Jakarta (ANTARA News Sumsel) - "Power is more important than money, but when it comes to elections, money gives power" menjadi frase yang diucapkan Francis "Frank" Underwood, tokoh ciptaan Beau Willimon dalam drama web politik House of Cards.
Meskipun fiktif, frase naskah Frank, politisi Partai Demokrat yang menjadi Presiden Amerika Sertikat, tersebut sangat lekat dengan kejadian politis di negara-negara demokratis, termasuk Indonesia saat ini.
Peran uang dalam pemilihan umum menjadi sesuatu yang dinomorsatukan, karena di negeri ini para politisi masih menganggap bahwa uang dapat digunakan untuk membeli suara agar mereka memenangi pemilu.
Akibatnya, politisi yang mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada akan mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan uang supaya mereka terpilih menjadi "raja kecil" di daerah.
Dengan demokrasi berbiaya mahal tersebut, maka salah satu cara tercepat untuk mendapat dana guna membiayai pencalonan seseorang ke pilkada adalah dengan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu kurang dari tiga bulan terakhir, sejak September 2017, sedikitnya telah mengumumkan penetapan tersangka terhadap lima calon kepala daerah.
Kelima calon kepala daerah tersebut semuanya adalah petahana, yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada di daerahnya masing-masing.
Pertama, pada 3 Februari 2018 Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko ditangkap KPK di Solo, Jawa Tengah atas dugaan menerima suap senilai Rp25 juta dan 9.500 dolar AS terkait perizinan kepengurusan jabatan di Pemkab Jombang, Jawa Timur.
Nyono, yang berpasangan dengan Subaidi, mencalonkan diri sebagai calon bupati Jombang untuk periode 2018 - 2023 dengan dukungan dari lima partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kedua, Bupati Ngada,NTT, Marianus Sae terciduk penyidik KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya pada 11 Februari 2018 atas dugaan penerimaan suap proyek pembangunan insfrastruktur senilai Rp4,1 miliar.
Marianus Sae ditetapkan sebagai calon gubernur Nusa Tenggara Timur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTT, dengan dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan PKB.
Ketiga, dua hari setelah penangkapan Marianus, KPK menangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih atas dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp1,4 miliar dari dua perusahaan swasta, agar ijin pendirian pabrik perusahaan tersebut dilancarkan Pemkab Subang.
Imas kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Subang untuk kedua kalinya, dengan dukungan dari PKB dan Partai Golkar.
Keempat, Bupati Lampung Tengah Mustafa ditangkap KPK atas dugaan pemberian suap kepada wakil ketua dan anggota DPRD Lampung Tengah agar melancarkan langkah Pemkab setempat dalam meminjam dana senilai Rp300 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur.
Mustafa pun mencoba peruntungannya dalam pencalonan gubernur Lampung pada Pilkada 2018 ini dengan diusung Partai Nasdem, PKS dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Terakhir, yang masih hangat dari KPK, Bupati Kepulauan Sula periode 2005 - 2010 Ahmad Hidayat Mus berstatus tersangka pada Jumat malam (16/3) atas dugaan kasus korupsi dalam proyek pembebasan lahan Bandara Bobong menggunakan APBD Kabupaten Kepulauan Sula pada 2009 silam.
Ahmad Mus bersama Rivai Umar mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub Maluku Utara dengan dukungan dari Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Calon pemimpin korup
Keberadaan calon-calon pemimpin daerah korup tersebut menjadi catatan hitam dalam proses demokrasi di Tanah Air, apalagi di tengah gaung pilkada serentak yang dibangga-banggakan Pemerintah.
Indonesia boleh berbangga diri dengan sistem pemilihan umum langsung yang serentak di ratusan daerah sejak 2015 lalu.
Namun, apalah arti pemilihan umum secara langsung apabila Pemerintah, pembuat undang-undang dan lembaga penyelenggara pemilu sendiri tidak mampu menyajikan calon-calon pemimpin yang berintegritas, atau setidaknya tidak terjangkit permasalahan hukum.
Baik Pemerintah maupun DPR tidak ada upaya memberikan imbauan atau membenahi regulasi supaya calon-calon kepala daerah korup dihapuskan dari daftar surat suara.
Sementara KPU sendiri pun pasrah dengan regulasi yang ada, sehingga lembaga penyelenggara yang diharapkan independen itu pun seolah tidak peduli dengan kondisi genting, dimana peluang kepala daerah korup dapat terpilih dalam pilkada.
Ketua KPU RI Arief Budiman menilai justru partai pengusung harus cermat sejak sebelum mendaftarkan bakal calonnya ke KPU, menyeleksi dan menilai bakal calon tersebut tidak berpotensi tersangkut kasus hukum.
