Jakarta (ANTARA) - Ratusan pengungsi dan pencari suaka
dari berbagai negara yang dilanda konflik perang menanti kejelasan mengenai bantuan hunian sementara dan suaka ke negara ketiga dari Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Selama hampir dua pekan, mereka telah berunjuk rasa dan mendirikan tenda-tenda darurat di depan Kantor UNHCR di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka terusir dari lahan tempat menginap di sekitar kawasan rumah detensi imigrasi (Rudenim) di Kalideres, Jakarta Barat.
Kondisi pengungsi dan pencari suaka memprihatinkan karena mereka tidur di atas trotoar jalan dengan beralaskan karpet dan tenda. Suara klakson dan asap kendaraan bermotor menemani keseharian mereka.
Pemerintah DKI Jakarta, Kamis (11/7/2019), lantas mengambil inisiatif dengan menempatkan mereka ke lokasi penampungan sementara di bekas Gedung Komando Militer (Kodim) Kalideres, Jakarta Barat.
Gagasan itu muncul agar kawasan Kebon Sirih yang berlokasi di jantung Jakarta tidak terlihat kumuh karena jemuran, tenda, dan tikar-tikar pengungsi. Di sisi lain, rasa belas kasihan dan empati kemanusiaan ikut dalam relokasi tersebut.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menuturkan bahwa pemerintah hanya memberi makan-minum dan memberikan penampungan untuk sementara waktu, tepatnya hanya sepekan.
Adapun kelanjutan dari nasib pengungsi dan pencari suaka korban perang itu, lanjut Prasetyo, merupakan tanggung jawab UNHCR sebagai lembaga internasional yang bertugas melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi.
"Kita yang tidak terlibat akhirnya melibatkan diri cuma karena kemanusiaan. Saya minta kepada UNHCR harus punya solusi yang konkret," ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini saat ditemui wartawan di Jakarta, Kamis lalu.
Menghuni tempat yang baru di bekas Gedung Kodim Kalideres dengan akses air bersih, listrik, makanan-minuman serta toilet yang memadai tidak membuat mereka tidur nyenyak.
Peningkatan jumlah nyamuk saat musim kemarau membawa cerita baru.
"Kami enggak bisa tidur malam hari, banyak nyamuk," kata Hadia (9 tahun), seorang pengungsi anak-anak asal Afganistan.
Adapun Sadiq, pengungsi asal Somalia, mengaku harus terus berjaga saat malam agar isterinya yang sedang hamil sembilan bulan tidak digigit serangga penghisap darah tersebut.
"Tangan bentol-bentol digigit nyamuk, saya tidak bisa tidur," ucap pria berusia 26 tahun itu.
Kisah berbeda dituturkan Farzana, perempuan pengungsi asal Afganistan. Dia memiliki bayi berumur sembilan bulan yang terkadang harus diberi air mineral agar bayinya itu tidak dehidrasi dan kepanasan.
"Susu bayi didapat dari relawan, jumlahnya sedikit," ujar Farzana.
Sejak 15 Maret 2018 lalu, Organisasi Internasional untuk Imigrasi (IOM) yang bertugas memenuhi kebutuhan dasar pengungsi telah menghentikan pendaftaran pengungsi baru.
IOM mengalami kendala akibat menurunnya komitmen pendanaan dari negara-negara pendonor.
Salah satu negara yang mengurangi komitmen untuk menerima penempatan kembali pengungsi adalah Australia. Negara ini menghentikan dukungan pendanaan bagi pengungsi maupun pencari suaka yang mendaftarkan diri setelah 15 Maret 2018.
Mereka yang belum mendaftarkan diri di IOM setelah tanggal itu tidak akan mendapat bantuan, sehingga harus meminta bantuan ke lembaga lain. Beberapa pengungsi dan pencari suaka bahkan nekad meminta makanan-minuman kepada warga maupun pedagang.
Sejumlah pengungsi dan pencari suaka bertahan menanti kepastian UNHCR di jalan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019). (ANTARA/Sugiharto Purnama)
Jumlah Rudenim Terbatas
Merujuk data Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tercatat hingga akhir Mei 2019, Indonesia telah menjadi negara transit bagi sekitar 14.000 pengungsi yang berasal dari 43 negara di dunia.
Rata-rata pengungsi yang datang ke Indonesia memiliki latar belakang masyarakat korban perang dengan beragam konflik rumit.
Banyaknya jumlah pengungsi ini membuat penanganan terhadap orang-orang tersebut kian kompleks. Jumlah rumah detensi imigrasi (Rudenim) di Indonesia sangat terbatas, sehingga tidak bisa menampung semua pencari suaka itu.
Rudenim merupakan tempat penampungan sementara bagi pengungsi maupun pencari suaka yang datang ke Indonesia, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan atau dikembalikan ke negara asalnya.
Saat ini hanya ada tiga belas rudenim yang tersebar di berbagai kota, di antaranya Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Denpasar, Makassar hingga Jayapura dengan total daya tampung antara 2.000 hingga 3.000 orang. Karena itu, belasan rumah detensi tak bisa menampung pencari suaka yang cukup banyak.
