Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Terkadang masyarakat masih suka menggampangkan aktivitas memasukkan berbagai spesies tumbuhan atau binatang yang sebenarnya bukanlah berasal dari daerah lokal di Republik Indonesia.
Padahal, bisa saja spesies yang masuk tersebut termasuk spesies invasif yang bisa membahayakan kondisi ekosistem di berbagai wilayah.
Salah satu contohnya adalah ikan arapaima, di mana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat menyosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat terkait dengan bahayanya memasukkan hingga membudidayakan ikan arapaima di kawasan perairan nasional.
"Peristiwa (ikan arapaima) ini harus disosialisasikan atau dikampanyekan kepada masyarakat, banyak yang tidak tahu apa itu ikan arapaima dan mengapa tidak boleh dilepasliarkan," kata Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta, Kamis (28/6).
Sebagaimana dikutip dari ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Arapaima, pirarucu, atau paiche (Arapaima gigas) adalah jenis ikan air tawar terbesar di dunia yang berasal dari perairan daerah tropis Amerika Selatan.
Selain itu, dinyatakan bahwa saat ini sudah sangat jarang terdapat arapaima yang berukuran lebih dari 2 meter karena ikan ini sering ditangkapi untuk dikonsumsi penduduk atau diekspor ke negara lain.
Menurut Susi, dirinya mencemaskan adanya berbagai pihak yang memelihara ikan arapaima secara hobi yang pertama-tama mereka senang, tetapi kemudian karena berbagai alasan seperti malas dikasih makan atau tidak tega mematikannya akhirnya dilepas begitu saja ke sungai-sungai di wilayah Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa panjang ikan arapaima bisa hingga 1-2 meter dan bila ikan tersebut lapar bisa menyantap banyak ikan lokal.
Untuk itu, pihak Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP bersama pihak lainnya seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) diharapkan dapat menjerat pelaku pelepasan dan pemelihara ikan arapaima.
Bila tidak, lanjutnya, maka sumber daya ikan hayati lokal bisa habis karena dimakan oleh ikan predator tersebut.
Ia juga mengingingkan agar setelah diproses hukum, barang bukti dari spesies invasif itu tidak boleh menunggu lama untuk dimusnahkan agar ke depannya tidak pindah tangan atau diperjualbelikan.
Menteri Susi juga menginginkan agar sosialisasi dapat digencarkan seperti ke bea cukai dan bandara agar dapat dipasang "banner" mengenai ini.
Karakteristik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah memaparkan berbagai karakteristik dari ikan arapaima gisas yang merupakan jenis ikan air tawar terbesar di dunia dari perairan daerah tropis Amerika Selatan, yang berbahaya bila dibudidayakan di Indonesia.
Kepala BKIPM KKP Rina memaparkan, habitat asli spesies ini berasal dari sungai Amazon yang mempunyai iklim tropis, sehingga penyebarannya ada pada daerah iklim tropis, seperti Indonesia, Australia bagian utara, Papua Nugini, Amerika Selatan.
Dengan demikian, peluang penyebaran di Indonesia cukup tinggi karena pada prinsipnya penyebaran secara alami bisa terjadi pada daerah yang beriklim sama dengan habitat aslinya, padahal keseluruhan spesies arapaima tersebut bersifat invasif.
Selain itu, arapaima gigas juga adalah jenis ikan predator yang bisa memakan hampir semua hewan yang bisa ditelan, terutama ikan yang berukuran kecil dan hewan-hewan lain yang ada di permukaan air.
Arapaima gigas termasuk ikan bersifat kompetitor, yang berarti mereka bersaing dengan jenis ikan lain untuk mendapatkan makanan, terutama memangsa ikan yang lebih kecil.
Disebut bersifat karnivora, makanan utama ikan arapaima adalah ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil, meskipun terkadang ikan tersebut bisa memakan unggas, katak atau serangga yang berada di dekat permukaan air.
