Jakarta (ANTARA) - Biaya transfer antar-bank yang selama ini dikenakan rata-rata Rp6.500 untuk satu kali transaksi diusulkan untuk dihapuskan.
“Biaya ini merugikan konsumen perbankan sehingga perlu ada upaya agar biaya ini dihapuskan,” kata peneliti dari Hadiekuntono's Institute, Karyudi Sutajah Putra di Jakarta, Rabu.
Pengutipan biaya transfer tersebut dikenakan berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana.
PBI itu menyatakan setiap penyelenggara penerima (transfer) berhak mengenakan biaya transfer dana dengan memperhatikan aspek kewajaran.
"Sebagai konsumen perbankan yang merasa dirugikan, kami bisa mengajukan gugatan uji materi PBI Transfer Dana ke MA," ungkapnya.
Dengan PBI itu, kata Yudi panggilan akrabnya, transfer dana dari bank badan usaha milik negara (BUMN) ke bank non-BUMN atau sebaliknya, dikenakan biaya Rp 6.500 per transaksi.
"Padahal, biaya transfer antar-bank BUMN nol rupiah alias gratis. Ini menjadi tidak adil dan diskriminatif," katanya.
Nasabah bank, kata pria yang akrab disapa Yudi itu, perlu mengajukan uji materi PBI tersebut ke MA dengan mempertimbangkan kesesuaian UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen, dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4).
Yudi lalu merujuk Pasal 29 ayat (4) UU 10/1998 yang menyatakan, "Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank."
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. ”Misalnya biaya transfer Rp6.500 itu untuk apa," katanya.
Yudi juga merujuk UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan.
"Pelaku usaha jasa perbankan dituntut untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya serta memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif," katanya.
Selain itu berdasar data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per-Agustus 2019 jumlah rekening pada 112 bank umum mencapai 292,96 juta rekening. Sedangkan jumlah nasabah di bank syariah mencapai 31,9 juta orang.
“Bila sehari semua nasabah itu melakukan transfer ke bank non-BUMN sekali saja, lalu dikalikan Rp6.500 biaya transfer, angkanya besar sekali," katanya.
Di sisi lain, Yudi sangat menyesalkan industri perbankan khususnya bank milik pemerintah yang belum melaksanakan instruksi Presiden Joko Widodo pada Maret 2015 agar menggabungkan mesin-mesin ATM milik mereka, demi efisiensi biaya operasional dan kemudahan nasabah.
"Padahal satu mesin ATM harganya bisa 7.000-8.000 dolar AS, dan bila digabung,biayanya lebih murah," katanya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Yudi mendorong nasabah perbankan Indonesia untuk segera mengupayakan cara bersama-sama sehingga biaya transfer dana bisa dihapuskan.
“Biaya ini merugikan konsumen perbankan sehingga perlu ada upaya agar biaya ini dihapuskan,” kata peneliti dari Hadiekuntono's Institute, Karyudi Sutajah Putra di Jakarta, Rabu.
Pengutipan biaya transfer tersebut dikenakan berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana.
PBI itu menyatakan setiap penyelenggara penerima (transfer) berhak mengenakan biaya transfer dana dengan memperhatikan aspek kewajaran.
"Sebagai konsumen perbankan yang merasa dirugikan, kami bisa mengajukan gugatan uji materi PBI Transfer Dana ke MA," ungkapnya.
Dengan PBI itu, kata Yudi panggilan akrabnya, transfer dana dari bank badan usaha milik negara (BUMN) ke bank non-BUMN atau sebaliknya, dikenakan biaya Rp 6.500 per transaksi.
"Padahal, biaya transfer antar-bank BUMN nol rupiah alias gratis. Ini menjadi tidak adil dan diskriminatif," katanya.
Nasabah bank, kata pria yang akrab disapa Yudi itu, perlu mengajukan uji materi PBI tersebut ke MA dengan mempertimbangkan kesesuaian UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen, dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4).
Yudi lalu merujuk Pasal 29 ayat (4) UU 10/1998 yang menyatakan, "Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank."
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. ”Misalnya biaya transfer Rp6.500 itu untuk apa," katanya.
Yudi juga merujuk UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan.
"Pelaku usaha jasa perbankan dituntut untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya serta memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif," katanya.
Selain itu berdasar data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per-Agustus 2019 jumlah rekening pada 112 bank umum mencapai 292,96 juta rekening. Sedangkan jumlah nasabah di bank syariah mencapai 31,9 juta orang.
“Bila sehari semua nasabah itu melakukan transfer ke bank non-BUMN sekali saja, lalu dikalikan Rp6.500 biaya transfer, angkanya besar sekali," katanya.
Di sisi lain, Yudi sangat menyesalkan industri perbankan khususnya bank milik pemerintah yang belum melaksanakan instruksi Presiden Joko Widodo pada Maret 2015 agar menggabungkan mesin-mesin ATM milik mereka, demi efisiensi biaya operasional dan kemudahan nasabah.
"Padahal satu mesin ATM harganya bisa 7.000-8.000 dolar AS, dan bila digabung,biayanya lebih murah," katanya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Yudi mendorong nasabah perbankan Indonesia untuk segera mengupayakan cara bersama-sama sehingga biaya transfer dana bisa dihapuskan.