Palembang (ANTARA) - Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang sempat menyejahterakan masyarakat kawasan perbukitan di Sumatera Selatan seperti di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Pagaralam dan Lahat karena harganya yang cukup tinggi ketika dijual ke pengepul.
Kopi asal Sumsel yang dikenal dengan sebutan kopi Semende, kopi Lahat, kopi Pagaralam sudah diekspor ke berbagai belahan dunia, konon sejak zaman penjajahan Belanda.
Saat era tahun 1980-an hingga akhir 1990-an menjadi hal yang biasa bagi warga desa penghasil kopi untuk menyekolahkan anaknya ke Jawa, mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi terkemuka. Bahkan biasa menyebut mereka dengan dengan sebutan tauke kopi.
Namun, seiring dengan perubahan ekonomi di dalam dan luar negeri (pasar global) membuat terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan mereka.
Pekerja meracik kopi pesanan pembeli di dalam mobil warung kopi kaki lima. (ANTARA FOTO/RAHMAD)
T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan, mengatakan mereka tetap saja menerima harga pembelian di kisaran Rp18.000-Rp19.000 per kilogram.
“Ya kami tahu, kopi ini sedang booming, tapi kami juga heran kenapa harga tidak naik-naik juga, tetap begitu-begitu saja dari tengkulak,” kata Puji.
Bukan hanya dari sisi harga, dari sisi permintaan juga sama atau nyaris tidak ada peningkatan. Persoalan ini sempat ditanyakan ke tengkulak asal Lampung yang biasa membeli produk pertanian kopi di kampungnya.
Namun, jawaban yang diterima Puji tidak bisa menjelaskan keadaan tersebut. “Mereka (tengkulak) mengatakan ya memang seperti itu, yang beli dari sana tetap beli segitu,” ujar Puji.
Penetapan harga dari tengkulak ini membuat Puji tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hampir 90 hidupnya tergantung dengan tengkulak, yang menjadi sosok utama dalam rantai distribusi kopi di desanya.
Kebutuhan mulai dari pembelian pupuk, biaya panen (bayar tenaga kerja), hingga kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, telur, minyak kelapa itu semuanya diberikan tengkulak. Posisi tawar petani sangat rendah, bahkan harga-harga untuk kebutuhan pokok sehari-hari yang diberikan tengkulak itu jatuhnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga sembako di pasar tradisional.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan yang ada di kebunnya, karena produktivitas kebun kopi terus menurun dari sekitar dua ton ton per tahun menjadi hanya sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare. Ini terjadi pada dua hektare lahan kopi milik Puji sejak satu dekade terakhir.
Penurunan produksi ini diduga karena massif penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah tak terbendung lagi. Selain itu, tanaman kopinya juga sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya membutuhkan peremajaan. Menurutnya, hal ini juga dialami sebagian besar petani kopi di desanya, yang berjarak sekitar 1,5 jam menuju Way Kanan, Lampung.
Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut yang juga menjadi bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan, karena itu petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao dan palawija untuk menyambung hidup. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.
Ia yang mempunyai empat orang anak terpaksa banting tulang mengurus banyak kebun untuk memenuhi kehidupan keluarga, apalagi dua anaknya kuliah di perguruan tinggi di Jawa, sementara dua lagi mengikuti jejaknya menjadi petani.
“Capek sekali jadi petani ini, yang mana dapatnya saja seperti menjaring ikan. Ada yang bisa dipanen harian, ya diambil, bulanan, tahunan, ya diambil juga untuk menyambung hidup,” kata dia.
Ali Arifin (40), warga Desa Napalan, OKUS mengatakan dirinya hingga kini masih “gali lubang, tutup lubang”. Padahal, saat menjadi transmigran mengikuti kedua orang tuanya pada akhir tahun 70-an mengalami kehidupan yang cukup layak. Ia memiliki beberapa orang saudara sekandung yang bersekolah di Yogyakarta.
“Terkadang saya bertekad dalam hati, jangan sampai anak-anak saya jadi petani juga seperti saya. Dari pagi sampai sore kerja terus, Subuh nyadap karet, pagi urus sayur, tanaman yang lain, capek sekali, tapi kenapa kami masih gali lubang tutup lubang,” kata dia.
