Kalau enam tahun lalu Suyanto menjadi omongan orang karena nekat membabat kebun cengkihnya diganti dengan tanaman buah naga, kini para tetangganya justru banyak yang mengikuti jejaknya.
Di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah ada lahan tidak kurang dari 100 hektare ditanami tanaman buah naga.
Dari awalnya 1.200 pohon, kini berkembang menjadi 9.000-an pohon yang dalam sekali musim bisa menghasilkan uang paling sedikit Rp500 juta.
Dulu waktu mulai, lanjut Suyanto, awal bermodal Rp45 juta. Waktu itu, dalam semusim sudah menghasilkan Rp200 juta, kata lelaki berkumis yang juga guru agama di sekolah dasar di Banyuwangi itu.
Ia menjelaskan bahwa dari awal tanaman buah naganya dipupuk menggunakan bahan organik, termasuk untuk membasmi hama. Dengan cara itu ia menjamin buah naganya sehat untuk dikonsumsi.
Karena tidak menggunakan pupuk kimia itulah, maka buah naga hasil kebun Suyanto mampu menembus pasar sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Surabaya dan Semarang.
Pihaknya bisa mengirim dua hingga tiga ton per hari ke kota-kota besar itu.
Ia menjelaskan bahwa ciri-ciri buah naga yang menggunakan bahan-bahan organik bisa dilihat pada kulitnya yang tidak terlihat merah mengkilat. Selain itu, sisik pada kulit tetap kencang, sementara yang menggunakan bahan bukan organik cenderung melengkung.
Yanto berharap para petani buah naga di Banyuwangi ikut menggunakan pupuk organik sehingga pohonnya tahan hama dan hasilnya bagus dan dicari oleh konsumen.
"Kalau yang menggunakan pupuk kimia sekarang ada yang terkena penyakit cacar. Akhirnya ada di daerah lain yang semua pohonnya ditebangi karena penyakit cacarnya sulit dibasmi. Alhamdulillah tanaman saya sampai sekarang bertahan atas serangan penyakit. Mungkin karena saya tidak menggunakan pupuk dan insektisida kimia," kata ayah dua anak yang salah satunya menempuh pendidikan S2 di Jepang itu.
Mengenai peran pemerintah, ia berharap memberikan pendampingan intensif kepada para petani yang membutuhkan pendampingan. Selama ini ia menilai pendampingan atau bantuan yang diberikan kepada kelompok tani salah sasaran.
Selama ini, kata dia, bantuan dan pendampingan diberikan kepada petani yang baru akan memulai, bukan petani yang sudah jalan. "Kalau saya alhamdulillah selama ini bisa mengatasi sendiri masalah-masalah di lapangan. Akhirnya banyak juga masyarakat yang belajar ke saya," katanya.
Selain masalah teknis, katanya, pendampingan kepada petani buah naga juga diperlukan terkait pemasaran, khususnya kepada mereka yang belum memiliki jaringan pasar yang luas.
Sementara itu, agar pohon buah naganya bisa berproduksi selama setahun penuh, Yanto kini menyiasati dengan menempatkan lampu di atas kabunnya. Dengan diberi lampu khusus itu, saat di luar musim, buah naganya tetap berbuah. Hal itu memang menambah biaya, namun hasilnya bisa menutupi biaya listrik tersebut.
Buah naga milik Yanto umumnya adalah yang merah karena lebih laku di pasaran dibandingkan dengan yang warna putih. Kini ia juga mencoba mengembangkan buah naga isi kuning yang harganya lebih mahal berkali lipat dibandingkan dengan yang merah.
Kalau yang merah hanya sekitar Rp5.000 hingga Rp20 ribu, yang kuning mencapai Rp100.000 per kilogram.
"Tapi perkembangannya lambat dan dari sisi keuntungan tetap lebih untung yang merah. Kalau yang kuning, empat bulan belum bisa dipanen, sementara yang merah sudah panen berkali-kali. Karena itu saya hanya punya sekitar 20 pohon yang kuning," katanya.
Sementara itu Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam suatu kesempatan menyatakan akan terus mendorong petani buah naga di daerahnya mulai menggunakan pupuk organik. Hal itu karena tingginya kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan organik mulai meningkat.
"Kami terus support agar petani memperluas pola tanam organik petani di sini. Dinas Pertanian acap melakukan temu usaha antara petani dan eksportir agar petani memahami produk-produk apa saja yang laku di pasaran. Bukan hanya buah naga yang kami dorong organik, jeruk dan semangka pun juga sama," katanya.
Selain itu, lanjut Anas, pemkab juga telah membangun "packing house" (bangsal kemas) untuk petani buah naga. "Selama ini petani tidak memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil panen, maka kami dirikan 'packing house' di Bangorejo. Yang kami bantu tidak hanya petani buah naga, tetapi juga untuk jeruk, semangka yang memang potensinya besar di sini," kata Anas.
Selain di Jambewangi, petani buah naga yang menggunakan pupuk organik juga terdapat di Bangorejo, Banyuwangi.
Data Dinas Pertanian Pemkab Banyuwangi menunjukkan produksi buah naga di daerah itu mengalami peningkatan yang pesat. Tahun 2014 mencapai 28.819 ton dengan luas lahan 1.152 hektare, meningkat dibanding tahun 2013 yang hanya 16.631 ton dengan luas lahan yang hanya 678 hektare.
Dari sisi produktivitas, buah naga di Banyuwangi pada tahun 2014 mencapai 250 kg/ha, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 245 kg/ha.