Ribuan orang-orang yang tidak beruntung mendapat tempat tinggal layak memilih tidur di trotoar jalan dengan tenda dan terpal.
Sulit Mendapatkan Pekerjaan
Pengungsi dan pencari suaka tidak diperbolehkan bekerja tanpa izin di Indonesia, khususnya Jakarta, sehingga mereka hidup dalam kesulitan ekonomi dan berbagai masalah kesehatan.
Larangan bekerja itu tertuang dalam 'Surat Pernyataan Pengungsi' yang mesti ditandatangani pengungsi bersertifikat UNHCR berdasarkan Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IM-1489.UM.0805 Tahun 2010.
Kesulitan mencari pekerjaan membuat mereka ingin segera diberangkatkan ke negara tujuan, yaitu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967, di antaranya Amerika Serikat dan Australia.
Konvensi ini merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Persoalan baru muncul, negara-negara ketiga yang menjadi tujuan orang-orang tersebut memperketat kebijakan penerimaan pengungsi dan pencari suaka akibat penurunan angka pemukiman kembali atau resettlement.
Mereka yang masih tertahan di negara transit Indonesia, namun enggan pulang ke negara asal, memilih bertahan dengan kondisi keuangan yang buruk.
"Kami tidak ingin dikembalikan ke negara kami, ratusan orang mati karena perang. Kami ingin ke Australia," kata Mohammed Mohsin, salah seorang pengungsi asal Afganistan.
Mereka Kerap Ditolak
Penampungan para pengungsi dan pencari suaka seringkali menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat, karena mereka menetap di community housing dan mendapat uang saku setiap bulan.
Warga terkadang merasa terganggu oleh aktivitas mereka yang duduk dan tidur di emperan pertokoan. Tak jarang warga membentangkan spanduk dan berunjukrasa menyampaikan penolakan terhadap keberadaan mereka.
Bahkan beberapa pemerintah daerah juga menolak menampung mereka lantaran disinyalir dapat menambah beban dan tanggung jawab baru.
Sebelumnya, Plt. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Fazasyah mengatakan UNHCR berkewajiban untuk mencarikan negara yang bersedia menampung status akhir dari para pengungsi dan pencari suaka tersebut.
Fazasyah menuturkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah daerah adalah membantu para pengungsi yang transit di Indonesia. Bantuan itu bersifat sementara dan berdasarkan asas kemanusiaan dan bukan kewajiban.
"Selama kita mampu kita berikan bantuan, tapi kita bukan negara yang berkewajiban," ujarnya.
dari berbagai negara yang dilanda konflik perang menanti kejelasan mengenai bantuan hunian sementara dan suaka ke negara ketiga dari Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Selama hampir dua pekan, mereka telah berunjuk rasa dan mendirikan tenda-tenda darurat di depan Kantor UNHCR di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka terusir dari lahan tempat menginap di sekitar kawasan rumah detensi imigrasi (Rudenim) di Kalideres, Jakarta Barat.
Kondisi pengungsi dan pencari suaka memprihatinkan karena mereka tidur di atas trotoar jalan dengan beralaskan karpet dan tenda. Suara klakson dan asap kendaraan bermotor menemani keseharian mereka.
Pemerintah DKI Jakarta, Kamis (11/7/2019), lantas mengambil inisiatif dengan menempatkan mereka ke lokasi penampungan sementara di bekas Gedung Komando Militer (Kodim) Kalideres, Jakarta Barat.
Gagasan itu muncul agar kawasan Kebon Sirih yang berlokasi di jantung Jakarta tidak terlihat kumuh karena jemuran, tenda, dan tikar-tikar pengungsi. Di sisi lain, rasa belas kasihan dan empati kemanusiaan ikut dalam relokasi tersebut.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menuturkan bahwa pemerintah hanya memberi makan-minum dan memberikan penampungan untuk sementara waktu, tepatnya hanya sepekan.
Adapun kelanjutan dari nasib pengungsi dan pencari suaka korban perang itu, lanjut Prasetyo, merupakan tanggung jawab UNHCR sebagai lembaga internasional yang bertugas melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi.
"Kita yang tidak terlibat akhirnya melibatkan diri cuma karena kemanusiaan. Saya minta kepada UNHCR harus punya solusi yang konkret," ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini saat ditemui wartawan di Jakarta, Kamis lalu.
Menghuni tempat yang baru di bekas Gedung Kodim Kalideres dengan akses air bersih, listrik, makanan-minuman serta toilet yang memadai tidak membuat mereka tidur nyenyak.
Peningkatan jumlah nyamuk saat musim kemarau membawa cerita baru.
"Kami enggak bisa tidur malam hari, banyak nyamuk," kata Hadia (9 tahun), seorang pengungsi anak-anak asal Afganistan.
Adapun Sadiq, pengungsi asal Somalia, mengaku harus terus berjaga saat malam agar isterinya yang sedang hamil sembilan bulan tidak digigit serangga penghisap darah tersebut.
