Bogor (ANTARA) - Pakar ketahanan keluarga, Ilmu Ketahanan Keluarga (IKK) IPB Prof Euis Sunarti mengatakan kawin kontrak adalah fakta yang sudah ada lama yang muncul dan tenggelam menjadi fenomena di masyarakat karena hasil dari kesepakatan.
"Fenomena kawin kontrak di masyarakat karena hasil kesepakatan bersama, bukan karena paksaan," kata Euis saat dihubungi Antara di Bogor, Sabtu.
Euis menjelaskan kesepakatan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki (pelaku kawin kontrak), bisa jadi di awal perempuan dirayu atau sedikit dipaksa, lalu timbul kesepakatan antara keduanya hingga akhirnya disetujui oleh perempuan.
Ia mengatakan kawin kontrak berbeda dengan nikah sirih atau nikah sah secara agama dan tidak bisa disamakan.
"Nikah kontrak dan nikah sirih berbeda tidak bisa disamakan," katanya.
Ia mengatakan nikah kontrak menjadikan tujuan perkawinan berupa kontrak, kepentingan sesaat, tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan yang melandaskan pernikahan berdasarkan agama dan setelah itu catatan sipil.
Tujuan menikah dalam agama dan undang-undang adalah membentuk keluarga, memiliki anak, meneruskan keturunan, hubungan kasih sayang dan menyatukan dua keluarga.
"Menikah secara sirih itu tujuan nikahnya seumur hidup, bukan sesaat, setahun, dua atau tiga tahun, habis itu cerai," kata Euis.
Euis menilai, praktik kawin kontrak akan terus ada selama ada yang mau, karena secara manusiawi akan terus begitu. Agama menjadi pondasi kuat untuk mencegah adanya praktik tersebut.
Pengalaman pernah diajak kawin kontrak pernah dirasakan oleh Nata (39) perempuan asal Lampung yang kini berdomisili di Kota Bogor.
Ibu satu anak ini mengatakan pernah diajak kawin kontrak (kawin diam-diam) pria asal Hong Kong yang menjadi bos tempatnya bekerja pada tahun 1998. Saat itu Nata bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Barat.
"Bos saya cuma bilang gini, aku suka sama kamu, mau enggak aku bukain restoran kamu yang pegang, tapi diam-diam enggak boleh ketahuan orang lain, termasuk istrinya," kata Nata.
Nata juga punya pengalaman tinggal satu apartemen dengan temannya yang nikah secara kontrak dengan pria asal Korea yang telah menikah. Nilai kontraknya sebesar Rp10 juta selama tiga tahun.
Berbeda dengan praktik nikah kontrak di Kalimantan Barat yang melibatkan tujuh pria asal Tiongkok.
Nata dan temannya diajak menikah tidak melalui perantara, tetapi saling kenal dan ada rasa suka. Seperti halnya teman Nata, setelah kawin kontrak selama tiga tahun memutuskan untuk melanjutkan pernikahan secara resmi di kantor catatan sipil.
"Ruginya nikah kontrak itu, kalau dapat laki-laki yang berpenyakit kan kita (perempuan-red) yang rugi," kata Nata sembari menambahkan "Kalau teman saya itu beruntung, diannya memang baik, menikah bukan karena harta, jadi suaminya senang dan melanjutkan hidup tinggal di Indonesia," kata Nata.
"Fenomena kawin kontrak di masyarakat karena hasil kesepakatan bersama, bukan karena paksaan," kata Euis saat dihubungi Antara di Bogor, Sabtu.
Euis menjelaskan kesepakatan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki (pelaku kawin kontrak), bisa jadi di awal perempuan dirayu atau sedikit dipaksa, lalu timbul kesepakatan antara keduanya hingga akhirnya disetujui oleh perempuan.
Ia mengatakan kawin kontrak berbeda dengan nikah sirih atau nikah sah secara agama dan tidak bisa disamakan.
"Nikah kontrak dan nikah sirih berbeda tidak bisa disamakan," katanya.
Ia mengatakan nikah kontrak menjadikan tujuan perkawinan berupa kontrak, kepentingan sesaat, tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan yang melandaskan pernikahan berdasarkan agama dan setelah itu catatan sipil.
Tujuan menikah dalam agama dan undang-undang adalah membentuk keluarga, memiliki anak, meneruskan keturunan, hubungan kasih sayang dan menyatukan dua keluarga.
"Menikah secara sirih itu tujuan nikahnya seumur hidup, bukan sesaat, setahun, dua atau tiga tahun, habis itu cerai," kata Euis.
Euis menilai, praktik kawin kontrak akan terus ada selama ada yang mau, karena secara manusiawi akan terus begitu. Agama menjadi pondasi kuat untuk mencegah adanya praktik tersebut.
Pengalaman pernah diajak kawin kontrak pernah dirasakan oleh Nata (39) perempuan asal Lampung yang kini berdomisili di Kota Bogor.
Ibu satu anak ini mengatakan pernah diajak kawin kontrak (kawin diam-diam) pria asal Hong Kong yang menjadi bos tempatnya bekerja pada tahun 1998. Saat itu Nata bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Barat.
"Bos saya cuma bilang gini, aku suka sama kamu, mau enggak aku bukain restoran kamu yang pegang, tapi diam-diam enggak boleh ketahuan orang lain, termasuk istrinya," kata Nata.
Nata juga punya pengalaman tinggal satu apartemen dengan temannya yang nikah secara kontrak dengan pria asal Korea yang telah menikah. Nilai kontraknya sebesar Rp10 juta selama tiga tahun.
Berbeda dengan praktik nikah kontrak di Kalimantan Barat yang melibatkan tujuh pria asal Tiongkok.
Nata dan temannya diajak menikah tidak melalui perantara, tetapi saling kenal dan ada rasa suka. Seperti halnya teman Nata, setelah kawin kontrak selama tiga tahun memutuskan untuk melanjutkan pernikahan secara resmi di kantor catatan sipil.
"Ruginya nikah kontrak itu, kalau dapat laki-laki yang berpenyakit kan kita (perempuan-red) yang rugi," kata Nata sembari menambahkan "Kalau teman saya itu beruntung, diannya memang baik, menikah bukan karena harta, jadi suaminya senang dan melanjutkan hidup tinggal di Indonesia," kata Nata.