Jakarta (ANTARA) - Hati tidak bisa dibohongi, begitu Lisa Thalia Natalia (39) memiliki prinsip, walau terlahir sebagai perempuan dari keluarga kurang mampu, hanya lulusan sekolah dasar, tidak membuatnya kalap mata, lalu menerima ajakan menikah di bawah tangan dari bosnya.
Viralnya kasus penangkapan tujuh pria kewarganegaraan Tiongkok yang menjadi calon pengantin kawin kontrak di wilayah Kalimantan Barat, mengingatkan Nata pada pengalaman hidup yang pernah dialaminya antara tahun 1990-1998.
Saat itu dirinya masih berstatus gadis belia usia 20 tahunan, merantau jauh dari kampung halaman, bekerja sebagai penjaga toko di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Barat.
Pemilik toko adalah pria asal Hong Kong yang sudah tinggal dan menikah dengan wanita keturunan Tionghoa asal Tangerang, Indonesia. Nata menjadi pegawai kepercayaan karena sikapnya yang jujur dan ulet bekerja.
"Bekerja dengan Chinese itu harus jujur, sekali kita bohongi mereka, mereka tidak akan mau percaya dan memperkerjakan kita lagi," kata Nata saat ditemui di Bogor, Sabtu.
Etika Nata bekerja inilah yang membuat bos prianya jatuh hati padanya. Apalagi Nata juga pandai masakan Hong Kong yang dipelajarinya dari Popo (ibu dari bos pria).
Selama bekerja, Nata dan teman-temannya tinggal di rumah bos yang menyediakan kamar untuk karyawan toko. Sehingga memungkinkan bagi Nata untuk melihat aktivitas sehari-hari pemilik rumah.
Jika tidak bekerja, kadang Nata suka membantu Popo memasak di dapur. Selama itulah ia mendapatkan resep-resep masakan ala Hong Kong yang membuatnya jago dalam memasak.
Pernah suatu ketika, pembantu rumah tangga terlambat datang, Nata berinisiatif memasak untuk keluarga bosnya. Saat itulah bosnya mencicipi masakannya. Lalu memujinya, karena rasanya yang enak dan khas masakan Hong Kong.
Nata menyadari kalau bosnya suka dengan dirinya, sering memberikan perhatian, dan kepercayaan lebih dibandingkan dengan karyawan lainnya. Usia mereka terpaut sekitar 20 tahunan.
Nata ingat persis omongan bosnya ketika mengajaknya untuk menjadi istri simpanannya. Bosnya berkata akan membukakan satu restoran untuk dia, tetapi semua itu harus dilakukan secara diam-diam tidak boleh diketahui oleh siapapun termasuk istri sahnya.
"Bos saya bilangnya gini, aku suka sama kamu, mau enggak aku bukain restoran kamu yang pegang, tapi diam-diam enggak boleh ketahuan orang lain, termasuk istrinya," kenang Nata yang kini memiliki usaha warteg dan gorengan di Kota Bogor.
Ajakan tersebut memang menggiurkan, tetapi Nata menolak dengan sopan. Alasannya karena hatinya tidak mau, karena hati tidak bisa dibohongi. Ia menganalogikan, rasa penolakan hatinya itu sama ketika seseorang berbelanja di wartegnya.
Orang tersebut tidak menyukai ikan tongkol, tetapi pemilik warteg menawarkan ikan tongkol untuk dimakan. Sama seperti itu rasanya, kalau tidak suka dan tidak nyaman mau diapakan, pasti menolak.
"Hidup bahagia bukan diukur dari harta, kalau sekarang kita banyak harta tapi hidup tidak bahagia, sama aja bohong, apalagi bahagia di atas penderitaan orang," kata Nata.
Dia tidak ingin mengakhiri masa gadisnya sebagai istri simpanan, apalagi sampai melukai hati istri bosnya yang sudah baik dan percaya dengannya. Hingga akhirnya dia menerima ajakan temannya bernama Mili untuk pindah dan tinggal di apartemen di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Cukup lama Nata menumpang tinggal dengan teman satu kampung yang telah menikah dengan pria asal Korea secara kontrak.
