Jakarta (ANTARA) - Manajer Peneliti Biomolekular Australian National University dan Direktur Utama Lipotek Australia, Ines Atmosukarto mengatakan vaksin COVID-19 buatan Rusia tidak sesuai kaidah penelitian vaksin karena seharusnya menjalani seluruh fase uji klinis yakni fase 1, 2, dan 3.
"Vaksin tersebut baru fase 1 tiba-tiba Perdana Menteri Putin mengumumkan bahwa ini sudah akan diberikan kepada masyarakat, tentunya kalau dari segi kita sebagai peneliti dan kebetulan terlibat dalam pengembangan vaksin bahwa suatu vaksin bisa loncat dari fase 1 langsung diberikan kepada masyarakat itu menyalahi banyak kaidah penelitian terutama dalam menjaga keselamatan orang-orang yang nanati akan diberikan vaksin," kata Ines dalam diskusi publik dalam jaringan "COVID-19 dan Prospek Vaksin untuk Indonesia" di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pengembangan vaksin harus melalui uji klinis fase 1, 2, dan 3 karena untuk mejamin keamanan dan manfaat dari vaksin.
"Karena kita tahu kenapa ada uji klinis dan kenapa sampai ada tiga tahap itu sebenarnya adalah untuk melindungi masyarakat," ujar Ines.
Keselamatan dan keamanan menjadi sangat krusial karena vaksin disuntikkan pada orang sehat untuk mencegah terinfeksi dari penyakit tertentu.
"Sangat berbahaya apabila tiba-tiba nanti karena kita semua dalam 'race' mencari vaksin tiba-tiba kita membiarkan atau membolehkan adanya motong jalan yang mungkin drastis," tuturnya.
Uji klinis fase 1 dilakukan pada 20-an orang untuk mengetahui apakah ada hal-hal keselamatan yang sangat fatal yang harus diketahui lebih dahulu.
"Jadi fase-fase penelitian itu, uji klinis itu sangat penting," ucapnya.
Uji klinis fase 2 bertujuan untuk mencari dosis vaksin yang tepat. Sedangkan fase 3 bertujuan untuk membuktikan bahwa vaksin itu efektif.
"Kita tidak bisa meloncati karena itu akan benar-benar berpengaruh terhadap 'safety' (keamanan)," kata Ines.
Manajer Senior Integrasi Riset dan Pengembangan PT Bio Farma Neni Nurainy mengatakan tidak mungkin suatu pengembangan vaksin tidak melalui uji klinis 2 dan 3 dan langsung loncat ke tahap akhir yakni registrasi vaksin.
"Jadi untuk vaksin Rusia juga masih menjadi sorotan WHO (Badan Kesehatan Dunia) terkait hal itu tetapi ini memang kebijakan negaranya sendiri jadi sebenarnya tidak mengikuti kaidah ilmiah secara umum untuk registrasi vaksin," ujar Neni.
Sebelumnya diberitakan Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko pada Rabu mengatakan tudingan bahwa vaksin COVID-19 buatan Rusia tak aman tidak berdasar dan dipicu oleh persaingan, seperti dilaporkan Kantor Berita Interfax.
Presiden Vladimir Putin pada Selasa mengumumkan bahwa Rusia menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui vaksin COVID-19 setelah kurang dari dua bulan uji coba pada manusia.
Keputusan Moskow untuk memberikan restunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pakar. Hanya sekitar 10 persen uji klinis berhasil dilakukan dan beberapa ilmuwan merasa khawatir Moskow mungkin saja lebih mementingkan gengsi negara ketimbang pengetahuan dan keamanan.
"Vaksin tersebut baru fase 1 tiba-tiba Perdana Menteri Putin mengumumkan bahwa ini sudah akan diberikan kepada masyarakat, tentunya kalau dari segi kita sebagai peneliti dan kebetulan terlibat dalam pengembangan vaksin bahwa suatu vaksin bisa loncat dari fase 1 langsung diberikan kepada masyarakat itu menyalahi banyak kaidah penelitian terutama dalam menjaga keselamatan orang-orang yang nanati akan diberikan vaksin," kata Ines dalam diskusi publik dalam jaringan "COVID-19 dan Prospek Vaksin untuk Indonesia" di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pengembangan vaksin harus melalui uji klinis fase 1, 2, dan 3 karena untuk mejamin keamanan dan manfaat dari vaksin.
"Karena kita tahu kenapa ada uji klinis dan kenapa sampai ada tiga tahap itu sebenarnya adalah untuk melindungi masyarakat," ujar Ines.
Keselamatan dan keamanan menjadi sangat krusial karena vaksin disuntikkan pada orang sehat untuk mencegah terinfeksi dari penyakit tertentu.
"Sangat berbahaya apabila tiba-tiba nanti karena kita semua dalam 'race' mencari vaksin tiba-tiba kita membiarkan atau membolehkan adanya motong jalan yang mungkin drastis," tuturnya.
Uji klinis fase 1 dilakukan pada 20-an orang untuk mengetahui apakah ada hal-hal keselamatan yang sangat fatal yang harus diketahui lebih dahulu.
"Jadi fase-fase penelitian itu, uji klinis itu sangat penting," ucapnya.
Uji klinis fase 2 bertujuan untuk mencari dosis vaksin yang tepat. Sedangkan fase 3 bertujuan untuk membuktikan bahwa vaksin itu efektif.
"Kita tidak bisa meloncati karena itu akan benar-benar berpengaruh terhadap 'safety' (keamanan)," kata Ines.
Manajer Senior Integrasi Riset dan Pengembangan PT Bio Farma Neni Nurainy mengatakan tidak mungkin suatu pengembangan vaksin tidak melalui uji klinis 2 dan 3 dan langsung loncat ke tahap akhir yakni registrasi vaksin.
"Jadi untuk vaksin Rusia juga masih menjadi sorotan WHO (Badan Kesehatan Dunia) terkait hal itu tetapi ini memang kebijakan negaranya sendiri jadi sebenarnya tidak mengikuti kaidah ilmiah secara umum untuk registrasi vaksin," ujar Neni.
Sebelumnya diberitakan Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko pada Rabu mengatakan tudingan bahwa vaksin COVID-19 buatan Rusia tak aman tidak berdasar dan dipicu oleh persaingan, seperti dilaporkan Kantor Berita Interfax.
Presiden Vladimir Putin pada Selasa mengumumkan bahwa Rusia menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui vaksin COVID-19 setelah kurang dari dua bulan uji coba pada manusia.
Keputusan Moskow untuk memberikan restunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pakar. Hanya sekitar 10 persen uji klinis berhasil dilakukan dan beberapa ilmuwan merasa khawatir Moskow mungkin saja lebih mementingkan gengsi negara ketimbang pengetahuan dan keamanan.