Arapaima gigas juga dikenal sebagai pembawa parasit golongan protozoa, serta dapat melukai manusia pada saat ditangkap ukuran tubuhnya yang raksasa, di mana saat dewasa bisa mencapai sekitar 2 meter atau lebih dengan berat tubuh sekitar 200 kilogram.
KKP juga dilaporkan telah memperkuat upaya dalam rangka mengendalikan spesies asing yang invasif masuk ke wilayah Indonesia.
Koordinasi Rina mencontohkan, rapat koordinasi bersama instansi terkait membahas jenis asing invasif, database dan cara pengendalian telah dilakukan sejak tahun 2011.
Ia memaparkan, pada awalnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2009 tentang Larangan Pemasukan Beberapa Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia hanya terdiri atas 30 jenis ikan.
Melalui penyusunan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41/2014, maka kini telah terdapat 152 jenis ikan yang dilarang, yang terdiri atas 97 jenis pisces (ikan), 14 jenis crustacea (udang-udangan), 30 jenis mollusca (hewan lunak), dan 11 jenis amfibi.
Namun, permen ini hanya mengatur larangan pemasukan jenis spesies asing invasif ke dalam wilayah NKRI, sedangkan inisiasi refisi pada tahun 2017 ini menambahkan pengaturan tentang larangan mengedarkan antararea di dalam wilayah negara RI, larangan memelihara dan mengeluarkan jenis ikan berbahaya dari wilayah negara RI.
KKP juga telah menggelar berbagai seminar atau lokakarya nasional dan internasional tentang spesies asing invasif, serta penyusunan Buku Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif.
Strategi Nasional Jenis Asing Invasif tersebut disusun dengan melibatkan Kementerian Kehutanan, Badan Karantina Tumbuhan dan Hewan Kementerian Pertanian, Pusat Karantina Ikan KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain itu, juga telah dibuat pemetaan jenis ikan berbahaya, pembuatan sistem informasi spesies asing invasif, serta pengembangan sistem aplikasi jenis ikan yang dilindungi, dilarang, dan bersifat invasif.
Sejak beberapa tahun lalu juga telah dilakukan data pemusnahan jenis ikan invasif, seperti ikan arapaima sebanyak dua ekor dari Singapura di BBKIPM Jakarta I tahun 2017.
Kemudian, ada pula ikan piranha sebanyak lima ekor melalui Balai KIPM Surabaya I tahun 2017, serta 50 ekor ikan louhan dari Thailand melalui BBKIPM Jakarta I pada tahun yang sama.
Selanjutnya, ada pula penyerahan jenis ikan berbahaya spesies asing invasif dari masyarakat, seperti berupa ikan aligator sebanyak 10 ekor, ikan piranha sebanyak tujuh ekor, dan ikan sapu-sapu sebanyak tiga ekor ke Stasiun KIPM Bandung.
Sukarela Sebagaimana diwartakan, sosialisasi yang dilakukan KKP dan berbagai pihak terkait juga telah berdampak positif.
Misalnya, beberapa warga Yogyakarta dan Jambi secara sukarela menyerahkan ikan spesies invasif ke Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) setempat.
Kepala SKIPM Yogyakarta Hafit Rahman dalam rilis BKIPM KKP menyatakan telah menerima sebanyak lima ekor ikan predator di posko penyerahan ikan invasif dan berbahaya.
Hafit Rahman memaparkan, ikan tersebut berjenis alligator yang termasuk jenis ikan terlarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 41 tahun 2014.
"Sudah ada lima ekor yang diserahkan secara sukarela oleh warga. Jadi yang memelihara tanpa izin resmi, kami kasih waktu sampai akhir bulan ini," katanya.
Menurut Hafit, penyerahan ikan invasif ini merupakan bentuk dukungan terhadap lingkungan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Ia mengingatkan bahwa ikan invasif tidak boleh dibiarkan lepas di perairan darat seperti sungai, telaga, danau, dan sejenisnya sebab merupakan ikan predator yang pemakan segala.