"Kalau sekarang ada usulan untuk calon tersangka itu diganti dengan yang baru, maka ada dua kemungkinannya, memang masyarakat tidak tahu sejak awal bahwa dia benar bermasalah atau bisa juga suatu saat itu menjadi modus untuk mengganti atau menjatuhkan yang bersangkutan," kata Arief Budiman.
Diskresi penggantian calon
Sementara itu, mantan pelaksana tugas ketua KPU RI Hadar Nafis Gumay berpendapat bahwa KPU saat ini tidak perlu menunggu perubahan regulasi terkait penggantian calon kepala daerah terlibat kasus hukum.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen, KPU harus mampu mewujudkan semangat menciptakan pemilu bersih, salah satunya dengan menyediakan calon-calon bersih.
"Kalau ada dugaan kuat calon itu tersangkut masalah hukum, apalagi korupsi, maka harus segera diproses. Bahkan, KPU perlu memberi ruang supaya calon bersangkutan dapat ditarik dan diganti," kata Hadar.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada tidak mengatur mengenai adanya penggantian calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum.
UU tersebut mengatur bahwa penggantian calon hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan berstatus mempunyai kekuatan hukum tetap atau hukum 'inkracht' sesuai putusan pengadilan. Artinya, calon dengan status tersangka kasus korupsi pun masih dapat melaju dalam pilkada.
Terkait hal itu, Hadar mengatakan seharusnya larangan, yang menyatakan calon peserta pilkada tidak dapat ditarik atau mengundurkan diri, diterapkan apabila calon kepala daerah tersebut tidak tersangkut masalah hukum.
Sebaliknya, untuk calon yang jelas-jelas sudah diumumkan status tersangkanya kepada publik, KPU harus dapat menggunakan diskresinya untuk mendiskualifikasi atau memberikan opsi bagi partai pengusung untuk mengganti calon korup tersebut.
"Kalau ada fakta hukum, terlibat OTT (operasi tangkap tangan), menjadi tersangka, ditahan, apalagi diduga kuat terlibat korupsi, maka harus diganti. Kebijakan yang saat ini justru membuat ruang bagi calon-calon kepala daerah yang tidak berintegritas dapat terpilih menjadi gubernur, bupati dan wali kota," jelas Hadar.
Begitu sulitnya mencari calon kepala daerah yang benar-benar bersih dari kasus hukum, sehingga masyarakat seolah tidak diberikan pilihan untuk memiliki pemimpin yang baik.
Atau mungkin memang benar kata Frank Underwood, bahwa kekuasaan lebih penting daripada uang, tetapi uang bisa memberi kekuasaan pada saat pemilu berlangsung.
(T.F013/a011)
Meskipun fiktif, frase naskah Frank, politisi Partai Demokrat yang menjadi Presiden Amerika Sertikat, tersebut sangat lekat dengan kejadian politis di negara-negara demokratis, termasuk Indonesia saat ini.
Peran uang dalam pemilihan umum menjadi sesuatu yang dinomorsatukan, karena di negeri ini para politisi masih menganggap bahwa uang dapat digunakan untuk membeli suara agar mereka memenangi pemilu.
Akibatnya, politisi yang mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada akan mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan uang supaya mereka terpilih menjadi "raja kecil" di daerah.
Dengan demokrasi berbiaya mahal tersebut, maka salah satu cara tercepat untuk mendapat dana guna membiayai pencalonan seseorang ke pilkada adalah dengan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu kurang dari tiga bulan terakhir, sejak September 2017, sedikitnya telah mengumumkan penetapan tersangka terhadap lima calon kepala daerah.
Kelima calon kepala daerah tersebut semuanya adalah petahana, yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada di daerahnya masing-masing.
Pertama, pada 3 Februari 2018 Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko ditangkap KPK di Solo, Jawa Tengah atas dugaan menerima suap senilai Rp25 juta dan 9.500 dolar AS terkait perizinan kepengurusan jabatan di Pemkab Jombang, Jawa Timur.
Nyono, yang berpasangan dengan Subaidi, mencalonkan diri sebagai calon bupati Jombang untuk periode 2018 - 2023 dengan dukungan dari lima partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kedua, Bupati Ngada,NTT, Marianus Sae terciduk penyidik KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya pada 11 Februari 2018 atas dugaan penerimaan suap proyek pembangunan insfrastruktur senilai Rp4,1 miliar.
Marianus Sae ditetapkan sebagai calon gubernur Nusa Tenggara Timur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTT, dengan dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan PKB.
Ketiga, dua hari setelah penangkapan Marianus, KPK menangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih atas dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp1,4 miliar dari dua perusahaan swasta, agar ijin pendirian pabrik perusahaan tersebut dilancarkan Pemkab Subang.
Imas kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Subang untuk kedua kalinya, dengan dukungan dari PKB dan Partai Golkar.
