Jakarta (Antarasumsel.com) - Pengusaha mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk melawan kampanye hitam produk sawit yang dilancarkan Parlemen Uni Eropa mengingat tuduhan yang dilancarkan tidak berdasar dan sangat merugikan.
"Memang sejauh ini belum ada dampak negatif dari gencarnya kampanye hitam produk sawit. Tapi hal itu tidak bisa dibiarkan karena kalau masyarakat Uni Eropa memiliki pemikiran yang salah soal sawit maka untuk jangka panjang akan merugikan juga," kata Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagment Golden Agri-Resources (GAR) Agus Purnomo kepada pers di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan usai dirinya menyampaikan Laporan Keberlanjutan GAR 2016 yang menguraikan kemajuan perusahaan dalam menerapkan pendekatan inovatif dalam konservasi hutan. Termasuk di dalamnya pelaksanaan kegiatan produksi yang didukung dengan konservasi berbasis masyarakat yang tinggal di sekitar area hutan.
Dikatakan Agus, perusahaan tidak akan mungkin bisa melawan kampanye hitam yang belakangan digencarkan Parlemen Uni Eropa (UE) tapi harus bersama-sama melalui asosiasi dan pemerintah melakukan negosiasi dengan parlemen setempat.
Pengusaha dan pemerintah, katanya, sebenarnya hanya ingin menuntut suatu sistem perdagangan bebas dan berkeadilan mengingat hal itulah yang seharusnya dianut oleh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Kalaupun ada perusahaan sawit yang masih belum melakukan hal yang sesuai ketentuan maka perusahaan itulah yang harus diperbaiki. Jangan sampai semua perusahaan sawit di Indonesia kena tuduhan kampanye hitam," katanya.
Delegasi Indonesia pada pertemuan Ulasan Kebijakan Perdagangan (Trade Policy Review/TPR) ke-13 terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO), di Jenewa, Swiss, pada awal Juli 2017, mempermasalahkan kebijakan Uni Eropa yang menghambat ekspor produk-produk asal Indonesia, terutama produk sawit.
Perwakilan Tetap RI di Jenewa dalam keterangan pers menyebutkan delegasi Indonesia meminta Uni Eropa untuk memperhatikan peningkatan hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap produk impor dari Indonesia, khususnya kelapa sawit.
Delegasi Indonesia juga menyampaikan keprihatinan terhadap Resolusi Sawit dan Deforestasi (Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforest) yang disetujui oleh Parlemen Eropa pada April 2017, yang mendiskriminasi produk minyak sawit dengan produk minyak nabati lainnya.
Resolusi tersebut dinilai tidak tepat, dan Uni Eropa perlu mengakui upaya keras Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan dan mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan.
Menanggapi hal itu, delegasi Uni Eropa menyampaikan bahwa resolusi Parlemen Eropa tersebut tidak mengikat terhadap badan eksekutif Komisi Eropa, dan secara hukum tidak mengharuskan Komisi Eropa untuk menindaklanjutinya dengan perumusan suatu produk hukum yang mengikat.
Namun, delegasi Indonesia menyampaikan pandangan bahwa resolusi tersebut semakin mempertegas kampanye negatif terhadap minyak sawit di pasar Uni Eropa.
"Memang sejauh ini belum ada dampak negatif dari gencarnya kampanye hitam produk sawit. Tapi hal itu tidak bisa dibiarkan karena kalau masyarakat Uni Eropa memiliki pemikiran yang salah soal sawit maka untuk jangka panjang akan merugikan juga," kata Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagment Golden Agri-Resources (GAR) Agus Purnomo kepada pers di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan usai dirinya menyampaikan Laporan Keberlanjutan GAR 2016 yang menguraikan kemajuan perusahaan dalam menerapkan pendekatan inovatif dalam konservasi hutan. Termasuk di dalamnya pelaksanaan kegiatan produksi yang didukung dengan konservasi berbasis masyarakat yang tinggal di sekitar area hutan.
Dikatakan Agus, perusahaan tidak akan mungkin bisa melawan kampanye hitam yang belakangan digencarkan Parlemen Uni Eropa (UE) tapi harus bersama-sama melalui asosiasi dan pemerintah melakukan negosiasi dengan parlemen setempat.
Pengusaha dan pemerintah, katanya, sebenarnya hanya ingin menuntut suatu sistem perdagangan bebas dan berkeadilan mengingat hal itulah yang seharusnya dianut oleh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Kalaupun ada perusahaan sawit yang masih belum melakukan hal yang sesuai ketentuan maka perusahaan itulah yang harus diperbaiki. Jangan sampai semua perusahaan sawit di Indonesia kena tuduhan kampanye hitam," katanya.
Delegasi Indonesia pada pertemuan Ulasan Kebijakan Perdagangan (Trade Policy Review/TPR) ke-13 terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO), di Jenewa, Swiss, pada awal Juli 2017, mempermasalahkan kebijakan Uni Eropa yang menghambat ekspor produk-produk asal Indonesia, terutama produk sawit.
Perwakilan Tetap RI di Jenewa dalam keterangan pers menyebutkan delegasi Indonesia meminta Uni Eropa untuk memperhatikan peningkatan hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap produk impor dari Indonesia, khususnya kelapa sawit.
Delegasi Indonesia juga menyampaikan keprihatinan terhadap Resolusi Sawit dan Deforestasi (Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforest) yang disetujui oleh Parlemen Eropa pada April 2017, yang mendiskriminasi produk minyak sawit dengan produk minyak nabati lainnya.
Resolusi tersebut dinilai tidak tepat, dan Uni Eropa perlu mengakui upaya keras Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan dan mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan.
Menanggapi hal itu, delegasi Uni Eropa menyampaikan bahwa resolusi Parlemen Eropa tersebut tidak mengikat terhadap badan eksekutif Komisi Eropa, dan secara hukum tidak mengharuskan Komisi Eropa untuk menindaklanjutinya dengan perumusan suatu produk hukum yang mengikat.
Namun, delegasi Indonesia menyampaikan pandangan bahwa resolusi tersebut semakin mempertegas kampanye negatif terhadap minyak sawit di pasar Uni Eropa.