Palembang (ANTARA News Sumsel) - Sekat kanal berbahan baku karet alam mulai diperkenalkan ke kalangan perusahaan perkebunan karena terbukti lebih awet dan tahan lama daripada penggunaan kayu.
Direktur Pusat Penelitian Karet Dr Karyudi di Palembang, Senin, mengatakan, penggunaan bahan karet alam ini sudah diujicobakan di tujuh titik dua kabupaten Sumatera Selatan yakni Banyuasin dan Muaraenim.
Penelitian ini mendapatkan dukungan Bappenas melalui Satuan kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang memanfaatkan dana hibah USAID dalam program Mitigasi Berbasis Lahan.
"Salah satunya kami lakukan di Sungai Rengit Banyuasin sejak April 2017, dan bisa dikatakan berhasil. Tinggal lagi sosialisasinya ke kalangan perusahaan perkebunan untuk menggunakan teknologi berbasis komposit karet alam," kata Karyudi seusai kegiatan sosialisasi ke perusahaan dan instansi terkait mengenai hasil penelitiannya.
Ia mengatakan penggunaan karet alam ini terbukti sangat efektif karena setiap satu meter sekat kanal hanya membutuhkan bahan baku 4 kg karet alam. Jika dihitung secara keseluruhan jauh lebih menguntungkan karena awet selama beberapa tahun.
"Sungguh berbeda jika menggunakan kayu karena cepat lapuk mengingat air lahan gambut itu dikenal sangat asam. Tapi jika menggunakan karet, justru semakin bagus karena menyatu dengan alam," kata dia.
Penggunaan karet alam ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan serapan dalam negeri mengingat saat ini harga karet di pasaran internasional sedang anjlok. Harga di tingkat petani hanya berkisar Rp8.000 per kg.
Pusat Penelitian Karet kemudian mendapatkan tugas dari pemerintah untuk meriset mengenai kemungkinan pemanfaatkan karet alam untuk proyek infrastruktur, selain untuk pintu air dan dok kapal.
Belum lama ini, Pusat Penelitian Karet telah menelurkan hasil riset berupa aspal karet yang sukses dalam uji coba di Lido, Jawa Barat.
"Untuk aspal karet rencananya akan diterapkan pada jalan sejauh 11 km di Sumatera Selatan. Tahun ini akan direalisasikan," kata dia.
Terkait potensi penggunaan karet alam untuk sekat kanal ini, ia mengatakan sangat besar mengingat saat ini terdapat 14,9 juta hektare lahan gambut. Dari belasan hektare ini, sebanyak 5 persennya merupakan areal perkebunan.
"Untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan, pembuatan sekat kanal menjadi wajib bagi perusahaan, dan ini sudah ada payung hukumnya," kata dia.
Harga karet di pasaran ekspor anjlok sejak 2013 hingga kini belum merangkak naik ke harga ideal di atas Rp10.000 per kg. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya, salah satunya menggandeng negara-negara pengekspor karet seperti Thailand dan Malaysia untuk mengurangi pasokan ekspor.
Namun, upaya ini juga kurang efektif mengingat terdapat negara-negara lain yang juga mengekspor karet. Saat ini di pasaran internasional terdapat kelebihan pasokan 2,5 juta ton.
Untuk itu, pemerintah menilai, langkah paling efektif untuk mengatasi persoalan ini yakni meningkatkan serapan dalam negeri mengingat sejauh ini baru mencapai 18 persen dari total produksi 3,1 juta ton per tahun.
Direktur Pusat Penelitian Karet Dr Karyudi di Palembang, Senin, mengatakan, penggunaan bahan karet alam ini sudah diujicobakan di tujuh titik dua kabupaten Sumatera Selatan yakni Banyuasin dan Muaraenim.
Penelitian ini mendapatkan dukungan Bappenas melalui Satuan kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang memanfaatkan dana hibah USAID dalam program Mitigasi Berbasis Lahan.
"Salah satunya kami lakukan di Sungai Rengit Banyuasin sejak April 2017, dan bisa dikatakan berhasil. Tinggal lagi sosialisasinya ke kalangan perusahaan perkebunan untuk menggunakan teknologi berbasis komposit karet alam," kata Karyudi seusai kegiatan sosialisasi ke perusahaan dan instansi terkait mengenai hasil penelitiannya.
Ia mengatakan penggunaan karet alam ini terbukti sangat efektif karena setiap satu meter sekat kanal hanya membutuhkan bahan baku 4 kg karet alam. Jika dihitung secara keseluruhan jauh lebih menguntungkan karena awet selama beberapa tahun.
"Sungguh berbeda jika menggunakan kayu karena cepat lapuk mengingat air lahan gambut itu dikenal sangat asam. Tapi jika menggunakan karet, justru semakin bagus karena menyatu dengan alam," kata dia.
Penggunaan karet alam ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan serapan dalam negeri mengingat saat ini harga karet di pasaran internasional sedang anjlok. Harga di tingkat petani hanya berkisar Rp8.000 per kg.
Pusat Penelitian Karet kemudian mendapatkan tugas dari pemerintah untuk meriset mengenai kemungkinan pemanfaatkan karet alam untuk proyek infrastruktur, selain untuk pintu air dan dok kapal.
Belum lama ini, Pusat Penelitian Karet telah menelurkan hasil riset berupa aspal karet yang sukses dalam uji coba di Lido, Jawa Barat.
"Untuk aspal karet rencananya akan diterapkan pada jalan sejauh 11 km di Sumatera Selatan. Tahun ini akan direalisasikan," kata dia.
Terkait potensi penggunaan karet alam untuk sekat kanal ini, ia mengatakan sangat besar mengingat saat ini terdapat 14,9 juta hektare lahan gambut. Dari belasan hektare ini, sebanyak 5 persennya merupakan areal perkebunan.
"Untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan, pembuatan sekat kanal menjadi wajib bagi perusahaan, dan ini sudah ada payung hukumnya," kata dia.
Harga karet di pasaran ekspor anjlok sejak 2013 hingga kini belum merangkak naik ke harga ideal di atas Rp10.000 per kg. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya, salah satunya menggandeng negara-negara pengekspor karet seperti Thailand dan Malaysia untuk mengurangi pasokan ekspor.
Namun, upaya ini juga kurang efektif mengingat terdapat negara-negara lain yang juga mengekspor karet. Saat ini di pasaran internasional terdapat kelebihan pasokan 2,5 juta ton.
Untuk itu, pemerintah menilai, langkah paling efektif untuk mengatasi persoalan ini yakni meningkatkan serapan dalam negeri mengingat sejauh ini baru mencapai 18 persen dari total produksi 3,1 juta ton per tahun.