Keempat, Bupati Lampung Tengah Mustafa ditangkap KPK atas dugaan pemberian suap kepada wakil ketua dan anggota DPRD Lampung Tengah agar melancarkan langkah Pemkab setempat dalam meminjam dana senilai Rp300 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur.
Mustafa pun mencoba peruntungannya dalam pencalonan gubernur Lampung pada Pilkada 2018 ini dengan diusung Partai Nasdem, PKS dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Terakhir, yang masih hangat dari KPK, Bupati Kepulauan Sula periode 2005 - 2010 Ahmad Hidayat Mus berstatus tersangka pada Jumat malam (16/3) atas dugaan kasus korupsi dalam proyek pembebasan lahan Bandara Bobong menggunakan APBD Kabupaten Kepulauan Sula pada 2009 silam.
Ahmad Mus bersama Rivai Umar mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub Maluku Utara dengan dukungan dari Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Calon pemimpin korup
Keberadaan calon-calon pemimpin daerah korup tersebut menjadi catatan hitam dalam proses demokrasi di Tanah Air, apalagi di tengah gaung pilkada serentak yang dibangga-banggakan Pemerintah.
Indonesia boleh berbangga diri dengan sistem pemilihan umum langsung yang serentak di ratusan daerah sejak 2015 lalu.
Namun, apalah arti pemilihan umum secara langsung apabila Pemerintah, pembuat undang-undang dan lembaga penyelenggara pemilu sendiri tidak mampu menyajikan calon-calon pemimpin yang berintegritas, atau setidaknya tidak terjangkit permasalahan hukum.
Baik Pemerintah maupun DPR tidak ada upaya memberikan imbauan atau membenahi regulasi supaya calon-calon kepala daerah korup dihapuskan dari daftar surat suara.
Sementara KPU sendiri pun pasrah dengan regulasi yang ada, sehingga lembaga penyelenggara yang diharapkan independen itu pun seolah tidak peduli dengan kondisi genting, dimana peluang kepala daerah korup dapat terpilih dalam pilkada.
Ketua KPU RI Arief Budiman menilai justru partai pengusung harus cermat sejak sebelum mendaftarkan bakal calonnya ke KPU, menyeleksi dan menilai bakal calon tersebut tidak berpotensi tersangkut kasus hukum.
"Kalau sekarang ada usulan untuk calon tersangka itu diganti dengan yang baru, maka ada dua kemungkinannya, memang masyarakat tidak tahu sejak awal bahwa dia benar bermasalah atau bisa juga suatu saat itu menjadi modus untuk mengganti atau menjatuhkan yang bersangkutan," kata Arief Budiman.
Diskresi penggantian calon
Sementara itu, mantan pelaksana tugas ketua KPU RI Hadar Nafis Gumay berpendapat bahwa KPU saat ini tidak perlu menunggu perubahan regulasi terkait penggantian calon kepala daerah terlibat kasus hukum.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen, KPU harus mampu mewujudkan semangat menciptakan pemilu bersih, salah satunya dengan menyediakan calon-calon bersih.
"Kalau ada dugaan kuat calon itu tersangkut masalah hukum, apalagi korupsi, maka harus segera diproses. Bahkan, KPU perlu memberi ruang supaya calon bersangkutan dapat ditarik dan diganti," kata Hadar.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada tidak mengatur mengenai adanya penggantian calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum.
UU tersebut mengatur bahwa penggantian calon hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan berstatus mempunyai kekuatan hukum tetap atau hukum 'inkracht' sesuai putusan pengadilan. Artinya, calon dengan status tersangka kasus korupsi pun masih dapat melaju dalam pilkada.
Terkait hal itu, Hadar mengatakan seharusnya larangan, yang menyatakan calon peserta pilkada tidak dapat ditarik atau mengundurkan diri, diterapkan apabila calon kepala daerah tersebut tidak tersangkut masalah hukum.
Sebaliknya, untuk calon yang jelas-jelas sudah diumumkan status tersangkanya kepada publik, KPU harus dapat menggunakan diskresinya untuk mendiskualifikasi atau memberikan opsi bagi partai pengusung untuk mengganti calon korup tersebut.
"Kalau ada fakta hukum, terlibat OTT (operasi tangkap tangan), menjadi tersangka, ditahan, apalagi diduga kuat terlibat korupsi, maka harus diganti. Kebijakan yang saat ini justru membuat ruang bagi calon-calon kepala daerah yang tidak berintegritas dapat terpilih menjadi gubernur, bupati dan wali kota," jelas Hadar.
Begitu sulitnya mencari calon kepala daerah yang benar-benar bersih dari kasus hukum, sehingga masyarakat seolah tidak diberikan pilihan untuk memiliki pemimpin yang baik.
Atau mungkin memang benar kata Frank Underwood, bahwa kekuasaan lebih penting daripada uang, tetapi uang bisa memberi kekuasaan pada saat pemilu berlangsung.
(T.F013/a011)