Minuman kopi sedang booming merasuk menjadi gaya hidup modern masa kini sehingga menjadi tren yang tidak tahu kapan akan berakhirnya.
Di kota-kota besar Tanah Air, bermunculan kedai-kedai kopi mulai dari kelas elite hingga kelas “warkop” yang menjadi tempat nongkrong kalangan pebisnis, anak milenial, keluarga, politikus dan lainnya.
Namun, apa yang terjadi di sisi hilir ternyata tidak berdampak langsung di sisi hulunya. Petani kopi di sejumlah daerah penghasil Sumatera Selatan tetap menjerit karena harga tetap tertahan seperti yang terjadi dalam satu dekade terakhir.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang Amin Rejo mengatakan banyak faktor yang menyebabkan sisi hulu komoditas kopi tak sebaik sisi hilirnya.
Kopi Sumsel seperti kopi 'semendo' atau 'semende' Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam adalah satu yang terbaik di Indonesia. Namun dari sisi perilaku sebagian besar petani kopi melakukan masa panen sebelum tiba pada waktunya artinya memetik buah belum terlalu matang atau masak.
"Ada sebagian petani beralasan memetik buah kopi sebelum waktunya panen karena khawatir takut dicolong orang lain. Ini sebenarnya menjadi sebuah persoalan yang harus ditanggulangi pemerintah daerah," ujar Amin yang juga Direktur Pasca Sarjana Unsri tersebut.
Begitu juga saat menjemur biji kopi kebanyakan mereka memanfaatkan jalan umum desa, sehingga terkadang sering digilas kendaraan yang melintas di jalan.
"Kalau kendaraan sering menggilas biji kopi yang dijemur itu tentu menjadi rusak atau pecah akibatnya kualitas menjadi menurun dan harga pun menjadi kalah bersaing," kata dia.
Selain itu, terjadi perubahan dari sisi pemasarannya, yang mana saat ini banyak beralih ke daerah lain seperti Lampung karena Sumsel tidak memiliki pelabuhan ekspor.
Hal ini juga yang ditengarai menjadi penyebab brand "Kopi Sumsel" kurang muncul jika dibandingkan Kopi Lampung, padahal produk kopi asal Lampung tersebut berasal dari sejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed di Palembang mengatakan kondisi ini sangat disayangkan padahal Sumsel merupakan penghasil kopi jenis robusta terbesar di Indonesia, dengan memenuhi kebutuhan nasional hingga 90 persen.
Menurutnya, selama ini petani kopi di wilayah Pagaralam, Lahat dan khususnya Ogan Komering Ulu Selatan selalu menjual kopi kepada pengepul yang kemudian membawa produk tersebut ke Lampung.
Berdasarkan catatan Dewan Kopi Sumsel, produksi kopi di tiga kabupaten tersebut mencapai 0,6 - 0,9 ton per hektare setiap tahun.
Ismed mengungkapkan para petani di tiga kabupaten ini lebih suka menjual ke pengepul asal Lampung karena tidak perlu memenuhi standar kualitas dan bersedia jemput bola. Kondisi ini berbeda jika menjual ke pihak lain.
"Ini menunjukkan terjadi kerumitan di sektor kopi di Sumsel, terutama menyangkut pengolahan pasca panen yang sangat menentukan kualitas kopi," kata dia.
Tren kedai kopi
Kondisi buruk di sisi hulu itu justru berbanding 360 derajat dengan sisi hilirnya. Jika petani kopi terpaksa membagi-bagi lahannya untuk menanam komoditas lain untuk bertahan hidup maka berbeda dengan kedai kopi.
Analisis Fungsi Koordinasi dan Komisi Kebijakan Rendra Prasetya Kiswono mengatakan munculnya tren ini sebenarnya sejalan dengan analisis Bank Indonesia pada 2018 yakni terdapat tiga sektor yang wajib dikembangkan di Sumatera Selatan setelah Asian Games XVIII untuk terus menjaga pertumbuhan ekonomi, yakni pariwisata, industri kopi dan perikanan darat.
