Jakarta (ANTARA) - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antarariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan pengembangan pesawat N219 makin mendorong industri dalam negeri untuk memasok komponen-komponen pembuatan pesawat.
"Pesawat N219 ditargetkan tahun ini selesai sertifikasinya, supaya tahun depan bisa masuk produksi. Sementara jam terbang yang ditargetkan sekitar 340 jam terbang, Saat ini sebagian sudah dilakukan, mudah-mudahan target itu bisa tercapai," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Sabtu.
Di samping pengembangan pesawat N219, pesawat N219 Amfibi juga sudah mulai dikembangkan. Jika tidak segera dikembangkan, kebutuhan dalam negeri akan direbut oleh pihak asing yang memasok pesawat asing.
"Pesawat N219 Amfibi juga sudah dimulai karena kalau tidak segera dimulai kita bisa terlambat karena Indonesia juga membutuhkan untuk destinasi wisata tertentu untuk penerbangan yang di sana tidak ada landasan sehingga perlu pesawat amfibi kalau pihak kita belum siap maka nanti bisa masuk pesawat asing, karenanya itu (pesawat amfibi, red.) juga harus segera diselesaikan," ujarnya.
Saat ini, pesawat N219 sedang dalam tahap sertifikasi untuk memastikan nantinya keandalan dan keberfungsian dalam operasional pesawat.
"Proses sertifikasi untuk sesuatu yang memang dalam pengembangan itu wajar aja ketika dalam pengujian-pengujian dijumpai masih ada yang harus disempurnakan," katanya.
Dalam proses pengembangan, katanya, ada yang harus ditingkatkan lagi setelah melalui proses pengujian.
Dari diskusi dengan industri pesawat internasional, Thomas mendapat informasi bahwa jangka waktu 3-4 tahun merupakan waktu yang terlalu pendek untuk proses pengembangan sampai sertifikasi.
Namun, Lapan optimistis mencapai target percepatan pengembangan pesawat N219.
"Kami membina juga industri komponen yang nantinya akan mendukung untuk TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dari pesawat N219, seperti industri untuk kaca, untuk 'landing gear', diupayakan dari industri dalam negeri," ujarnya.
Purwarupa Pertama Pesawat N219 itu memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan minimum 59 knot sehingga dengan kecepatan rendah pun pesawat masih bisa terkontrol. Hal itu, penting terutama saat memasuki wilayah yang bertebing dan pegunungan.
"Pesawat N219 ditargetkan tahun ini selesai sertifikasinya, supaya tahun depan bisa masuk produksi. Sementara jam terbang yang ditargetkan sekitar 340 jam terbang, Saat ini sebagian sudah dilakukan, mudah-mudahan target itu bisa tercapai," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Sabtu.
Di samping pengembangan pesawat N219, pesawat N219 Amfibi juga sudah mulai dikembangkan. Jika tidak segera dikembangkan, kebutuhan dalam negeri akan direbut oleh pihak asing yang memasok pesawat asing.
"Pesawat N219 Amfibi juga sudah dimulai karena kalau tidak segera dimulai kita bisa terlambat karena Indonesia juga membutuhkan untuk destinasi wisata tertentu untuk penerbangan yang di sana tidak ada landasan sehingga perlu pesawat amfibi kalau pihak kita belum siap maka nanti bisa masuk pesawat asing, karenanya itu (pesawat amfibi, red.) juga harus segera diselesaikan," ujarnya.
Saat ini, pesawat N219 sedang dalam tahap sertifikasi untuk memastikan nantinya keandalan dan keberfungsian dalam operasional pesawat.
"Proses sertifikasi untuk sesuatu yang memang dalam pengembangan itu wajar aja ketika dalam pengujian-pengujian dijumpai masih ada yang harus disempurnakan," katanya.
Dalam proses pengembangan, katanya, ada yang harus ditingkatkan lagi setelah melalui proses pengujian.
Dari diskusi dengan industri pesawat internasional, Thomas mendapat informasi bahwa jangka waktu 3-4 tahun merupakan waktu yang terlalu pendek untuk proses pengembangan sampai sertifikasi.
Namun, Lapan optimistis mencapai target percepatan pengembangan pesawat N219.
"Kami membina juga industri komponen yang nantinya akan mendukung untuk TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dari pesawat N219, seperti industri untuk kaca, untuk 'landing gear', diupayakan dari industri dalam negeri," ujarnya.
Purwarupa Pertama Pesawat N219 itu memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan minimum 59 knot sehingga dengan kecepatan rendah pun pesawat masih bisa terkontrol. Hal itu, penting terutama saat memasuki wilayah yang bertebing dan pegunungan.