Jakarta (ANTARA) - Pengamat keamanan siber dari lembaga nirlaba Communication and Information System Security Research Center atau CISSReC, berpendapat kebocoran data pasien COVID-19 jika benar terjadi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi keamanan siber, namun juga menimbulkan sanksi sosial di masyarakat.
"Kejadian ini tentu menambah buruk deretan peretasan yang berakhir dengan pengambilan data oleh peretas. Masih harus dicek secara forensik digital dari mana asal data tersebut, dari Kementerian Kesehatan atau lembaga lain yang mengelola data COVID-19," kata Ketua CISSReC, Pratama Prasadha, melalui pesan singkat kepada Antara, dikutip Sabtu.
Beredar kabar data COVID-19 Indonesia diperjualbelikan di situs gelap, antara lain berupa tanggal laporan, status pasien, nama responden, kewarganegaraan, jenis kelamin, usia, nomor telepon, alamat tinggal, keluhan yang dialami, bahkan nomor induk kependudukan (NIK).
Menurut Pratama, peretas tidak hanya memburu data-data yang berkaitan langsung dengan finansial, misalnya kartu kredit, namun, juga informasi seperti yang disebutkan di atas.
Jika data seperti itu jatuh ke tangan peretas, risiko yang dihadapi negara bukan hanya tentang keamanan siber, namun, juga kondisi sosial di masyarakat terutama jika yang mengantongi data bertujuan menimbulkan kegaduhan.
Pratama mencontohkan saat ini masih ada masyarakat yang sensitif terhadap isu COVID-19. Jika data tersebut bocor, pasien bisa saja dikucilkan dari lingkungannya.
"Hal yang bisa menimbulkan gesekan horizontal," kata Pratama.
Pratama berpendapat perlindungan data dan keamanan siber masih menjadi pekerjaan yang berat, faktor yang paling mempengaruhi adalah undang-undang, porsi anggaran dan budaya birokrasi.
Dia berharap perbaikan yang pro pada perlindungan data dan penguatan sistem elektronik bisa merata dan menjadi prioritas negara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sedang berkoordinasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara untuk menelusuri kebenaran peretasan tersebut.
Peretas di situs gelap RaidForums menjual basis data COVID-19 Indonesia hasil peretasan pada 20 Mei lalu.
"Kejadian ini tentu menambah buruk deretan peretasan yang berakhir dengan pengambilan data oleh peretas. Masih harus dicek secara forensik digital dari mana asal data tersebut, dari Kementerian Kesehatan atau lembaga lain yang mengelola data COVID-19," kata Ketua CISSReC, Pratama Prasadha, melalui pesan singkat kepada Antara, dikutip Sabtu.
Beredar kabar data COVID-19 Indonesia diperjualbelikan di situs gelap, antara lain berupa tanggal laporan, status pasien, nama responden, kewarganegaraan, jenis kelamin, usia, nomor telepon, alamat tinggal, keluhan yang dialami, bahkan nomor induk kependudukan (NIK).
Menurut Pratama, peretas tidak hanya memburu data-data yang berkaitan langsung dengan finansial, misalnya kartu kredit, namun, juga informasi seperti yang disebutkan di atas.
Jika data seperti itu jatuh ke tangan peretas, risiko yang dihadapi negara bukan hanya tentang keamanan siber, namun, juga kondisi sosial di masyarakat terutama jika yang mengantongi data bertujuan menimbulkan kegaduhan.
Pratama mencontohkan saat ini masih ada masyarakat yang sensitif terhadap isu COVID-19. Jika data tersebut bocor, pasien bisa saja dikucilkan dari lingkungannya.
"Hal yang bisa menimbulkan gesekan horizontal," kata Pratama.
Pratama berpendapat perlindungan data dan keamanan siber masih menjadi pekerjaan yang berat, faktor yang paling mempengaruhi adalah undang-undang, porsi anggaran dan budaya birokrasi.
Dia berharap perbaikan yang pro pada perlindungan data dan penguatan sistem elektronik bisa merata dan menjadi prioritas negara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sedang berkoordinasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara untuk menelusuri kebenaran peretasan tersebut.
Peretas di situs gelap RaidForums menjual basis data COVID-19 Indonesia hasil peretasan pada 20 Mei lalu.