“Setelah Asian Games dipastikan pertumbuhan ekonomi Sumsel akan menurun, artinya ke depan Sumsel harus menemukan sektor lain, untuk terus tumbuh," kata dia.
BI menilai sektor ini sangat potensial di masa datang seiring dengan meningkatnya kesukaan masyarakat untuk mengonsumsi minuman kopi. Ruang-ruang yang sebelumnya tak bermanfaat, kemudian disulap menjadi kedai-kedai kopi oleh para pebisnis muda.
Hal ini diperkuat juga dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bisnis penyediaan akomodasi dan makan-minum tumbuh pesat di Sumatera Selatan sepanjang tahun 2018 dengan mencetak pertumbuhan 13,15 persen.
Capaian pertumbuhan ini mengungguli pertumbuhan sektor-sektor yang selama ini menjadi utama di Sumsel yakni pertambangan, penggalian dan perkebunan yang justru tiarap sejak anjloknya harga komoditas ekspor batubara dan karet.
Secara kasat mata apa yang disebutkan data BPS itu sungguh terlihat jelas di Kota Palembang. Di sejumlah kawasan Kota Palembang kini bermunculan kafe dan kedai kopi yang dikelola oleh anak-anak muda berusia di bawah 35 tahun.
Dengan mengusung konsep kekinian, mereka percaya diri merambah bisnis kedai kopi yang sebenarnya sudah lebih dahulu merebak di kota-kota besar Indonesia. Seperti yang dilakukan Natan, pemilik kedai kopi “Senang Kopi” di kawasan Bukit Besar Palembang.
Ia rela bermigrasi dari Bogor ke kota empek-empek ini karena mengamati tren anak muda nongkrong sambil minum kopi baru mulai meranjak di sini.
"Beda dengan di Bogor yang sudah terlalu banyak. Di sini, masih ada potensi meski sudah banyak juga," kata Natan.
Dengan menjual minuman dengan harga berkisar Rp15.000 per gelas, Natan mengatakan pendapatannya terus meningkat jika dibandingkan sebulan lalu saat pertama kali dibuka. Ini berkat promosi dari mulut ke mulut hingga laman media sosial.
Seperti layaknya kedai kopi yang lagi tren, Natan juga menampilkan unsur kekinian di setiap komponennya. Meja dipilih yang berukuran kecil yakni hanya untuk mengakomodir dua hingga tiga orang saja. Kemudian, dinding ruangan didominasi warna abu-abu, hingga hadirnya vas bunga di setiap meja dan adanya buku-buku pajangan.
Klaster Kopi
Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan menilai salah satu strategi jitu menjadikan komoditas ini sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yakni dengan membuka klaster kopi.
Kepala Perwakilan BI Sumsel, Yunita Resmi Sari mengatakan klaster kopi yang dikembangkan pihaknya tak hanya fokus di bagian peningkatan produksi dan mutu melainkan juga terkait rantai nilai komoditas tersebut.
“Sehingga nantinya kopi Sumsel ini bisa memenuhi standar internasional karena orientasi pasar kopi adalah ekspor,” katanya di sela capacity building wartawan ekonomi dan bisnis Sumsel di Bali, Sabtu (22/6).
Yunita menjelaskan BI sudah menjalin kerja sama dengan empat kabupaten penghasil kopi di Sumsel, seperti Kabupaten Pagar Alam, Empat Lawang, Muara Enim dan Lahat.
Ia menjelaskan bank sentral memang memiliki program pengembangan sektor riil melalui pendekatan klaster. Meskipun pola klaster ditujukan untuk komoditas yang bersinggungan dengan inflasi, namun program juga juga dilakukan pada komoditas yang berorientasi ekspor atau komoditas unggulan wilayah.
Dalam implementasinya, pendekatan klaster yang merupakan upaya untuk mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung dan terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, teknologi, sumber daya alam, serta lembaga terkait.
Sebelumnya, BI Sumsel telah mendirikan Rumah Kopi Sumsel di Kawasan Benteng Kuto Besak atau BKB Palembang sebagai upaya bank sentral mendukung pengembangan kopi asal provinsi itu.
