Retno Purwati, Sabtu, mengatakan bahwa agama-agama lain tetap eksis saat Islam berkembang di Palembang setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, kemudian dalam perjalanannya terjadi interaksi dan akulturasi budaya yang terlihat dari ragam hias makam raja-raja Palembang.
"Meski makamnya bernuansa Islam, namun pada nisannya terdapat corak atau ornamen yang menggambarkan simbol-simbol Hindu dan Budha," kata Retno di kompleks pemakaman bersejarah Kawah Tengkurep Palembang.
Menurutnya, makam-makam bersejarah di Palembang dari masa awal berkembangnya Islam banyak memiliki ragam hias, namun yang menarik bahwa ragam hias tersebut memiliki corak yang sama dengan corak ornamen pada candi atau arca-arca di Jawa Timur, baik dari peninggalan Kerajaan Singasari maupun Majapahit.
Tim Balai Sumsel berencana melakukan penelitian hingga 15 September dengan mendatangi tujuh lokasi pemakaman bersejarah, yakni Kawah Tengkurep, Makam Sultan Agung, Makam Panembahan, Makam Geding Suro, Makam Sabo Kingking, Makam Sultan Mansur, Makam Talang Kerangga, Makam Sultan Abdurrahman, Makam Panembahan Hamim dan Makam Pangeran Nangling.
Sejauh ini tim baru meneliti Kawah Tengkurep yang dibangun pada 1728 dan menjadi Komplek Pemakaman Sultan Mahmud Badaruddin beserta empat isteri serta guru besarnya yakni Imam Sayid Al Idrus.
Retno menyebut terdapat ragam hias pada makam-makam di Kawah Tengkurep yang menggambarkan simbolisasi dari ajaran Hindu - Budha, seperti terdapat nisan bertipologi Demak Troloyo yang memiliki ornamen Surya Majapahit berupa corak sinar matahari.
"Surya Majapahit yang sebenarnya terdapat simbol matahari di tengah suryanya sebagai penggambaran dewa, namun di makam Kawah Tengkurep ini tampak suryanya lebih disesuaikan dengan ajaran islam yakni simbol matahari diganti dengan bunga-bunga," ujarnya.
Pada nisan makam juga ditemukan jejak kebudayaan China berupa motif garis-garis, sementara dugaan adanya corak tersebut karena akulturasi budaya sudah cukup kuat pada masa itu.
Sebab para pendatang dari China pada masa awal kesultanan lebih memilih ikut dengan budaya lokal dibandingkan menguatkan budaya yang mereka bawa, kata dia.
"Dampaknya tipologi nisan-nisan di Palembang bersifat lokal, tidak dijumpai di daerah lain, ini juga menunjukkan kuatnya budaya lokal di Palembang masa itu," kata Retno menjelaskan.
Tim Balar Sumsel dalam penelitian itu terdiri dari Sondang M. Siregar, Kristantina Indriastuti, Wahyu Rizky Andhifani, Titet Fauzi Rahmawan, Muhammad Yusuf, dan Untung.
Retno belum dapat memberikan kesimpulan lebih jauh terkait pengaruh Hindu-Budha pada makam-makam Islam di Palembang karena masih harus meneliti ke lokasi lain.
"Nanti setelah penelitian ada FGD nya," kata Retno.*