Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mengaku ingin merasakan kondisi sebenarnya saat berdesakan di Kereta Rel Listrik (KRL) relasi Jakarta-Bogor sehingga memutuskan untuk menaiki KRL pada Rabu (6/3).
"Ya tujuannya untuk melihat kondisi yang sebenarnya dan kita betul-betul merasakan kondisi sebenarnya, mau bergerak saja tidak bisa terutama yang dari Jakarta ke Depok itu mau bergerak saja tidak bisa," kata Presiden Joko Widodo kepada wartawan di Lampung Selatan pada Jumat.
Presiden Joko Widodo menumpang KRL commuter line pada Rabu (6/3) saat hendak pulang ke kediamannya, Wisma Bayurini, Istana Kepresidenan Bogor, Kota Bogor. Presiden naik dari Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, sekitar pukul 17.30 WIB seusai memberi arahan pada pemberian Program Keluarga Harapan (PKH) di GOR Bulungan Jakarta Selatan.
"Saya kan tidak sekali dua kali naik KRL hanya saya naiknya pasti siang atau pukul 10.00 atau 14.00, jadi pada posisi yang tidak banyak yang naik agak ramai tapi sepi, masih bisa duduk," ungkap Presiden.
Presiden lalu menerima masukan bila ingin mencoba menaiki KRL agar mencoba pada waktu-waktu sibuk.
"Ada yang menyampaikan kepada saya 'Pak kalau mau nyoba KRL itu naik pukul 06.00 sampai jam 08.00 pagi dan kalau sore itu pukul 16.00 sampai 18.00, ya itu dadakan saja kemarin pas acara ada menyampaikan itu dadakan saja sudah langsung loncat naik di Tanjung Barat, di dekat Lenteng Agung," jelas Presiden.
Dalam gerbong tersebut, Presiden pun sempat berdialog dengan masyarakat yang sama-sama menumpang KRL commuter line.
"Oleh sebab itu di dalam gerbong pun banyak yang menyampaikan kepada saya 'Pak tambah keretanya Pak, atau Pak tambah gerbongnya Pak' dan ketemu artinya memang harus tambah gerbong atau tambah kereta," ungkap Presiden.
Namun bila terjadi penambahan gerbong KRL, maka akan banyak persimpangan kereta yang juga harus semakin sering menutup pintu persimpangannya.
"Problemnya kalau tambah kereta berarti akan banyak simpangan yang tutup terus, sudah 10 menit sekarang kalau dijadikan 5 menit berarti kan palang kereta apinya hanya 5 menit begini begini terus. Oleh sebab itu pekerjaan besar di Jakarta saya adalah kereta yang 'elevated'. Itu saja memang biaya besar tapi tidak ada jalan lain selain itu sehingga 'headway' bisa diatur," jelas Presiden.
Itulah sebabnya Presiden Jokowi menekankan pembangunan transportasi massal seperti mass rapid transport (MRT) maupun light rapid transport (LRT) di Jakarta.
"DKI Jakarta itu transportasi massalnya sudah terlambat. Ya tadi pas jam-jam seperti itu coba mau Goyang 1 senti saja tidak bisa. Kita bisa agak longgar itupun masih berdiri setelah dari Depok menuju Bogor yang turun sudah agak banyak," ungkap Presiden.
"Ya tujuannya untuk melihat kondisi yang sebenarnya dan kita betul-betul merasakan kondisi sebenarnya, mau bergerak saja tidak bisa terutama yang dari Jakarta ke Depok itu mau bergerak saja tidak bisa," kata Presiden Joko Widodo kepada wartawan di Lampung Selatan pada Jumat.
Presiden Joko Widodo menumpang KRL commuter line pada Rabu (6/3) saat hendak pulang ke kediamannya, Wisma Bayurini, Istana Kepresidenan Bogor, Kota Bogor. Presiden naik dari Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, sekitar pukul 17.30 WIB seusai memberi arahan pada pemberian Program Keluarga Harapan (PKH) di GOR Bulungan Jakarta Selatan.
"Saya kan tidak sekali dua kali naik KRL hanya saya naiknya pasti siang atau pukul 10.00 atau 14.00, jadi pada posisi yang tidak banyak yang naik agak ramai tapi sepi, masih bisa duduk," ungkap Presiden.
Presiden lalu menerima masukan bila ingin mencoba menaiki KRL agar mencoba pada waktu-waktu sibuk.
"Ada yang menyampaikan kepada saya 'Pak kalau mau nyoba KRL itu naik pukul 06.00 sampai jam 08.00 pagi dan kalau sore itu pukul 16.00 sampai 18.00, ya itu dadakan saja kemarin pas acara ada menyampaikan itu dadakan saja sudah langsung loncat naik di Tanjung Barat, di dekat Lenteng Agung," jelas Presiden.
Dalam gerbong tersebut, Presiden pun sempat berdialog dengan masyarakat yang sama-sama menumpang KRL commuter line.
"Oleh sebab itu di dalam gerbong pun banyak yang menyampaikan kepada saya 'Pak tambah keretanya Pak, atau Pak tambah gerbongnya Pak' dan ketemu artinya memang harus tambah gerbong atau tambah kereta," ungkap Presiden.
Namun bila terjadi penambahan gerbong KRL, maka akan banyak persimpangan kereta yang juga harus semakin sering menutup pintu persimpangannya.
"Problemnya kalau tambah kereta berarti akan banyak simpangan yang tutup terus, sudah 10 menit sekarang kalau dijadikan 5 menit berarti kan palang kereta apinya hanya 5 menit begini begini terus. Oleh sebab itu pekerjaan besar di Jakarta saya adalah kereta yang 'elevated'. Itu saja memang biaya besar tapi tidak ada jalan lain selain itu sehingga 'headway' bisa diatur," jelas Presiden.
Itulah sebabnya Presiden Jokowi menekankan pembangunan transportasi massal seperti mass rapid transport (MRT) maupun light rapid transport (LRT) di Jakarta.
"DKI Jakarta itu transportasi massalnya sudah terlambat. Ya tadi pas jam-jam seperti itu coba mau Goyang 1 senti saja tidak bisa. Kita bisa agak longgar itupun masih berdiri setelah dari Depok menuju Bogor yang turun sudah agak banyak," ungkap Presiden.