Yunita mengatakan salah satu bentuk dukungan di sektor hilir adalah menyediakan tempat penjualan kopi berkonsep kedai atau coffee shop.
“Di RKS (Rumah Kopi Sumsel), nantinya tidak hanya melayani pembelian kopi di tingkat lokal saja. Tapi juga penjualannya akan merambah hingga mancanegara. Inilah yang disebut pengembangan sektor hulu dan hilir,” kata dia.
Yunita mengemukakan kopi yang diseduh di RKS semuanya berasal dari kebun percontohan dikelola petani mitra binaan BI Sumsel.
Sementara, di sektor hulu, pihaknya telah memiliki kebun demplot atau percontohan di 5 kabupaten/kota yang menghasilkan kopi.
"Di kebun itu, kami mengembangkan teknik pertanian misalnya mengganti robusta menjadi arabika dan berbagai teknik lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas tanaman kopi petani Sumsel," katanya.
Potensi kopi Sumsel ini juga sudah dilirik PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang pada 2019 mengekspor kopi Sumsel sebanyak 500 ribu ton ke Taiwan, Tiongkok, Mesir dan beberapa negara Afrika yang menjadi kali pertama.
Direktur Perdagangan Internasional PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Ahmad Yaniarsyah Hasan mengatakan kopi yang diekspor ini memenuhi standar kualitas mutu agar kompetitif dengan produk dari negara lain.
Selain itu, perusahaannya memunculkan brand "Kopi Sumsel" dibandingkan penamaan bersifat lokal seperti Kopi Semende, Kopi Pagaralam dan merek-merek kopi lainnya. Ide ini merujuk keberhasilan brand Kopi Kerinci Jambi, Kopi Gayo Aceh atau Kopi Ciwidey
“Brand ini yang kami munculkan terus,” kata dia.
Adanya gaya hidup baru minum kopi di masyarakat modern seharusnya menjadi momentum bangsa ini untuk menyejahterakan petani kopi yang sudah lama terhimpit kehidupannya lantaran ketidakadilan pembagian margin dalam rantai perdagangan. Berkembangnya sisi hilir seharusnya diimbangi juga dengan berkembangnya sisi hulu.
Kopi asal Sumsel yang dikenal dengan sebutan kopi Semende, kopi Lahat, kopi Pagaralam sudah diekspor ke berbagai belahan dunia, konon sejak zaman penjajahan Belanda.
Saat era tahun 1980-an hingga akhir 1990-an menjadi hal yang biasa bagi warga desa penghasil kopi untuk menyekolahkan anaknya ke Jawa, mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi terkemuka. Bahkan biasa menyebut mereka dengan dengan sebutan tauke kopi.
Namun, seiring dengan perubahan ekonomi di dalam dan luar negeri (pasar global) membuat terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan mereka.
T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan, mengatakan mereka tetap saja menerima harga pembelian di kisaran Rp18.000-Rp19.000 per kilogram.
“Ya kami tahu, kopi ini sedang booming, tapi kami juga heran kenapa harga tidak naik-naik juga, tetap begitu-begitu saja dari tengkulak,” kata Puji.
Bukan hanya dari sisi harga, dari sisi permintaan juga sama atau nyaris tidak ada peningkatan. Persoalan ini sempat ditanyakan ke tengkulak asal Lampung yang biasa membeli produk pertanian kopi di kampungnya.
Namun, jawaban yang diterima Puji tidak bisa menjelaskan keadaan tersebut. “Mereka (tengkulak) mengatakan ya memang seperti itu, yang beli dari sana tetap beli segitu,” ujar Puji.
Penetapan harga dari tengkulak ini membuat Puji tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hampir 90 hidupnya tergantung dengan tengkulak, yang menjadi sosok utama dalam rantai distribusi kopi di desanya.
