Jakarta (ANTARA) - Nama sutradara Timo Tjahjanto lekat dengan film-film mencekam, yang terbaru adalah "Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2", sekuel horor-thriller yang menampilkan Chelsea Islan.
Apa alasan Timo menyukai film-film yang menyuguhkan rasa ngeri dan adegan-adegan sadis. Rupanya tak lepas dari trauma masa kecil saat menyaksikan film dengan genre tersebut.
Timo mulai bersentuhan dengan film horor sejak masih berumur 7 tahun. Dikutip dari siaran resmi, saat itu sang kakak mengajak Timo menonton film di rumah lewat Betamax Tape (sekarang dalam bentuk DVD).
Mengira itu film anak-anak, ternyata film yang diputar adalah film "Psyco" (1960), film horor lawas Alfred Hitchock yang dibintangi Marion Crane dan Norman Bates.
Sebuah adegan penusukan dalam film hitam putih tersebut membuat Timo kecil sangat trauma. Ia sadar bahwa visual dalam film akan membekas di ingatannya.
Saat umur 12 tahun, Timo secara tidak sengaja menonton film "IT" (Stephen Kings, 1991) dan melihat Badut Pennywise yang begitu menyeramkan.
Traumanya pun timbul. Namun, dari situ muncul keinginan untuk mengeksplorasi rasa takut. Dia memikirkan cara mengubah takut menjadi sesuatu yang dapat dibuat secara kreatif, yaitu film.
Panggilannya untuk mengerjakan sesuatu menghibur sekaligus menakutkan seolah terjawab. Klop dengan Kimo, keduanya dijuluki The Mo Brothers dan mulai memproduksi film horor pendek pertama mereka berjudul "Dara" (2007), bagian dari enam film pendek antologi "Takut: Faces of Fear".
Dara memiliki ide cerita horor yang segar, seorang wanita muda bernama Dara memiliki restoran dengan sajian makanan enak, ternyata daging manusia lah yang menjadi bumbu kelezatan.
Tak seperti kebanyakan film horor yang sekadar menjual jumpscare, The Mo Brothers lebih dari itu. Mereka tak segan menghadirkan cipratan-cipratan darah dalam bentuk visual yang mengerikan.
Sukses dengan Dara, The Mo Brothers kemudian menuangkan skenario panjangnya dengan merilis film "Rumah Dara" (2010) atau "Macabre", yang sukses menuai pujian dari para kritikus film.
Lewat "Rumah Dara", The Mo Brothers turut melejitkan nama pemeran utama Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara, mengantarkan Daanish sebagai aktris terbaik di Puncheon International Fantastic Film Festival di Buncheon, Korea Selatan.
Mengikuti kesuksesan Rumah dara, The Mo Brothers kemudian menyutradarai film bergenre sejenis, "Killers" (2013), kolaborasi pertama Indonesia-Jepang yang berhasil tampil dalam festival international bergengsi di Amerika, Sundance Film Festival.
Kembali lagi mengusung nama The Mo Brothers, Timo dan Kimo membuat film action pertama mereka berjudul "Headshot" (2016) yang dibintangi oleh Iko Uwais. Tak hanya diapresiasi di dalam negeri, "Headshot" juga menoreh prestasi dunia dengan mendapatkan standing ovation saat world premiere di Toronto International Film Festival (TIFF).
Film laga ini juga diganjar penghargaan prestisius dalam ajang L'Etrange Festival Paris 2016. Setelah film "Headshot", Timo kemudian melanjutkan untuk membuat film-film solonya.
Nama Timo kian diperhitungkan setelah ia merilis film "The Night Comes For Us" (2018), film laga yang menghadirkan Joe Taslim dan Iko Uwais.
Timo menciptakan adegan laga yang penuh tumpah darah dengan cerita yang kompleks dari banyaknya karakter yang terlibat.
TNCFU menjadi film original Netflix pertama dari Indonesia dan sukses mencuri perhatian sineas internasional. Salah satunya adalah kreator film Deadpool, Robert Liefield. Ia menilai masa depan film-film bergenre laga ada di tangan Timo Tjahjanto.
Pada 2016, suami Sigi Wimala itu menyutradarai film "Sebelum Iblis Menjemput" yang dibintangi Chelsea Islan dan Pevita Pearce.
Horor, slasher dan gore menjadi elemen-elemen dalam film tersebut. Bukan setan lagi yang dihadapi, tapi Timo menciptakan kengerian dan menyematkan teror satanic dengan frasa Iblis.
Film SIM pun melalang buana ke sejumlah festival kelas dunia LEtrange Festival Paris, US Fantastic Festival, BFI London Film dan memenangkan penghargaan sebagai film horor terbaik di SITGES Film Festival.
Sekuelnya, "Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2" sudah disaksikan lebih dari 400.000 penonton setelah lima hari penayangan.
Apa alasan Timo menyukai film-film yang menyuguhkan rasa ngeri dan adegan-adegan sadis. Rupanya tak lepas dari trauma masa kecil saat menyaksikan film dengan genre tersebut.
