Muntok, Babel (ANTARA) - Pemerhati budaya dan sejarah Tionghoa di Muntok, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Suwito Wu mengatakan tradisi "ceng beng" atau ziarah kubur bagi warga keturunan Tionghoa bertujuan mempererat tali silaturahim antaranggota keluarga.
"Selain mengenang dan memuliakan orang tua atau leluhur yang sudah meninggal dunia, tradisi ini juga sebagai sarana berkumpulnya saudara, kerabat dan anak-anak para warga keturunan, meskipun sudah berbeda agama dan keyakinan," kata Ketua Komunitas Heritage Tionghoa Bangka, Suwito Wu di Muntok, Kamis.
Menurut dia, perbedaan agama dan keyakinan yang dianut dalam satu keluarga besar bukan suatu penghalang untuk berkumpul dan bersilaturahim saat perayaan "ceng beng".
"Justru melalui tradisi itu mereka dipersatukan, bahkan keluarga, saudara dan kerabat yang dari luar negeri juga sering menyempatkan diri pulang memuliakan leluhurnya saat digelar ceng beng," ujarnya.
Puncak ceng beng jatuh pada setiap 5 April, tetapi sudah diperingati masyarakat keturunan Tionghoa sekitar dua minggu sebelumnya karena prosesi tradisi tersebut tidak hanya sekedar berdoa, namun juga termasuk membersihkan dan mempercantik makam leluhurnya.
"Ceng Beng merupakan satu-satunya momentum untuk mengunjungi makam leluhur dan berdoa," ujarnya.
Ia menjelaskan, tradisi "ceng beng" di Bangka dikenal juga dengan nama "chin min" dari kata "chin" yang berarti bersih dan "ming" memiliki arti cerah, menandakan musim panas akan segera datang dan waktunya berkunjung mengenang leluhur.
Pada tradisi itu, biasanya anggota keluarga akan membersihkan makam sebelum waktu kunjungan, para anak diwajibkan membersihkan sendiri makam leluhurnya.
"Namun karena pergeseran zaman, saat ini sudah banyak keluarga yang menggunakan jasa pembersih kuburan leluhur, sehingga kehilangan makna 'chinmin' itu sendiri," katanya.
Di hari kunjungan, sejak subuh sebelum matahari terbit para peziarah sudah harus tiba di makam dan menata jamuan untuk leluhur berupa nasi, samsang atau daging hewan tiga alam yang berasal dari laut, darat, udara, ada juga lauk pauk, teh, arak, buah-buahan dan kue sebagai simbol pelayanan terhadap leluhur yang telah tiada.
Pada prosesi itu mereka juga wajib membawa "kim ci" atau kertas sembahyang dan uang-uangan berbahan kertas yang akan dibakar untuk membekali para arwah di alam baja menurut kepercayaan.
"Peziarah juga menempelkan satu per satu kertas sembahyang di pusaran makam yang dipercaya sebagai simbol penambal pusaran makam, namun ada juga yang menilai menempelkan kertas sebagai penanda makam tersebut telah disembahyangi," katanya.
"Selain mengenang dan memuliakan orang tua atau leluhur yang sudah meninggal dunia, tradisi ini juga sebagai sarana berkumpulnya saudara, kerabat dan anak-anak para warga keturunan, meskipun sudah berbeda agama dan keyakinan," kata Ketua Komunitas Heritage Tionghoa Bangka, Suwito Wu di Muntok, Kamis.
Menurut dia, perbedaan agama dan keyakinan yang dianut dalam satu keluarga besar bukan suatu penghalang untuk berkumpul dan bersilaturahim saat perayaan "ceng beng".
"Justru melalui tradisi itu mereka dipersatukan, bahkan keluarga, saudara dan kerabat yang dari luar negeri juga sering menyempatkan diri pulang memuliakan leluhurnya saat digelar ceng beng," ujarnya.
Puncak ceng beng jatuh pada setiap 5 April, tetapi sudah diperingati masyarakat keturunan Tionghoa sekitar dua minggu sebelumnya karena prosesi tradisi tersebut tidak hanya sekedar berdoa, namun juga termasuk membersihkan dan mempercantik makam leluhurnya.
"Ceng Beng merupakan satu-satunya momentum untuk mengunjungi makam leluhur dan berdoa," ujarnya.
Ia menjelaskan, tradisi "ceng beng" di Bangka dikenal juga dengan nama "chin min" dari kata "chin" yang berarti bersih dan "ming" memiliki arti cerah, menandakan musim panas akan segera datang dan waktunya berkunjung mengenang leluhur.
Pada tradisi itu, biasanya anggota keluarga akan membersihkan makam sebelum waktu kunjungan, para anak diwajibkan membersihkan sendiri makam leluhurnya.
"Namun karena pergeseran zaman, saat ini sudah banyak keluarga yang menggunakan jasa pembersih kuburan leluhur, sehingga kehilangan makna 'chinmin' itu sendiri," katanya.
Di hari kunjungan, sejak subuh sebelum matahari terbit para peziarah sudah harus tiba di makam dan menata jamuan untuk leluhur berupa nasi, samsang atau daging hewan tiga alam yang berasal dari laut, darat, udara, ada juga lauk pauk, teh, arak, buah-buahan dan kue sebagai simbol pelayanan terhadap leluhur yang telah tiada.
Pada prosesi itu mereka juga wajib membawa "kim ci" atau kertas sembahyang dan uang-uangan berbahan kertas yang akan dibakar untuk membekali para arwah di alam baja menurut kepercayaan.
"Peziarah juga menempelkan satu per satu kertas sembahyang di pusaran makam yang dipercaya sebagai simbol penambal pusaran makam, namun ada juga yang menilai menempelkan kertas sebagai penanda makam tersebut telah disembahyangi," katanya.