Kebutuhan mulai dari pembelian pupuk, biaya panen (bayar tenaga kerja), hingga kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, telur, minyak kelapa itu semuanya diberikan tengkulak. Posisi tawar petani sangat rendah, bahkan harga-harga untuk kebutuhan pokok sehari-hari yang diberikan tengkulak itu jatuhnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga sembako di pasar tradisional.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan yang ada di kebunnya, karena produktivitas kebun kopi terus menurun dari sekitar dua ton ton per tahun menjadi hanya sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare. Ini terjadi pada dua hektare lahan kopi milik Puji sejak satu dekade terakhir.
Penurunan produksi ini diduga karena massif penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah tak terbendung lagi. Selain itu, tanaman kopinya juga sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya membutuhkan peremajaan. Menurutnya, hal ini juga dialami sebagian besar petani kopi di desanya, yang berjarak sekitar 1,5 jam menuju Way Kanan, Lampung.
Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut yang juga menjadi bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan, karena itu petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao dan palawija untuk menyambung hidup. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.
Ia yang mempunyai empat orang anak terpaksa banting tulang mengurus banyak kebun untuk memenuhi kehidupan keluarga, apalagi dua anaknya kuliah di perguruan tinggi di Jawa, sementara dua lagi mengikuti jejaknya menjadi petani.
“Capek sekali jadi petani ini, yang mana dapatnya saja seperti menjaring ikan. Ada yang bisa dipanen harian, ya diambil, bulanan, tahunan, ya diambil juga untuk menyambung hidup,” kata dia.
Ali Arifin (40), warga Desa Napalan, OKUS mengatakan dirinya hingga kini masih “gali lubang, tutup lubang”. Padahal, saat menjadi transmigran mengikuti kedua orang tuanya pada akhir tahun 70-an mengalami kehidupan yang cukup layak. Ia memiliki beberapa orang saudara sekandung yang bersekolah di Yogyakarta.
“Terkadang saya bertekad dalam hati, jangan sampai anak-anak saya jadi petani juga seperti saya. Dari pagi sampai sore kerja terus, Subuh nyadap karet, pagi urus sayur, tanaman yang lain, capek sekali, tapi kenapa kami masih gali lubang tutup lubang,” kata dia.
Minuman kopi sedang booming merasuk menjadi gaya hidup modern masa kini sehingga menjadi tren yang tidak tahu kapan akan berakhirnya.
Di kota-kota besar Tanah Air, bermunculan kedai-kedai kopi mulai dari kelas elite hingga kelas “warkop” yang menjadi tempat nongkrong kalangan pebisnis, anak milenial, keluarga, politikus dan lainnya.
Namun, apa yang terjadi di sisi hilir ternyata tidak berdampak langsung di sisi hulunya. Petani kopi di sejumlah daerah penghasil Sumatera Selatan tetap menjerit karena harga tetap tertahan seperti yang terjadi dalam satu dekade terakhir.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang Amin Rejo mengatakan banyak faktor yang menyebabkan sisi hulu komoditas kopi tak sebaik sisi hilirnya.
Kopi Sumsel seperti kopi 'semendo' atau 'semende' Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam adalah satu yang terbaik di Indonesia. Namun dari sisi perilaku sebagian besar petani kopi melakukan masa panen sebelum tiba pada waktunya artinya memetik buah belum terlalu matang atau masak.
"Ada sebagian petani beralasan memetik buah kopi sebelum waktunya panen karena khawatir takut dicolong orang lain. Ini sebenarnya menjadi sebuah persoalan yang harus ditanggulangi pemerintah daerah," ujar Amin yang juga Direktur Pasca Sarjana Unsri tersebut.
Begitu juga saat menjemur biji kopi kebanyakan mereka memanfaatkan jalan umum desa, sehingga terkadang sering digilas kendaraan yang melintas di jalan.
"Kalau kendaraan sering menggilas biji kopi yang dijemur itu tentu menjadi rusak atau pecah akibatnya kualitas menjadi menurun dan harga pun menjadi kalah bersaing," kata dia.
Selain itu, terjadi perubahan dari sisi pemasarannya, yang mana saat ini banyak beralih ke daerah lain seperti Lampung karena Sumsel tidak memiliki pelabuhan ekspor.
