New York (Antara/Thomson Reuters Foundation) - Puluhan peraih hadiah Nobel, termasuk Uskup Desmod Tutu dan Malala Yousafzai, pada Kamis mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk menghentikan "pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan" di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang bergejolak.
Sudah 86 orang tewas dalam tindakan militer di Negara Bagian Rakhine, yang dilancarkan setelah erjadinya serangan ke kantor-kantor polisi di dekat perbatasan dengan Bangladesh pada 9 Oktober.
Pemerintah Myanmar, negara yang sebagian besar penduduknya beragama Budha, selama ini menuding etnis muslim Rohing dengan dukungan milisi asing mengkoordinasikan serangan-serangan yang menewaskan sembilan personel kepolisian.
Lebih dari 30.000 orang mengungsikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan. Peristiwa itu mengundang kritik dunia internasional bahwa pemerintahan Aung San Suu Kyi tidak berbuat banyak dalam membantu para warga Rohingya. Etnis tersebut tidak diberi kewarganegaraan di Myanmar.
Dalam surat terbuka kepada Dewan Keamanan, Desmond Tutu dan 22 sosok terkemuka lainnya, termasuk peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan Muhammad Yunus, mengatakan "tragedi kemanusiaan yang menjadi pembersihan etnis serta kejahatan terhadap kemanusiaa sedang bergulir di Myanmar".
"Jika kita tidak mengambil tindakan, orang-orang bisa mati kelaparan kalau tidak mati terbunuh peluru," demikian bunyi surat itu.
Surat itu memperingatkan bahwa kekerasan seperti itu pernah terjadi saat pembersihan etnis di Rwanda pada 1994 serta di Darfur-Sudan barat, Bosnia dan Kosovo.
Para penandatangan surat mengatakan bahkan jika sekelompok etnis Rohingya berada di balik serangan 9 Oktober, tindakan yang dilancarkan militer Myanmar "sangat tidak seimbang".
"Adalah hal yang bisa (dimengerti) jika (petugas) mengumpulkan para tersangka, memeriksa mereka dan membawa mereka ke pengadilan," kata surat tersebut.
"Tapi lain halnya jika (petugas) mengerahkan helikopter bersenjata untuk menangani ribuan warga sipil dan memerkosa para perempuan serta melemparkan bayi-bayi ke dalam api."
Pemerintah Myanmar membantah tuduhan bahwa militer mengerahkan kekuatan berlebihan dalam menangani serangan Oktober.
Surat kepada Dewan Keamanan --yang beranggotakan 15 negara-- diprakarsai oleh Ramos Horta, menurut juru bicara mantan presiden Timor Leste itu, serta oleh Muhammad Yunus, yang membantu revolusi pendanaan bagi kaum miskin di Bangladesh.
Juru bicara kepresidenan Dewan Keamanan PBB, yang saat ini dijabat Spanyol, memastikan bahwa Dewan sudah menerima surat tersebut, yang juga menungkapkan rasa frustrasi para penanda tangan bahwa Suu Kyi, sang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991, tidak memberikan jaminan hak-hak kewarganegaraan bagi masyarakat Rohingya.
Surat juga berisi desakan agar pemerintah Myanmar mencabut semua pembatasan bagi bantuan kemanusiaan ke Negara Bagian Rakhine.
Sudah 86 orang tewas dalam tindakan militer di Negara Bagian Rakhine, yang dilancarkan setelah erjadinya serangan ke kantor-kantor polisi di dekat perbatasan dengan Bangladesh pada 9 Oktober.
Pemerintah Myanmar, negara yang sebagian besar penduduknya beragama Budha, selama ini menuding etnis muslim Rohing dengan dukungan milisi asing mengkoordinasikan serangan-serangan yang menewaskan sembilan personel kepolisian.
Lebih dari 30.000 orang mengungsikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan. Peristiwa itu mengundang kritik dunia internasional bahwa pemerintahan Aung San Suu Kyi tidak berbuat banyak dalam membantu para warga Rohingya. Etnis tersebut tidak diberi kewarganegaraan di Myanmar.
Dalam surat terbuka kepada Dewan Keamanan, Desmond Tutu dan 22 sosok terkemuka lainnya, termasuk peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan Muhammad Yunus, mengatakan "tragedi kemanusiaan yang menjadi pembersihan etnis serta kejahatan terhadap kemanusiaa sedang bergulir di Myanmar".
"Jika kita tidak mengambil tindakan, orang-orang bisa mati kelaparan kalau tidak mati terbunuh peluru," demikian bunyi surat itu.
Surat itu memperingatkan bahwa kekerasan seperti itu pernah terjadi saat pembersihan etnis di Rwanda pada 1994 serta di Darfur-Sudan barat, Bosnia dan Kosovo.
Para penandatangan surat mengatakan bahkan jika sekelompok etnis Rohingya berada di balik serangan 9 Oktober, tindakan yang dilancarkan militer Myanmar "sangat tidak seimbang".
"Adalah hal yang bisa (dimengerti) jika (petugas) mengumpulkan para tersangka, memeriksa mereka dan membawa mereka ke pengadilan," kata surat tersebut.
"Tapi lain halnya jika (petugas) mengerahkan helikopter bersenjata untuk menangani ribuan warga sipil dan memerkosa para perempuan serta melemparkan bayi-bayi ke dalam api."
Pemerintah Myanmar membantah tuduhan bahwa militer mengerahkan kekuatan berlebihan dalam menangani serangan Oktober.
Surat kepada Dewan Keamanan --yang beranggotakan 15 negara-- diprakarsai oleh Ramos Horta, menurut juru bicara mantan presiden Timor Leste itu, serta oleh Muhammad Yunus, yang membantu revolusi pendanaan bagi kaum miskin di Bangladesh.
Juru bicara kepresidenan Dewan Keamanan PBB, yang saat ini dijabat Spanyol, memastikan bahwa Dewan sudah menerima surat tersebut, yang juga menungkapkan rasa frustrasi para penanda tangan bahwa Suu Kyi, sang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991, tidak memberikan jaminan hak-hak kewarganegaraan bagi masyarakat Rohingya.
Surat juga berisi desakan agar pemerintah Myanmar mencabut semua pembatasan bagi bantuan kemanusiaan ke Negara Bagian Rakhine.