Ia mengetahui langsung rahasia itu dari pengungkapan temannya yang memperlihatkan foto pernikahan di bawah tangan yang dijalaninya, serta lembaran kontrak yang mereka sepakati bersama.
Nata mengatakan pernikahan kontrak itu disepakati tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah temannya bertugas sebagai istri pria Korea, melayaninya, membuatkannya makanan, mengurusi keperluannya, seperti halnya tugas istri pada umumnya.
Nata dan temannya mengenal pria Korea itu karena sering ketemu di kerjaan. Pria itu memiliki toko dekat tempat mereka bekerja, juga mengetahui pria itu memiliki istri dan keluarga di Korea.
"Tugasnya, ya, seperti istri biasanya, tapi ketika suaminya pulang ke Korea, dia (temannya) tidak boleh menghubungi suaminya itu. Hanya menjadi istri ketika suaminya ini ada di Indonesia," kata Nata.
Kehidupan pernikahan kontrak yang dijalani Mili sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh Nata dan teman-teman di lingkungannya bekerja. Pernikahan diam-diam itu berakhir bahagia setelah tiga tahun.
Mili kembali menikah secara resmi dengan pria Korea tersebut dan diketahui oleh orang tuanya. Nata pun diundang hadir dalam pernikahan resmi tersebut, yang berlangsung secara Islami. Dan kini Mili dianugerahi dua orang anak buah dari pernikahan resminya.
Fenomena kawin kontrak
Pakar ketahanan keluarga, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Euis Sunarti mengatakan kawin kontrak adalah fakta yang sudah lama ada yang muncul dan tenggelam menjadi fenomena di masyarakat karena hasil dari kesepakatan.
"Fenomena kawin kontrak di masyarakat karena hasil kesepakatan bersama, bukan karena paksaan," kata Euis.
Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen ini menjelaskan kesepakatan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki (pelaku kawin kontrak), bisa jadi di awal perempuan dirayu atau sedikit dipaksa, lalu timbul kesepakatan antara keduanya hingga akhirnya disetujui oleh perempuan.
Ia mengatakan kawin kontrak berbeda dengan nikah sirih atau nikah sah secara agama dan tidak bisa disamakan. "Nikah kontrak dan nikah sirih berbeda tidak bisa disamakan."
Ia mengatakan nikah kontrak menjadikan tujuan perkawinan berupa kontrak, kepentingan sesaat, tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan yang melandaskan pernikahan berdasarkan agama dan setelah itu catatan sipil.
Tujuan menikah dalam agama dan undang-undang adalah membentuk keluarga, memiliki anak, meneruskan keturunan, hubungan kasih sayang dan menyatukan dua keluarga. "Menikah secara sirih itu tujuan nikahnya seumur hidup, bukan sesaat, setahun, dua atau tiga tahun, habis itu cerai," kata Euis.
Dia menilai praktik kawin kontrak akan terus ada selama ada yang mau, karena secara manusiawi akan terus begitu. Agama menjadi pondasi kuat untuk mencegah adanya praktik tersebut.
Menurut Euis, orientasi menikah kontrak antara laki-laki dan perempuan berbeda. Orientasi laki-laki adalah seks, sedangkan perempuan karena seks dan materi.
Kejadian yang dialami Nata dan Mili boleh dikatakan beruntung, karena tidak semua kasus kawin kontrak yang berakhir bahagia seperti Mili. Juga, tidak banyak perempuan seperti Nata yang tegas menolak untuk menikah di bawah tangan karena alasan ekonomi.
Euis mengatakan belum tentu seseorang memutuskan menikah kontrak karena alasan miskin. Bisa jadi karena perempuan tersebut punya kegemaran ingin hidup mewah dan hidup baik (faktor ekonomi), sehingga tidak mementingkan status pernikahannya.
Alasan ekonomi menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan kontrak, perempuan bisa dinikahi tergiur karena dengan kesempatan bekerja, memperoleh pendapatan.
Tetapi sebagai warga negara yang menganut agama dan memiliki hak secara konstitusi yang legal, dapat memperhatikan setiap langkah dan tindakannya. Menikah secara kontrak tidak dibolehkan dalam agama, maupun perundang-udangan, sehingga jika seseorang mengikuti panduan agama, maka persoalan kawin kontrak tidak akan terjadi walau diiming-imingni kehidupan mewah.