Hal ini juga yang ditengarai menjadi penyebab brand "Kopi Sumsel" kurang muncul jika dibandingkan Kopi Lampung, padahal produk kopi asal Lampung tersebut berasal dari sejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed di Palembang mengatakan kondisi ini sangat disayangkan padahal Sumsel merupakan penghasil kopi jenis robusta terbesar di Indonesia, dengan memenuhi kebutuhan nasional hingga 90 persen.
Menurutnya, selama ini petani kopi di wilayah Pagaralam, Lahat dan khususnya Ogan Komering Ulu Selatan selalu menjual kopi kepada pengepul yang kemudian membawa produk tersebut ke Lampung.
Berdasarkan catatan Dewan Kopi Sumsel, produksi kopi di tiga kabupaten tersebut mencapai 0,6 - 0,9 ton per hektare setiap tahun.
Ismed mengungkapkan para petani di tiga kabupaten ini lebih suka menjual ke pengepul asal Lampung karena tidak perlu memenuhi standar kualitas dan bersedia jemput bola. Kondisi ini berbeda jika menjual ke pihak lain.
"Ini menunjukkan terjadi kerumitan di sektor kopi di Sumsel, terutama menyangkut pengolahan pasca panen yang sangat menentukan kualitas kopi," kata dia.
Tren kedai kopi
Kondisi buruk di sisi hulu itu justru berbanding 360 derajat dengan sisi hilirnya. Jika petani kopi terpaksa membagi-bagi lahannya untuk menanam komoditas lain untuk bertahan hidup maka berbeda dengan kedai kopi.
Analisis Fungsi Koordinasi dan Komisi Kebijakan Rendra Prasetya Kiswono mengatakan munculnya tren ini sebenarnya sejalan dengan analisis Bank Indonesia pada 2018 yakni terdapat tiga sektor yang wajib dikembangkan di Sumatera Selatan setelah Asian Games XVIII untuk terus menjaga pertumbuhan ekonomi, yakni pariwisata, industri kopi dan perikanan darat.
“Setelah Asian Games dipastikan pertumbuhan ekonomi Sumsel akan menurun, artinya ke depan Sumsel harus menemukan sektor lain, untuk terus tumbuh," kata dia.
BI menilai sektor ini sangat potensial di masa datang seiring dengan meningkatnya kesukaan masyarakat untuk mengonsumsi minuman kopi. Ruang-ruang yang sebelumnya tak bermanfaat, kemudian disulap menjadi kedai-kedai kopi oleh para pebisnis muda.
Hal ini diperkuat juga dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bisnis penyediaan akomodasi dan makan-minum tumbuh pesat di Sumatera Selatan sepanjang tahun 2018 dengan mencetak pertumbuhan 13,15 persen.
Capaian pertumbuhan ini mengungguli pertumbuhan sektor-sektor yang selama ini menjadi utama di Sumsel yakni pertambangan, penggalian dan perkebunan yang justru tiarap sejak anjloknya harga komoditas ekspor batubara dan karet.
Secara kasat mata apa yang disebutkan data BPS itu sungguh terlihat jelas di Kota Palembang. Di sejumlah kawasan Kota Palembang kini bermunculan kafe dan kedai kopi yang dikelola oleh anak-anak muda berusia di bawah 35 tahun.
Dengan mengusung konsep kekinian, mereka percaya diri merambah bisnis kedai kopi yang sebenarnya sudah lebih dahulu merebak di kota-kota besar Indonesia. Seperti yang dilakukan Natan, pemilik kedai kopi “Senang Kopi” di kawasan Bukit Besar Palembang.
Ia rela bermigrasi dari Bogor ke kota empek-empek ini karena mengamati tren anak muda nongkrong sambil minum kopi baru mulai meranjak di sini.
"Beda dengan di Bogor yang sudah terlalu banyak. Di sini, masih ada potensi meski sudah banyak juga," kata Natan.
Dengan menjual minuman dengan harga berkisar Rp15.000 per gelas, Natan mengatakan pendapatannya terus meningkat jika dibandingkan sebulan lalu saat pertama kali dibuka. Ini berkat promosi dari mulut ke mulut hingga laman media sosial.