"Tangan bentol-bentol digigit nyamuk, saya tidak bisa tidur," ucap pria berusia 26 tahun itu.
Kisah berbeda dituturkan Farzana, perempuan pengungsi asal Afganistan. Dia memiliki bayi berumur sembilan bulan yang terkadang harus diberi air mineral agar bayinya itu tidak dehidrasi dan kepanasan.
"Susu bayi didapat dari relawan, jumlahnya sedikit," ujar Farzana.
Sejak 15 Maret 2018 lalu, Organisasi Internasional untuk Imigrasi (IOM) yang bertugas memenuhi kebutuhan dasar pengungsi telah menghentikan pendaftaran pengungsi baru.
IOM mengalami kendala akibat menurunnya komitmen pendanaan dari negara-negara pendonor.
Salah satu negara yang mengurangi komitmen untuk menerima penempatan kembali pengungsi adalah Australia. Negara ini menghentikan dukungan pendanaan bagi pengungsi maupun pencari suaka yang mendaftarkan diri setelah 15 Maret 2018.
Mereka yang belum mendaftarkan diri di IOM setelah tanggal itu tidak akan mendapat bantuan, sehingga harus meminta bantuan ke lembaga lain. Beberapa pengungsi dan pencari suaka bahkan nekad meminta makanan-minuman kepada warga maupun pedagang.
Jumlah Rudenim Terbatas
Merujuk data Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tercatat hingga akhir Mei 2019, Indonesia telah menjadi negara transit bagi sekitar 14.000 pengungsi yang berasal dari 43 negara di dunia.
Rata-rata pengungsi yang datang ke Indonesia memiliki latar belakang masyarakat korban perang dengan beragam konflik rumit.
Banyaknya jumlah pengungsi ini membuat penanganan terhadap orang-orang tersebut kian kompleks. Jumlah rumah detensi imigrasi (Rudenim) di Indonesia sangat terbatas, sehingga tidak bisa menampung semua pencari suaka itu.
Rudenim merupakan tempat penampungan sementara bagi pengungsi maupun pencari suaka yang datang ke Indonesia, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan atau dikembalikan ke negara asalnya.
Saat ini hanya ada tiga belas rudenim yang tersebar di berbagai kota, di antaranya Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Denpasar, Makassar hingga Jayapura dengan total daya tampung antara 2.000 hingga 3.000 orang. Karena itu, belasan rumah detensi tak bisa menampung pencari suaka yang cukup banyak.
Ribuan orang-orang yang tidak beruntung mendapat tempat tinggal layak memilih tidur di trotoar jalan dengan tenda dan terpal.
Sulit Mendapatkan Pekerjaan
Pengungsi dan pencari suaka tidak diperbolehkan bekerja tanpa izin di Indonesia, khususnya Jakarta, sehingga mereka hidup dalam kesulitan ekonomi dan berbagai masalah kesehatan.
Larangan bekerja itu tertuang dalam 'Surat Pernyataan Pengungsi' yang mesti ditandatangani pengungsi bersertifikat UNHCR berdasarkan Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IM-1489.UM.0805 Tahun 2010.
Kesulitan mencari pekerjaan membuat mereka ingin segera diberangkatkan ke negara tujuan, yaitu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967, di antaranya Amerika Serikat dan Australia.
Konvensi ini merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Persoalan baru muncul, negara-negara ketiga yang menjadi tujuan orang-orang tersebut memperketat kebijakan penerimaan pengungsi dan pencari suaka akibat penurunan angka pemukiman kembali atau resettlement.
Mereka yang masih tertahan di negara transit Indonesia, namun enggan pulang ke negara asal, memilih bertahan dengan kondisi keuangan yang buruk.
"Kami tidak ingin dikembalikan ke negara kami, ratusan orang mati karena perang. Kami ingin ke Australia," kata Mohammed Mohsin, salah seorang pengungsi asal Afganistan.
Mereka Kerap Ditolak
Penampungan para pengungsi dan pencari suaka seringkali menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat, karena mereka menetap di community housing dan mendapat uang saku setiap bulan.
Warga terkadang merasa terganggu oleh aktivitas mereka yang duduk dan tidur di emperan pertokoan. Tak jarang warga membentangkan spanduk dan berunjukrasa menyampaikan penolakan terhadap keberadaan mereka.
Bahkan beberapa pemerintah daerah juga menolak menampung mereka lantaran disinyalir dapat menambah beban dan tanggung jawab baru.
Sebelumnya, Plt. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Fazasyah mengatakan UNHCR berkewajiban untuk mencarikan negara yang bersedia menampung status akhir dari para pengungsi dan pencari suaka tersebut.
Fazasyah menuturkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah daerah adalah membantu para pengungsi yang transit di Indonesia. Bantuan itu bersifat sementara dan berdasarkan asas kemanusiaan dan bukan kewajiban.
"Selama kita mampu kita berikan bantuan, tapi kita bukan negara yang berkewajiban," ujarnya.