Jakarta (ANTARA) - Global Zakat dan Aksi Cepat Tanggap (ACT) membiayai pendidikan enam anak peserta didik Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Timuabang, Kabupaten alor Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk bersekolah di Pulau Jawa.
Kepala MIS Timuabang, Kadir, kepada wartawan di Jakarta, Senin, mengatakan ada enam anak didiknya yang melanjutkan sekolah di Pulau Jawa. Mereka akan belajar di bawah binaan "Fath Institute" di Jakarta dan Bogor.
Selain itu, katanya, di antara mereka ada yang masuk ke pesantren di Bojonegoro, Jawa Timur. Kehadiran para siswa dari Kabupaten Alor di Jawa adalah buah keyakinan dan usaha orang tua serta guru-guru di Alor yang memrioritaskan pendidikan di tengah keterbatasan ekonomi.
"Di tengah keterbatasan buku ajar, bacaan, fasilitas pendidikan serta alat peraga pendidikan di tepian negeri, mereka berhasil menyabet medali dalam Olimpiade tingkal nasional," kata dia.
Sebelumnya, ACT membantu pendidikan MIS Timuabang sejak 2014 di Alor dengan membangun lima ruang kelas untuk menyediakan pendidikan yang layak di tepian negeri.
Sementara sejak 2017, ACT juga telah memberangkatkan murid dari Alor ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan.
Kadir mengatakan para murid yang berangkat ke Jawa berasal dari keluarga prasejahtera di kampungnya. Orang tua mereka sebagian besar adalah nelayan tradisional atau merantau ke berbagai tempat di dalam dan luar negeri.
"Sebagian besar penduduk di Timuabang prasejahtera, mereka menggantungkan nasib pada hasil laut atau merantau dengan pekerjaan yang juga belum jelas," katanya.
Kadir mengatakan keluarga mereka sangat mendukung pendidikan anak-anaknya seperti tidak memaksa mereka membantu pekerjaan orang tua.
"Istilahnya, orang tua mereka menekankan, apapun yang terjadi anaknya harus sekolah," katanya.
Dia mengatakan murid di MIS bersekolah secara gratis. Saat ini terdapat lima ruang kelas yang didirikan ACT serta enam guru yang mendidik puluhan siswa.
Di sisi lain, kata dia, seluruh guru MIS Timuabang tidak mendapatkan gaji tetap. Setiap bulan mereka hanya mendapatkan sembako dari seorang donatur. Sedangkan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sebesar Rp22 juta per semester digunakan untuk menggaji para guru.
"Guru yang mengajar di Timuabang tak seluruhnya lulusan pendidikan tinggi atau sarjana. Sebagian dari mereka bersekolah dengan cara mengejar paket. Walau begitu, pengalaman serta asa untuk membangun semangat belajar anak-anak di Timuabang menjadi kekuatan mereka mengajar," kata dia.
Meski begitu, beberapa siswa MIS Timuabang telah menyabet medali dalam Olimpiade tingkat nasional.
"Kami belajar dari bahan yang ada saja. Di dalamnya kan ada soal, ya dari situ anak-anak ini belajar untuk persiapan Olimpiade sains," demikian Kadir.
Kepala MIS Timuabang, Kadir, kepada wartawan di Jakarta, Senin, mengatakan ada enam anak didiknya yang melanjutkan sekolah di Pulau Jawa. Mereka akan belajar di bawah binaan "Fath Institute" di Jakarta dan Bogor.
Selain itu, katanya, di antara mereka ada yang masuk ke pesantren di Bojonegoro, Jawa Timur. Kehadiran para siswa dari Kabupaten Alor di Jawa adalah buah keyakinan dan usaha orang tua serta guru-guru di Alor yang memrioritaskan pendidikan di tengah keterbatasan ekonomi.
"Di tengah keterbatasan buku ajar, bacaan, fasilitas pendidikan serta alat peraga pendidikan di tepian negeri, mereka berhasil menyabet medali dalam Olimpiade tingkal nasional," kata dia.
Sebelumnya, ACT membantu pendidikan MIS Timuabang sejak 2014 di Alor dengan membangun lima ruang kelas untuk menyediakan pendidikan yang layak di tepian negeri.
Sementara sejak 2017, ACT juga telah memberangkatkan murid dari Alor ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan.
Kadir mengatakan para murid yang berangkat ke Jawa berasal dari keluarga prasejahtera di kampungnya. Orang tua mereka sebagian besar adalah nelayan tradisional atau merantau ke berbagai tempat di dalam dan luar negeri.
"Sebagian besar penduduk di Timuabang prasejahtera, mereka menggantungkan nasib pada hasil laut atau merantau dengan pekerjaan yang juga belum jelas," katanya.
Kadir mengatakan keluarga mereka sangat mendukung pendidikan anak-anaknya seperti tidak memaksa mereka membantu pekerjaan orang tua.
"Istilahnya, orang tua mereka menekankan, apapun yang terjadi anaknya harus sekolah," katanya.
Dia mengatakan murid di MIS bersekolah secara gratis. Saat ini terdapat lima ruang kelas yang didirikan ACT serta enam guru yang mendidik puluhan siswa.
Di sisi lain, kata dia, seluruh guru MIS Timuabang tidak mendapatkan gaji tetap. Setiap bulan mereka hanya mendapatkan sembako dari seorang donatur. Sedangkan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sebesar Rp22 juta per semester digunakan untuk menggaji para guru.
"Guru yang mengajar di Timuabang tak seluruhnya lulusan pendidikan tinggi atau sarjana. Sebagian dari mereka bersekolah dengan cara mengejar paket. Walau begitu, pengalaman serta asa untuk membangun semangat belajar anak-anak di Timuabang menjadi kekuatan mereka mengajar," kata dia.
Meski begitu, beberapa siswa MIS Timuabang telah menyabet medali dalam Olimpiade tingkat nasional.
"Kami belajar dari bahan yang ada saja. Di dalamnya kan ada soal, ya dari situ anak-anak ini belajar untuk persiapan Olimpiade sains," demikian Kadir.