Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Cornell Unversity, Amerika Serikat, George McTurnan Kahin, hampir tidak percaya yang ditemuinya adalah Mohammad Natsir, Menteri Penerangan RI. Natsir sangat sederhana, kemejanya bertambalan di beberapa bagian.

"Saya menemukan seorang yang sederhana dan rendah hati. Pakaiannya tidak mencerminkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Kemejanya bertambalan," kenang Kahin dalam buku Mohammad Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, diterbitkan Pustaka Antara Jakarta (1978).

Beberapa minggu kemudian, kenang Kahin, staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas. Mereka katakan, dengan baju itu pemimpin mereka akan kelihatan seperti menteri sesungguhnya.

Kahin berkenalan dengan Natsir melalui Agus Salim di Yogyakarta, 1948. Saat itu Natsir Menteri Penerangan. Sebelum pertemuan, Agus Salim bercerita tentang Natsir, yang sederhana, cerdas, dan penuh kejujuran. "Jika Anda hendak memahami yang terjadi dalam Republik, Anda seharusnya berbicara dengannya".

Selain Natsir, Prof Kahin --yang melakukan penelitian tentang pergerakan revolusi Indonesia-- juga mewawancarai beberapa tokoh, antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Ali Sastroamidjojo. Penelitian tersebut dibukukan dengan judul Nationalism and Revolution in Indonesia, diterbitkan Cornell University (1952).

Kahin menyebut Pak Nasir sebagai: The last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders.
  Mohammad Natsir (Dokumentasi Keluarga)

Teladan Pak Natsir

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Pekan lalu, 111 tahun Pak Nasir --ulama, politisi, wartawan, dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Kesederhanaan Natsir tidak saja soal kemeja bertambalan, tapi juga soal rumah. Di Jakarta, Natsir tidak punya rumah. Pendiri partai Masjumi ini menumpang di rumah sahabatnya, Prawoto Mangkusasmito di Tanah Abang. Saat sebagai Menteri Penerangan di Jogyakarta, Natsir tinggal di paviliun rumah Agus Salim, yang dipinjamkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Kembali ke Jakarta, Menteri Penerangan ini mendapat rumah dinas dalam gang di Jalan Jawa, Jakarta. Rumah itu diisi perabot bekas. Anak-anaknya bertanya soal perabotan bekas tersebut, dan Pak Natsir menjawab, "Jangan cari yang tiada, pandai-pandailah mensyukuri nikmat".

Saat menjabat sebagai Perdana Menteri (PM), 1950, Natsir pindah ke rumah dinas di Jl. Pegangsaan. Setelah tidak menjadi PM, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyerahkan dana taktis sebagai PM, namun Natsir menyerahkan semua dana itu ke koperasi karyawan, tanpa mengambilnya sedikit pun. Mobil dinas dan sopir pun langsung dikembalikan. Natsir pulang dengan sepeda ontelnya.

Siti Muchliesah, putri Pak Natsir, suatu kali mendengarkan perbincangan ayahnya dengan seseorang dari Medan. Orang tersebut menawarkan mobil sedan mewah Chevrolet Impala. Namun, dengan halus Pak Natsir menolaknya.

Pak Natsir menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Arab. Hidupnya penuh warna. Selain ulama, penulis produktif, dan politisi handal, Pak Nasir juga suka karya-karya Mozart dan Beethoven. Bersama sahabatnya, Douwes Dekker, Pak Natsir memainkan biola, Dekker bermain gitar.

Penggemar novel sastrawan Rusia, Boris Pasternak ini, menjadi Ketua Umum Masyumi pada 1949-1958. Pada pemilihan umum 1955, partai ini meraih tempat kedua dengan jumlah pemilih 7,6 juta (20,9 persen), di bawah Partai Nasional Indonesia, yang diketuai Presiden Soekarno (22,3 persen). Di bawah Masyumi, Nahdlatul Ulama (18,4 persen), dan PKI (16 persen).

Tiga tahun setelah Pemilu, Soekarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tanpa proses pengadilan. Soekarno menuduh tokoh-tokoh Masyumi dan PSI terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), gerakan yang menuntut otonomi daerah.

Selain menuntut otonomi daerah --karena Sekarno dinilai mengabaikan kesejahteraan rakyat di luar Jawa-- gerakan ini juga sebagai reaksi atas semakin kuatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan Soekarno.
 

                          Negarawan

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi, peran besar Natsir dalam menyatukan kembali Indonesia dalam beberapa negara bagian, banyak dilupakan. Natsir yang ketika itu ketua Fraksi Masyumi di parlemen sementara, memperjuangan mosi, yang kemudian dikenal dengan nama Mosi Integral Natsir.