Timo mulai bersentuhan dengan film horor sejak masih berumur 7 tahun. Dikutip dari siaran resmi, saat itu sang kakak mengajak Timo menonton film di rumah lewat Betamax Tape (sekarang dalam bentuk DVD).
Mengira itu film anak-anak, ternyata film yang diputar adalah film "Psyco" (1960), film horor lawas Alfred Hitchock yang dibintangi Marion Crane dan Norman Bates.
Sebuah adegan penusukan dalam film hitam putih tersebut membuat Timo kecil sangat trauma. Ia sadar bahwa visual dalam film akan membekas di ingatannya.
Saat umur 12 tahun, Timo secara tidak sengaja menonton film "IT" (Stephen Kings, 1991) dan melihat Badut Pennywise yang begitu menyeramkan.
Traumanya pun timbul. Namun, dari situ muncul keinginan untuk mengeksplorasi rasa takut. Dia memikirkan cara mengubah takut menjadi sesuatu yang dapat dibuat secara kreatif, yaitu film.
The Mo Brothers
Keingintahuannya akan dunia film pun tumbuh. Ia sempat menjadi pekerja lepas sebagai story board artist dan fotografer. Saat berkuliah di School of Visual Arts, Australia pada 2002, Timo bertemu dengan Kimo Stamboel.Panggilannya untuk mengerjakan sesuatu menghibur sekaligus menakutkan seolah terjawab. Klop dengan Kimo, keduanya dijuluki The Mo Brothers dan mulai memproduksi film horor pendek pertama mereka berjudul "Dara" (2007), bagian dari enam film pendek antologi "Takut: Faces of Fear".
Dara memiliki ide cerita horor yang segar, seorang wanita muda bernama Dara memiliki restoran dengan sajian makanan enak, ternyata daging manusia lah yang menjadi bumbu kelezatan.
Tak seperti kebanyakan film horor yang sekadar menjual jumpscare, The Mo Brothers lebih dari itu. Mereka tak segan menghadirkan cipratan-cipratan darah dalam bentuk visual yang mengerikan.
Sukses dengan Dara, The Mo Brothers kemudian menuangkan skenario panjangnya dengan merilis film "Rumah Dara" (2010) atau "Macabre", yang sukses menuai pujian dari para kritikus film.
Lewat "Rumah Dara", The Mo Brothers turut melejitkan nama pemeran utama Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara, mengantarkan Daanish sebagai aktris terbaik di Puncheon International Fantastic Film Festival di Buncheon, Korea Selatan.
Mengikuti kesuksesan Rumah dara, The Mo Brothers kemudian menyutradarai film bergenre sejenis, "Killers" (2013), kolaborasi pertama Indonesia-Jepang yang berhasil tampil dalam festival international bergengsi di Amerika, Sundance Film Festival.
Kolaborasi dan prestasi
Timo kemudian mulai menyutradarai film antologi perdana "V/H/S/2" (2013) – Segmen “Safe Haven”. Ia berkolaborasi dengan sutradara The Raid, Gareth Evans. "Safe Haven" dinilai sebagai segmen terbaik.Kembali lagi mengusung nama The Mo Brothers, Timo dan Kimo membuat film action pertama mereka berjudul "Headshot" (2016) yang dibintangi oleh Iko Uwais. Tak hanya diapresiasi di dalam negeri, "Headshot" juga menoreh prestasi dunia dengan mendapatkan standing ovation saat world premiere di Toronto International Film Festival (TIFF).
Film laga ini juga diganjar penghargaan prestisius dalam ajang L'Etrange Festival Paris 2016. Setelah film "Headshot", Timo kemudian melanjutkan untuk membuat film-film solonya.
Nama Timo kian diperhitungkan setelah ia merilis film "The Night Comes For Us" (2018), film laga yang menghadirkan Joe Taslim dan Iko Uwais.
Timo menciptakan adegan laga yang penuh tumpah darah dengan cerita yang kompleks dari banyaknya karakter yang terlibat.
TNCFU menjadi film original Netflix pertama dari Indonesia dan sukses mencuri perhatian sineas internasional. Salah satunya adalah kreator film Deadpool, Robert Liefield. Ia menilai masa depan film-film bergenre laga ada di tangan Timo Tjahjanto.
Pada 2016, suami Sigi Wimala itu menyutradarai film "Sebelum Iblis Menjemput" yang dibintangi Chelsea Islan dan Pevita Pearce.
Horor, slasher dan gore menjadi elemen-elemen dalam film tersebut. Bukan setan lagi yang dihadapi, tapi Timo menciptakan kengerian dan menyematkan teror satanic dengan frasa Iblis.
Film SIM pun melalang buana ke sejumlah festival kelas dunia LEtrange Festival Paris, US Fantastic Festival, BFI London Film dan memenangkan penghargaan sebagai film horor terbaik di SITGES Film Festival.
Sekuelnya, "Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2" sudah disaksikan lebih dari 400.000 penonton setelah lima hari penayangan.