Jika dibiarkan, lanjutnya, keberadaannya dapat mengancam keberlangsungan jenis-jenis ikan dan hewan lainnya. Sedangkan bila ingin dipelihara, harus ada izinnya dan hanya diperbolehkan untuk penelitian atau edukasi.
Hafit menambahkan, tak hanya dengan membuka posko penyerahan, ke depan petugas juga akan melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat.
Di lokasi lainnya, SKIPM juga Jambi menerima seekor ikan alligator berukuran panjang 50 cm dengan berat tiga kilogram, dari seorang warga pada Rabu (4/7).
Penyerahan dilakukan setelah dilakukan sosialisasi oleh pegawai SKIPM Jambi ke beberapa akuarium, terkait larangan ikan predator dan invasif yang dilarang oleh pemerintah.
SKIPM Jambi telah membuka posko penyerahan ikan predator seperti arapaima, alligator, piranha, dan ikan dilarang lainnya. Pendirian Posko Penyerahan Ikan Berbahaya/Invasif ini dilakukan di seluruh Indonesia termasuk di Jambi sebagai tindak lanjut adanya pelepasan ikan predator arapaima di Sungai Brantas yang mengancam ekosistem ikan lokal.
Selain mendirikan posko, SKIPM Jambi juga turun langsung ke masyarakat untuk menyosialisasikan tentang ikan-ikan yang berbahaya dan buas dengan mendatangi sentra-sentra penjualan ikan hias dan eksotis yang ada di Kota Jambi.
SKIPM Padang juga dilaporkan telah menerima 14 ekor ikan invasif/berbahaya dari Komunitas Ikan Predator Minang (KIPMI).
Kepala SKIPM Padang Rudi Barmara mengungkapkan, setelah habis batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk menyerahkan secara sukarela, yakni pada 31 Juli 2018 nanti, maka pada Agustus 2018, BKIPM akan membentuk tim untuk turun ke lapangan.
Padahal, bisa saja spesies yang masuk tersebut termasuk spesies invasif yang bisa membahayakan kondisi ekosistem di berbagai wilayah.
Salah satu contohnya adalah ikan arapaima, di mana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat menyosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat terkait dengan bahayanya memasukkan hingga membudidayakan ikan arapaima di kawasan perairan nasional.
"Peristiwa (ikan arapaima) ini harus disosialisasikan atau dikampanyekan kepada masyarakat, banyak yang tidak tahu apa itu ikan arapaima dan mengapa tidak boleh dilepasliarkan," kata Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta, Kamis (28/6).
Sebagaimana dikutip dari ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Arapaima, pirarucu, atau paiche (Arapaima gigas) adalah jenis ikan air tawar terbesar di dunia yang berasal dari perairan daerah tropis Amerika Selatan.
Selain itu, dinyatakan bahwa saat ini sudah sangat jarang terdapat arapaima yang berukuran lebih dari 2 meter karena ikan ini sering ditangkapi untuk dikonsumsi penduduk atau diekspor ke negara lain.
Menurut Susi, dirinya mencemaskan adanya berbagai pihak yang memelihara ikan arapaima secara hobi yang pertama-tama mereka senang, tetapi kemudian karena berbagai alasan seperti malas dikasih makan atau tidak tega mematikannya akhirnya dilepas begitu saja ke sungai-sungai di wilayah Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa panjang ikan arapaima bisa hingga 1-2 meter dan bila ikan tersebut lapar bisa menyantap banyak ikan lokal.
Untuk itu, pihak Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP bersama pihak lainnya seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) diharapkan dapat menjerat pelaku pelepasan dan pemelihara ikan arapaima.
Bila tidak, lanjutnya, maka sumber daya ikan hayati lokal bisa habis karena dimakan oleh ikan predator tersebut.