"Kalau memang mau, minta dinikahkan secara sah, menjadi istri kedua," kata Euis.
Secara duniawi, lanjut Euis, nikah kontrak untung bagi perempuan karena terpenuhi kebutuhan secara materi. Tetapi rugi yang akan ditanggung oleh perempuan juga tidak sedikit.
Jika dalam perjalanan kontraknya memiliki anak, status anak tidak jelas, mengikuti kewarganegaraan siapa, jika suaminya pindah ke negara asalnya, anak akan menjadi anak siapa, serta tidak memiliki akte kelahiran.
Sah tidak sahnya pernikahan tersebut juga tidak jelas, karena tujuan pernikahan hanya sesaat atau sesuai kontrak. Status istri setelah kontrak selesai, apakah janda atau perawan juga dipertanyakan.
"Kalau wanita itu menikah lagi, lalu statusnya janda. Jandanya siapa, toh pernikahannya diam-diam," kata Euis.
Mengkhawatirkan
Praktik kawin kontrak yang tengah viral menimbulkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat terutama para ibu, kemunculan fenomena ini sebagai degradasi moral yang tengah terjadi, sehingga perlu upaya serius bersama yang melibatkan pemerintah juga masyarakat untuk mencegahnya.
"Dari kacamata seorang ibu, fenomena ini memprihatinkan, degradasi moral sebuah keniscayaan," kata Siti Natawati, advokat dari Kota Bogor, Jawa Barat.
Secara hukum, kata dia, kawin kontrak dapat merugikan pihak perempuan dan anak dari buah perkawinan berkala itu karena tidak memiliki kekuatan hukum baik secara konstitusi, status kewarganegaraannya tidak jelas, tidak diketahui punya hak waris atau tidak.
Ia mengatakan perlu perhatian khusus dari semua pihak, tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat untuk mencegah hal tersebut. Pemerintah juga perlu meluruskan perbedaan antara kawin kontrak dan nikah sirih yang sering dianggap sama oleh sejumlah kalangan.
Menurut Siti, nikah kontrak ada perjanjian batas waktu pernikahan yang disepakati dan ada nilai nominalnya. Sedangkan nikah sirih sah secara agama tidak ada perjanjian waktu.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.*
Viralnya kasus penangkapan tujuh pria kewarganegaraan Tiongkok yang menjadi calon pengantin kawin kontrak di wilayah Kalimantan Barat, mengingatkan Nata pada pengalaman hidup yang pernah dialaminya antara tahun 1990-1998.
Saat itu dirinya masih berstatus gadis belia usia 20 tahunan, merantau jauh dari kampung halaman, bekerja sebagai penjaga toko di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Barat.
Pemilik toko adalah pria asal Hong Kong yang sudah tinggal dan menikah dengan wanita keturunan Tionghoa asal Tangerang, Indonesia. Nata menjadi pegawai kepercayaan karena sikapnya yang jujur dan ulet bekerja.
"Bekerja dengan Chinese itu harus jujur, sekali kita bohongi mereka, mereka tidak akan mau percaya dan memperkerjakan kita lagi," kata Nata saat ditemui di Bogor, Sabtu.
Etika Nata bekerja inilah yang membuat bos prianya jatuh hati padanya. Apalagi Nata juga pandai masakan Hong Kong yang dipelajarinya dari Popo (ibu dari bos pria).
Selama bekerja, Nata dan teman-temannya tinggal di rumah bos yang menyediakan kamar untuk karyawan toko. Sehingga memungkinkan bagi Nata untuk melihat aktivitas sehari-hari pemilik rumah.
Jika tidak bekerja, kadang Nata suka membantu Popo memasak di dapur. Selama itulah ia mendapatkan resep-resep masakan ala Hong Kong yang membuatnya jago dalam memasak.
Pernah suatu ketika, pembantu rumah tangga terlambat datang, Nata berinisiatif memasak untuk keluarga bosnya. Saat itulah bosnya mencicipi masakannya. Lalu memujinya, karena rasanya yang enak dan khas masakan Hong Kong.