Seperti layaknya kedai kopi yang lagi tren, Natan juga menampilkan unsur kekinian di setiap komponennya. Meja dipilih yang berukuran kecil yakni hanya untuk mengakomodir dua hingga tiga orang saja. Kemudian, dinding ruangan didominasi warna abu-abu, hingga hadirnya vas bunga di setiap meja dan adanya buku-buku pajangan.
Klaster Kopi
Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan menilai salah satu strategi jitu menjadikan komoditas ini sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yakni dengan membuka klaster kopi.
Kepala Perwakilan BI Sumsel, Yunita Resmi Sari mengatakan klaster kopi yang dikembangkan pihaknya tak hanya fokus di bagian peningkatan produksi dan mutu melainkan juga terkait rantai nilai komoditas tersebut.
“Sehingga nantinya kopi Sumsel ini bisa memenuhi standar internasional karena orientasi pasar kopi adalah ekspor,” katanya di sela capacity building wartawan ekonomi dan bisnis Sumsel di Bali, Sabtu (22/6).
Yunita menjelaskan BI sudah menjalin kerja sama dengan empat kabupaten penghasil kopi di Sumsel, seperti Kabupaten Pagar Alam, Empat Lawang, Muara Enim dan Lahat.
Ia menjelaskan bank sentral memang memiliki program pengembangan sektor riil melalui pendekatan klaster. Meskipun pola klaster ditujukan untuk komoditas yang bersinggungan dengan inflasi, namun program juga juga dilakukan pada komoditas yang berorientasi ekspor atau komoditas unggulan wilayah.
Dalam implementasinya, pendekatan klaster yang merupakan upaya untuk mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung dan terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, teknologi, sumber daya alam, serta lembaga terkait.
Sebelumnya, BI Sumsel telah mendirikan Rumah Kopi Sumsel di Kawasan Benteng Kuto Besak atau BKB Palembang sebagai upaya bank sentral mendukung pengembangan kopi asal provinsi itu.
Yunita mengatakan salah satu bentuk dukungan di sektor hilir adalah menyediakan tempat penjualan kopi berkonsep kedai atau coffee shop.
“Di RKS (Rumah Kopi Sumsel), nantinya tidak hanya melayani pembelian kopi di tingkat lokal saja. Tapi juga penjualannya akan merambah hingga mancanegara. Inilah yang disebut pengembangan sektor hulu dan hilir,” kata dia.
Yunita mengemukakan kopi yang diseduh di RKS semuanya berasal dari kebun percontohan dikelola petani mitra binaan BI Sumsel.
Sementara, di sektor hulu, pihaknya telah memiliki kebun demplot atau percontohan di 5 kabupaten/kota yang menghasilkan kopi.
"Di kebun itu, kami mengembangkan teknik pertanian misalnya mengganti robusta menjadi arabika dan berbagai teknik lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas tanaman kopi petani Sumsel," katanya.
Potensi kopi Sumsel ini juga sudah dilirik PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang pada 2019 mengekspor kopi Sumsel sebanyak 500 ribu ton ke Taiwan, Tiongkok, Mesir dan beberapa negara Afrika yang menjadi kali pertama.
Direktur Perdagangan Internasional PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Ahmad Yaniarsyah Hasan mengatakan kopi yang diekspor ini memenuhi standar kualitas mutu agar kompetitif dengan produk dari negara lain.
Selain itu, perusahaannya memunculkan brand "Kopi Sumsel" dibandingkan penamaan bersifat lokal seperti Kopi Semende, Kopi Pagaralam dan merek-merek kopi lainnya. Ide ini merujuk keberhasilan brand Kopi Kerinci Jambi, Kopi Gayo Aceh atau Kopi Ciwidey
“Brand ini yang kami munculkan terus,” kata dia.
Adanya gaya hidup baru minum kopi di masyarakat modern seharusnya menjadi momentum bangsa ini untuk menyejahterakan petani kopi yang sudah lama terhimpit kehidupannya lantaran ketidakadilan pembagian margin dalam rantai perdagangan. Berkembangnya sisi hilir seharusnya diimbangi juga dengan berkembangnya sisi hulu.