Selain di Pulau Jawa, pemasaran buah naga Banyuwangi telah merambah pasar Kalimantan, Makasar, bahkan hingga Papua.
Di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah ada lahan tidak kurang dari 100 hektare ditanami tanaman buah naga.
Dari awalnya 1.200 pohon, kini berkembang menjadi 9.000-an pohon yang dalam sekali musim bisa menghasilkan uang paling sedikit Rp500 juta.
Dulu waktu mulai, lanjut Suyanto, awal bermodal Rp45 juta. Waktu itu, dalam semusim sudah menghasilkan Rp200 juta, kata lelaki berkumis yang juga guru agama di sekolah dasar di Banyuwangi itu.
Ia menjelaskan bahwa dari awal tanaman buah naganya dipupuk menggunakan bahan organik, termasuk untuk membasmi hama. Dengan cara itu ia menjamin buah naganya sehat untuk dikonsumsi.
Karena tidak menggunakan pupuk kimia itulah, maka buah naga hasil kebun Suyanto mampu menembus pasar sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Surabaya dan Semarang.
Pihaknya bisa mengirim dua hingga tiga ton per hari ke kota-kota besar itu.
Ia menjelaskan bahwa ciri-ciri buah naga yang menggunakan bahan-bahan organik bisa dilihat pada kulitnya yang tidak terlihat merah mengkilat. Selain itu, sisik pada kulit tetap kencang, sementara yang menggunakan bahan bukan organik cenderung melengkung.
Yanto berharap para petani buah naga di Banyuwangi ikut menggunakan pupuk organik sehingga pohonnya tahan hama dan hasilnya bagus dan dicari oleh konsumen.
"Kalau yang menggunakan pupuk kimia sekarang ada yang terkena penyakit cacar. Akhirnya ada di daerah lain yang semua pohonnya ditebangi karena penyakit cacarnya sulit dibasmi. Alhamdulillah tanaman saya sampai sekarang bertahan atas serangan penyakit. Mungkin karena saya tidak menggunakan pupuk dan insektisida kimia," kata ayah dua anak yang salah satunya menempuh pendidikan S2 di Jepang itu.
Mengenai peran pemerintah, ia berharap memberikan pendampingan intensif kepada para petani yang membutuhkan pendampingan. Selama ini ia menilai pendampingan atau bantuan yang diberikan kepada kelompok tani salah sasaran.
Selama ini, kata dia, bantuan dan pendampingan diberikan kepada petani yang baru akan memulai, bukan petani yang sudah jalan. "Kalau saya alhamdulillah selama ini bisa mengatasi sendiri masalah-masalah di lapangan. Akhirnya banyak juga masyarakat yang belajar ke saya," katanya.
Selain masalah teknis, katanya, pendampingan kepada petani buah naga juga diperlukan terkait pemasaran, khususnya kepada mereka yang belum memiliki jaringan pasar yang luas.
Sementara itu, agar pohon buah naganya bisa berproduksi selama setahun penuh, Yanto kini menyiasati dengan menempatkan lampu di atas kabunnya. Dengan diberi lampu khusus itu, saat di luar musim, buah naganya tetap berbuah. Hal itu memang menambah biaya, namun hasilnya bisa menutupi biaya listrik tersebut.
Buah naga milik Yanto umumnya adalah yang merah karena lebih laku di pasaran dibandingkan dengan yang warna putih. Kini ia juga mencoba mengembangkan buah naga isi kuning yang harganya lebih mahal berkali lipat dibandingkan dengan yang merah.
Kalau yang merah hanya sekitar Rp5.000 hingga Rp20 ribu, yang kuning mencapai Rp100.000 per kilogram.
"Tapi perkembangannya lambat dan dari sisi keuntungan tetap lebih untung yang merah. Kalau yang kuning, empat bulan belum bisa dipanen, sementara yang merah sudah panen berkali-kali. Karena itu saya hanya punya sekitar 20 pohon yang kuning," katanya.
Sementara itu Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam suatu kesempatan menyatakan akan terus mendorong petani buah naga di daerahnya mulai menggunakan pupuk organik. Hal itu karena tingginya kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan organik mulai meningkat.
"Kami terus support agar petani memperluas pola tanam organik petani di sini. Dinas Pertanian acap melakukan temu usaha antara petani dan eksportir agar petani memahami produk-produk apa saja yang laku di pasaran. Bukan hanya buah naga yang kami dorong organik, jeruk dan semangka pun juga sama," katanya.
Selain itu, lanjut Anas, pemkab juga telah membangun "packing house" (bangsal kemas) untuk petani buah naga. "Selama ini petani tidak memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil panen, maka kami dirikan 'packing house' di Bangorejo. Yang kami bantu tidak hanya petani buah naga, tetapi juga untuk jeruk, semangka yang memang potensinya besar di sini," kata Anas.
Selain di Jambewangi, petani buah naga yang menggunakan pupuk organik juga terdapat di Bangorejo, Banyuwangi.
Data Dinas Pertanian Pemkab Banyuwangi menunjukkan produksi buah naga di daerah itu mengalami peningkatan yang pesat. Tahun 2014 mencapai 28.819 ton dengan luas lahan 1.152 hektare, meningkat dibanding tahun 2013 yang hanya 16.631 ton dengan luas lahan yang hanya 678 hektare.
Dari sisi produktivitas, buah naga di Banyuwangi pada tahun 2014 mencapai 250 kg/ha, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 245 kg/ha.
Selain di Pulau Jawa, pemasaran buah naga Banyuwangi telah merambah pasar Kalimantan, Makasar, bahkan hingga Papua.