Mosi ini muncul sebagai reaksi Natsir atas hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 1949. KMB menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan 16 negara bagian lainnya. Natsir melihat, hasil KMB ini sebagai rencana Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.

Di parlemen, Mosi Integral Natsir disepakati pada 2 April 1950. Semua fraksi setuju RIS berserta 16 negara bagian dibubarkan, diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tugas Natsir berikutnya membujuk para pemimpin RIS dan 16 negara bagian untuk bergabung dalam NKRI.

Melalui lobi dan keluwesan diplomasi, Natsir berhasil membujuk para pemimpin tersebut. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebut Mosi Intergral Natsir ini bagaikan proklamasi kedua Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah negara bagian bersatu, Presiden Soekarno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia (1950-1951). Sebagai pemimpin partai Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam politik, Natsir justru melibatkan pemimpin partai Kristen dan Katolik dalam kabinetnya, selain kalangan sosialis. Natsir menyebutnya sebagai zaken kabinet --kabinet ahli.

Mengenai hal ini, Natsir berprinsip negara ini harus diurus bersama. ''Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,'' kata Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor, 1988.

Pada 26 April 1951, Natsir mundur antara lain karena perbedaan tajam dengan Soekarno soal ideologi. Soekarno cenderung nasionalisme sekuler, seperti Turki semasa Mustafa Kemal Atatürk, yang menjadi idola Soekarno.

Menyusul gerakan PRRI dan pembubaran Masyumi serta PSI, pemerintah Soekarno menjebloskan Natsir ke penjara tanpa proses pengadilan, di Malang, pada 1962. Setelah pemerintah Soekarno jatuh dan diganti Orde Baru, Natsir dibebaskan. Namun, Masyumi tetap tidak boleh berdiri. Semangat Masyumi menjalar di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Pada masa Orde Baru, Natsir tetap dikucilkan. Sebagai ketua Kongres Muslim Sedunia, Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, Pak Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Pak Natsir dicekal, terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.

Namun demikian, sebagai negarawan, Pak Natsir tetap mengambil peran untuk kebaikan bangsa dan negara. Ketika Presiden Soeharto menemui kesulitan untuk memulihkan hubungan dengan Malaysia, Pak Natsir mengirim surat kepada sahabatnya PM Malaysia, Tengku Abdurrahman, agar menerima utusan Soeharto dalam memulihkan hubungan kedua negara.

Tidak hanya itu. Saat Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu pendanaan untuk Indonesia, Pak Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI).

"Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonesia," kata Fukuda. Ketika Pak Natsir wafat, 14 Maret 1993, Fukuda mengirim surat kepada keluarga Pak Natsir. Surat itu menyatakan kesedihan mendalam dan sangat kehilangan besar atas wafatnya Pak Natsir, sahabat baiknya.

Pak Natsir contoh poilitik beretika dan mendahului kepentingan negara. Dalam perdebatan hangat soal dasar negara di konstituante, Pak Natsir memutuskan menerima Pancasila, yang disebutnya sebagai titik temu dan jalan tengah semua golongan.

Di Parlemen, Pak Natsir sering berdebat keras soal-soal yang prinsipil dengan Ketua PKI, DN Aidit, namun setelah itu mereka minum teh dan pulang berboncengan dari Pejambon. "Sebagai pemimpin Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan pada pribadi," kata Pak Natsir kepada Majalah Editor, 23 Juli 1988.

Pada masa Orde Baru, Pak Natsir lebih dihormati di luar negeri. Raja Faisal Arab Saudi memberinya "Faisal Award" pada 1980. Pak Natsir --yang menulis 45 buku, di antaranya Capita Selecta-- menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Libanon, juga penghargaan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Universitas Sain dan Teknologi Malaysia.

Di Indonesia, setelah beberapa kali namanya dicoret, Pak Natsir baru diberi gelar Pahlawan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 November 2008 --lima belas tahun setelah Pak Natsir wafat. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memberi Bintang Republik Indonesia Adipradana, 6 November 1998.

Penggemar karya-karya Mozart ini pekan lalu 111 tahun. Pak Natsir tokoh besar dalam sejarah bangsa ini, teladan kesederhanaan dan berprinsip. Pemikiran, sikap, perjuangan, dan kenegarawannya --mendahukan kepentingan bangsa-negara dan bukan pendendam-- seperti pohon berakar kuat, berdaun hijau, dan berbuah banyak. Buah itu seharusnya menjadi bibit yang terus berkembang dan menyebar hingga kini.

*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Media Dakwah, majalah yang didirikan Mohammad Natsir (1987-1999), Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007).
 

Pewarta : Asro Kamal Rokan
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024