Ia juga mengingingkan agar setelah diproses hukum, barang bukti dari spesies invasif itu tidak boleh menunggu lama untuk dimusnahkan agar ke depannya tidak pindah tangan atau diperjualbelikan.
Menteri Susi juga menginginkan agar sosialisasi dapat digencarkan seperti ke bea cukai dan bandara agar dapat dipasang "banner" mengenai ini.
Karakteristik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah memaparkan berbagai karakteristik dari ikan arapaima gisas yang merupakan jenis ikan air tawar terbesar di dunia dari perairan daerah tropis Amerika Selatan, yang berbahaya bila dibudidayakan di Indonesia.
Kepala BKIPM KKP Rina memaparkan, habitat asli spesies ini berasal dari sungai Amazon yang mempunyai iklim tropis, sehingga penyebarannya ada pada daerah iklim tropis, seperti Indonesia, Australia bagian utara, Papua Nugini, Amerika Selatan.
Dengan demikian, peluang penyebaran di Indonesia cukup tinggi karena pada prinsipnya penyebaran secara alami bisa terjadi pada daerah yang beriklim sama dengan habitat aslinya, padahal keseluruhan spesies arapaima tersebut bersifat invasif.
Selain itu, arapaima gigas juga adalah jenis ikan predator yang bisa memakan hampir semua hewan yang bisa ditelan, terutama ikan yang berukuran kecil dan hewan-hewan lain yang ada di permukaan air.
Arapaima gigas termasuk ikan bersifat kompetitor, yang berarti mereka bersaing dengan jenis ikan lain untuk mendapatkan makanan, terutama memangsa ikan yang lebih kecil.
Disebut bersifat karnivora, makanan utama ikan arapaima adalah ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil, meskipun terkadang ikan tersebut bisa memakan unggas, katak atau serangga yang berada di dekat permukaan air.
Arapaima gigas juga dikenal sebagai pembawa parasit golongan protozoa, serta dapat melukai manusia pada saat ditangkap ukuran tubuhnya yang raksasa, di mana saat dewasa bisa mencapai sekitar 2 meter atau lebih dengan berat tubuh sekitar 200 kilogram.
KKP juga dilaporkan telah memperkuat upaya dalam rangka mengendalikan spesies asing yang invasif masuk ke wilayah Indonesia.
Koordinasi Rina mencontohkan, rapat koordinasi bersama instansi terkait membahas jenis asing invasif, database dan cara pengendalian telah dilakukan sejak tahun 2011.
Ia memaparkan, pada awalnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2009 tentang Larangan Pemasukan Beberapa Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia hanya terdiri atas 30 jenis ikan.
Melalui penyusunan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41/2014, maka kini telah terdapat 152 jenis ikan yang dilarang, yang terdiri atas 97 jenis pisces (ikan), 14 jenis crustacea (udang-udangan), 30 jenis mollusca (hewan lunak), dan 11 jenis amfibi.
Namun, permen ini hanya mengatur larangan pemasukan jenis spesies asing invasif ke dalam wilayah NKRI, sedangkan inisiasi refisi pada tahun 2017 ini menambahkan pengaturan tentang larangan mengedarkan antararea di dalam wilayah negara RI, larangan memelihara dan mengeluarkan jenis ikan berbahaya dari wilayah negara RI.
KKP juga telah menggelar berbagai seminar atau lokakarya nasional dan internasional tentang spesies asing invasif, serta penyusunan Buku Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif.
Strategi Nasional Jenis Asing Invasif tersebut disusun dengan melibatkan Kementerian Kehutanan, Badan Karantina Tumbuhan dan Hewan Kementerian Pertanian, Pusat Karantina Ikan KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain itu, juga telah dibuat pemetaan jenis ikan berbahaya, pembuatan sistem informasi spesies asing invasif, serta pengembangan sistem aplikasi jenis ikan yang dilindungi, dilarang, dan bersifat invasif.