Nata menyadari kalau bosnya suka dengan dirinya, sering memberikan perhatian, dan kepercayaan lebih dibandingkan dengan karyawan lainnya. Usia mereka terpaut sekitar 20 tahunan.
Nata ingat persis omongan bosnya ketika mengajaknya untuk menjadi istri simpanannya. Bosnya berkata akan membukakan satu restoran untuk dia, tetapi semua itu harus dilakukan secara diam-diam tidak boleh diketahui oleh siapapun termasuk istri sahnya.
"Bos saya bilangnya gini, aku suka sama kamu, mau enggak aku bukain restoran kamu yang pegang, tapi diam-diam enggak boleh ketahuan orang lain, termasuk istrinya," kenang Nata yang kini memiliki usaha warteg dan gorengan di Kota Bogor.
Ajakan tersebut memang menggiurkan, tetapi Nata menolak dengan sopan. Alasannya karena hatinya tidak mau, karena hati tidak bisa dibohongi. Ia menganalogikan, rasa penolakan hatinya itu sama ketika seseorang berbelanja di wartegnya.
Orang tersebut tidak menyukai ikan tongkol, tetapi pemilik warteg menawarkan ikan tongkol untuk dimakan. Sama seperti itu rasanya, kalau tidak suka dan tidak nyaman mau diapakan, pasti menolak.
"Hidup bahagia bukan diukur dari harta, kalau sekarang kita banyak harta tapi hidup tidak bahagia, sama aja bohong, apalagi bahagia di atas penderitaan orang," kata Nata.
Dia tidak ingin mengakhiri masa gadisnya sebagai istri simpanan, apalagi sampai melukai hati istri bosnya yang sudah baik dan percaya dengannya. Hingga akhirnya dia menerima ajakan temannya bernama Mili untuk pindah dan tinggal di apartemen di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Cukup lama Nata menumpang tinggal dengan teman satu kampung yang telah menikah dengan pria asal Korea secara kontrak.
Ia mengetahui langsung rahasia itu dari pengungkapan temannya yang memperlihatkan foto pernikahan di bawah tangan yang dijalaninya, serta lembaran kontrak yang mereka sepakati bersama.
Nata mengatakan pernikahan kontrak itu disepakati tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah temannya bertugas sebagai istri pria Korea, melayaninya, membuatkannya makanan, mengurusi keperluannya, seperti halnya tugas istri pada umumnya.
Nata dan temannya mengenal pria Korea itu karena sering ketemu di kerjaan. Pria itu memiliki toko dekat tempat mereka bekerja, juga mengetahui pria itu memiliki istri dan keluarga di Korea.
"Tugasnya, ya, seperti istri biasanya, tapi ketika suaminya pulang ke Korea, dia (temannya) tidak boleh menghubungi suaminya itu. Hanya menjadi istri ketika suaminya ini ada di Indonesia," kata Nata.
Kehidupan pernikahan kontrak yang dijalani Mili sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh Nata dan teman-teman di lingkungannya bekerja. Pernikahan diam-diam itu berakhir bahagia setelah tiga tahun.
Mili kembali menikah secara resmi dengan pria Korea tersebut dan diketahui oleh orang tuanya. Nata pun diundang hadir dalam pernikahan resmi tersebut, yang berlangsung secara Islami. Dan kini Mili dianugerahi dua orang anak buah dari pernikahan resminya.
Fenomena kawin kontrak
Pakar ketahanan keluarga, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Euis Sunarti mengatakan kawin kontrak adalah fakta yang sudah lama ada yang muncul dan tenggelam menjadi fenomena di masyarakat karena hasil dari kesepakatan.
"Fenomena kawin kontrak di masyarakat karena hasil kesepakatan bersama, bukan karena paksaan," kata Euis.
Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen ini menjelaskan kesepakatan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki (pelaku kawin kontrak), bisa jadi di awal perempuan dirayu atau sedikit dipaksa, lalu timbul kesepakatan antara keduanya hingga akhirnya disetujui oleh perempuan.
Ia mengatakan kawin kontrak berbeda dengan nikah sirih atau nikah sah secara agama dan tidak bisa disamakan. "Nikah kontrak dan nikah sirih berbeda tidak bisa disamakan."
