Jakarta (ANTARA) - Redaksi Foto ANTARA dan Galeri Foto Jurnalistik ANTARA menggelar diskusi fotografi virtual yang mengangkat tema "Media Massa VS Media Sosial" pada Sabtu (8/8).
Diskusi virtual ini menghadirkan sejumlah pembicara, seperti praktisi media sosial Wicaksono atau dikenal dengan Ndorokakung, seniman Agan Harahap, dan pewarta foto ANTARA Andika Wahyu. Para pembicara mengupas mengenai peran media massa di tengah kemajuan media sosial.
Andika Wahyu mengungkapkan bahwa perkembangan jurnalisme tak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. Menurut Andika keberadaan ponsel pintar yang kian merata saat ini membuat orang bisa mendistribusikan informasi dengan munculnya fenomena citizen journailism.
"Sekarang media harus beradaptasi. Organisasi media bukan hanya jadi satu-satunya memonopoli informasi berita tapi kita tahu di luar banyak orang yang dipersenjatai kamera," kata Andika Wahyu.
Kemunculan citizen journailism, menurut Andika, bisa dilihat sebagai ancaman ataupun juga peluang bagi perusahaan media massa terutama terkait dengan hubungan baru dengan para audiens.
"Orang bisa ambil gambar, posting, viral, bikin perdebatan terus jadi masalah dan dia tinggal minta maaf dan dihapus post-nya. Tidak seperti itu di media mainstream. Kehati-hatian itu yang next-nya jadi challenging saat ini," ujar Andika.
"Bagaimana menjaga hubungan dengan pembacanya yang sudah semakin shifting ke smartphone tapi di sisi lain tetap mengetengahkan produk jurnalisme yang berkualitas," sambung dia.
Hal sama juga disampaikan oleh Wicaksono atau Ndorokakung yang menyebut batas antara media massa dan media sosial semakin sama.
"Tren viral atau permintaan maaf sekarang tak hanya dilakukan netizen atau warganet. Media juga ketularan melakukan kegagalan dalam melakukan etika jurnalistik," papar Ndorokakung.
Ndorokakung melihat saat ini ada kegamangan pada media massa yang terkadang juga ikut mengamplifikasi kebingungan sehingga masyarakat menjadi ikut terkecoh.
"Celakanya kita punya warganet yang punya tingkat literasi digitalnya mudah ke-trigger," jelas Ndorokakung.
"Saya melihat media juga melakukan amplifikasi yang tidak sesuai kaidah jurnalistik. Publik sekarang tidak bisa membedakan konten dari yang legitimate atau antah berantah sehingga yang terjadi kegaduhan seperti sekarang," lanjut dia.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa perusahaan besar seperti media massa nasional masih memiliki peluang dalam memposisikan diri di tengah derasnya arus informasi pada media sosial sekarang ini.
"Media punya peluang untuk jadi lembaga klarifikasi atau clearing house. Sekarang ini tidak banyak yang benar-benar jadi lembaga clearing house," terangnya.
Sementara itu, Agan Harahap melihat saat ini masyarakat Indonesia masih dalam tahap belajar menyikapi fenomena yang muncul di media sosial. Tak terkecuali bagi media massa.
Terutama dalam menyikapi informasi yang muncul dalam lini masa mereka. Tak jarang cepatnya informasi yang tersebar, menurut Agan Harahap, kerap menimbulkan kegaduhan yang berujung pada kecemasan masyarakat yang seharusnya tidak perlu terjadi.
"Selain dalam tahap belajar beberapa dari masyarakat kita menjelma jadi masyarakat sok tahu. Ini memang lihatnya miris. Kok ketika handphone makin cerdas, tapi nalar kita enggak dipake dalam menyikapi teknologi dan segala pemberitaannya," tegas Agan Harahap.
Diskusi virtual ini menghadirkan sejumlah pembicara, seperti praktisi media sosial Wicaksono atau dikenal dengan Ndorokakung, seniman Agan Harahap, dan pewarta foto ANTARA Andika Wahyu. Para pembicara mengupas mengenai peran media massa di tengah kemajuan media sosial.
Andika Wahyu mengungkapkan bahwa perkembangan jurnalisme tak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. Menurut Andika keberadaan ponsel pintar yang kian merata saat ini membuat orang bisa mendistribusikan informasi dengan munculnya fenomena citizen journailism.
"Sekarang media harus beradaptasi. Organisasi media bukan hanya jadi satu-satunya memonopoli informasi berita tapi kita tahu di luar banyak orang yang dipersenjatai kamera," kata Andika Wahyu.
Kemunculan citizen journailism, menurut Andika, bisa dilihat sebagai ancaman ataupun juga peluang bagi perusahaan media massa terutama terkait dengan hubungan baru dengan para audiens.
"Orang bisa ambil gambar, posting, viral, bikin perdebatan terus jadi masalah dan dia tinggal minta maaf dan dihapus post-nya. Tidak seperti itu di media mainstream. Kehati-hatian itu yang next-nya jadi challenging saat ini," ujar Andika.
"Bagaimana menjaga hubungan dengan pembacanya yang sudah semakin shifting ke smartphone tapi di sisi lain tetap mengetengahkan produk jurnalisme yang berkualitas," sambung dia.
Hal sama juga disampaikan oleh Wicaksono atau Ndorokakung yang menyebut batas antara media massa dan media sosial semakin sama.
"Tren viral atau permintaan maaf sekarang tak hanya dilakukan netizen atau warganet. Media juga ketularan melakukan kegagalan dalam melakukan etika jurnalistik," papar Ndorokakung.
Ndorokakung melihat saat ini ada kegamangan pada media massa yang terkadang juga ikut mengamplifikasi kebingungan sehingga masyarakat menjadi ikut terkecoh.
"Celakanya kita punya warganet yang punya tingkat literasi digitalnya mudah ke-trigger," jelas Ndorokakung.
"Saya melihat media juga melakukan amplifikasi yang tidak sesuai kaidah jurnalistik. Publik sekarang tidak bisa membedakan konten dari yang legitimate atau antah berantah sehingga yang terjadi kegaduhan seperti sekarang," lanjut dia.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa perusahaan besar seperti media massa nasional masih memiliki peluang dalam memposisikan diri di tengah derasnya arus informasi pada media sosial sekarang ini.
"Media punya peluang untuk jadi lembaga klarifikasi atau clearing house. Sekarang ini tidak banyak yang benar-benar jadi lembaga clearing house," terangnya.
Sementara itu, Agan Harahap melihat saat ini masyarakat Indonesia masih dalam tahap belajar menyikapi fenomena yang muncul di media sosial. Tak terkecuali bagi media massa.
Terutama dalam menyikapi informasi yang muncul dalam lini masa mereka. Tak jarang cepatnya informasi yang tersebar, menurut Agan Harahap, kerap menimbulkan kegaduhan yang berujung pada kecemasan masyarakat yang seharusnya tidak perlu terjadi.
"Selain dalam tahap belajar beberapa dari masyarakat kita menjelma jadi masyarakat sok tahu. Ini memang lihatnya miris. Kok ketika handphone makin cerdas, tapi nalar kita enggak dipake dalam menyikapi teknologi dan segala pemberitaannya," tegas Agan Harahap.