Sejak beberapa tahun lalu juga telah dilakukan data pemusnahan jenis ikan invasif, seperti ikan arapaima sebanyak dua ekor dari Singapura di BBKIPM Jakarta I tahun 2017.
Kemudian, ada pula ikan piranha sebanyak lima ekor melalui Balai KIPM Surabaya I tahun 2017, serta 50 ekor ikan louhan dari Thailand melalui BBKIPM Jakarta I pada tahun yang sama.
Selanjutnya, ada pula penyerahan jenis ikan berbahaya spesies asing invasif dari masyarakat, seperti berupa ikan aligator sebanyak 10 ekor, ikan piranha sebanyak tujuh ekor, dan ikan sapu-sapu sebanyak tiga ekor ke Stasiun KIPM Bandung.
Sukarela Sebagaimana diwartakan, sosialisasi yang dilakukan KKP dan berbagai pihak terkait juga telah berdampak positif.
Misalnya, beberapa warga Yogyakarta dan Jambi secara sukarela menyerahkan ikan spesies invasif ke Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) setempat.
Kepala SKIPM Yogyakarta Hafit Rahman dalam rilis BKIPM KKP menyatakan telah menerima sebanyak lima ekor ikan predator di posko penyerahan ikan invasif dan berbahaya.
Hafit Rahman memaparkan, ikan tersebut berjenis alligator yang termasuk jenis ikan terlarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 41 tahun 2014.
"Sudah ada lima ekor yang diserahkan secara sukarela oleh warga. Jadi yang memelihara tanpa izin resmi, kami kasih waktu sampai akhir bulan ini," katanya.
Menurut Hafit, penyerahan ikan invasif ini merupakan bentuk dukungan terhadap lingkungan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Ia mengingatkan bahwa ikan invasif tidak boleh dibiarkan lepas di perairan darat seperti sungai, telaga, danau, dan sejenisnya sebab merupakan ikan predator yang pemakan segala.
Jika dibiarkan, lanjutnya, keberadaannya dapat mengancam keberlangsungan jenis-jenis ikan dan hewan lainnya. Sedangkan bila ingin dipelihara, harus ada izinnya dan hanya diperbolehkan untuk penelitian atau edukasi.
Hafit menambahkan, tak hanya dengan membuka posko penyerahan, ke depan petugas juga akan melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat.
Di lokasi lainnya, SKIPM juga Jambi menerima seekor ikan alligator berukuran panjang 50 cm dengan berat tiga kilogram, dari seorang warga pada Rabu (4/7).
Penyerahan dilakukan setelah dilakukan sosialisasi oleh pegawai SKIPM Jambi ke beberapa akuarium, terkait larangan ikan predator dan invasif yang dilarang oleh pemerintah.
SKIPM Jambi telah membuka posko penyerahan ikan predator seperti arapaima, alligator, piranha, dan ikan dilarang lainnya. Pendirian Posko Penyerahan Ikan Berbahaya/Invasif ini dilakukan di seluruh Indonesia termasuk di Jambi sebagai tindak lanjut adanya pelepasan ikan predator arapaima di Sungai Brantas yang mengancam ekosistem ikan lokal.
Selain mendirikan posko, SKIPM Jambi juga turun langsung ke masyarakat untuk menyosialisasikan tentang ikan-ikan yang berbahaya dan buas dengan mendatangi sentra-sentra penjualan ikan hias dan eksotis yang ada di Kota Jambi.
SKIPM Padang juga dilaporkan telah menerima 14 ekor ikan invasif/berbahaya dari Komunitas Ikan Predator Minang (KIPMI).
Kepala SKIPM Padang Rudi Barmara mengungkapkan, setelah habis batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk menyerahkan secara sukarela, yakni pada 31 Juli 2018 nanti, maka pada Agustus 2018, BKIPM akan membentuk tim untuk turun ke lapangan.