Ia mengatakan nikah kontrak menjadikan tujuan perkawinan berupa kontrak, kepentingan sesaat, tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan yang melandaskan pernikahan berdasarkan agama dan setelah itu catatan sipil.
Tujuan menikah dalam agama dan undang-undang adalah membentuk keluarga, memiliki anak, meneruskan keturunan, hubungan kasih sayang dan menyatukan dua keluarga. "Menikah secara sirih itu tujuan nikahnya seumur hidup, bukan sesaat, setahun, dua atau tiga tahun, habis itu cerai," kata Euis.
Dia menilai praktik kawin kontrak akan terus ada selama ada yang mau, karena secara manusiawi akan terus begitu. Agama menjadi pondasi kuat untuk mencegah adanya praktik tersebut.
Menurut Euis, orientasi menikah kontrak antara laki-laki dan perempuan berbeda. Orientasi laki-laki adalah seks, sedangkan perempuan karena seks dan materi.
Kejadian yang dialami Nata dan Mili boleh dikatakan beruntung, karena tidak semua kasus kawin kontrak yang berakhir bahagia seperti Mili. Juga, tidak banyak perempuan seperti Nata yang tegas menolak untuk menikah di bawah tangan karena alasan ekonomi.
Euis mengatakan belum tentu seseorang memutuskan menikah kontrak karena alasan miskin. Bisa jadi karena perempuan tersebut punya kegemaran ingin hidup mewah dan hidup baik (faktor ekonomi), sehingga tidak mementingkan status pernikahannya.
Alasan ekonomi menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan kontrak, perempuan bisa dinikahi tergiur karena dengan kesempatan bekerja, memperoleh pendapatan.
Tetapi sebagai warga negara yang menganut agama dan memiliki hak secara konstitusi yang legal, dapat memperhatikan setiap langkah dan tindakannya. Menikah secara kontrak tidak dibolehkan dalam agama, maupun perundang-udangan, sehingga jika seseorang mengikuti panduan agama, maka persoalan kawin kontrak tidak akan terjadi walau diiming-imingni kehidupan mewah.
"Kalau memang mau, minta dinikahkan secara sah, menjadi istri kedua," kata Euis.
Secara duniawi, lanjut Euis, nikah kontrak untung bagi perempuan karena terpenuhi kebutuhan secara materi. Tetapi rugi yang akan ditanggung oleh perempuan juga tidak sedikit.
Jika dalam perjalanan kontraknya memiliki anak, status anak tidak jelas, mengikuti kewarganegaraan siapa, jika suaminya pindah ke negara asalnya, anak akan menjadi anak siapa, serta tidak memiliki akte kelahiran.
Sah tidak sahnya pernikahan tersebut juga tidak jelas, karena tujuan pernikahan hanya sesaat atau sesuai kontrak. Status istri setelah kontrak selesai, apakah janda atau perawan juga dipertanyakan.
"Kalau wanita itu menikah lagi, lalu statusnya janda. Jandanya siapa, toh pernikahannya diam-diam," kata Euis.
Mengkhawatirkan
Praktik kawin kontrak yang tengah viral menimbulkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat terutama para ibu, kemunculan fenomena ini sebagai degradasi moral yang tengah terjadi, sehingga perlu upaya serius bersama yang melibatkan pemerintah juga masyarakat untuk mencegahnya.
"Dari kacamata seorang ibu, fenomena ini memprihatinkan, degradasi moral sebuah keniscayaan," kata Siti Natawati, advokat dari Kota Bogor, Jawa Barat.
Secara hukum, kata dia, kawin kontrak dapat merugikan pihak perempuan dan anak dari buah perkawinan berkala itu karena tidak memiliki kekuatan hukum baik secara konstitusi, status kewarganegaraannya tidak jelas, tidak diketahui punya hak waris atau tidak.
Ia mengatakan perlu perhatian khusus dari semua pihak, tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat untuk mencegah hal tersebut. Pemerintah juga perlu meluruskan perbedaan antara kawin kontrak dan nikah sirih yang sering dianggap sama oleh sejumlah kalangan.
Menurut Siti, nikah kontrak ada perjanjian batas waktu pernikahan yang disepakati dan ada nilai nominalnya. Sedangkan nikah sirih sah secara agama tidak ada perjanjian waktu.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.*