Singapura (ANTARA Sumsel) - Persoalan mendesak yang masih kerap dikesampingkan atau bahkan dinafikan oleh kalangan tertentu adalah perubahan iklim. Padahal dampak dari peningkatan suhu global ini begitu besar terhadap kehidupan manusia di masa depan.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2013 mencatat berkurangnya sedikit dampak karbon dioksida (CO2) di udara, namun pelambanan tidak berlangsung lama.
Berdasarkan model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 hingga 2100. Kenaikan suhu pada derajat tersebut diperhitungkan akan terus meningkatkan muka air laut meski tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah stabil.
Tidak berhenti di sana, telah diperhitungkan bahwa peningkatan suhu global yang jika tidak ditahan di bawah dua derajat celsius akan berdampak besar terhadap kondisi pertanian, kesehatan, iklim di bumi.
Ketidakstabilan iklim membuat kelembapan daerah hangat meningkat karena penguapan air laut, sementara kelembapan tinggi akan meningkatkan curah hujan. Peningkatan curah hujan sebesar satu persen dalam seratus tahun terakhir membuat badai menjadi lebih sering terjadi, sedangkan air tanah yang cepat menguap oleh peningkatan suhu membuat sejumlah daerah menjadi semakin kering.
Topan badai yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air akan menjadi lebih besar. Sementara periode yang sangat dingin juga diperhitungkan akan terjadi, dan pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan cenderung menjadi lebih ekstrim.
Upaya global mengatasi bersama permasalahan perubahan iklim mengerucut dan menjadi sebuah kesepakatan melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim di Paris, Prancis, pada Desember 2015.
Sebanyak 195 negara peserta Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 21 tersebut menyetujui Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menekankan pada, pertama, upaya mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikkan suhu bumi yang disepakati, yakni di bawah dua derajat celsius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat celsius.
Kedua, sistem perhitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan. Ketiga, upaya adaptasi dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Keempat, kerugian dan kerusakan dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Dan kelima, bantuan termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Ratifikasi Persetujuan Paris
Rabu (19/10), satu hari menjelang dua tahun Pemerintahan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna yang ke-9 masa sidang pertama tahun 2016-2017, dan membahas pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-undang (RUU) Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Frame Works on Climate Change (UNFCCC) atau Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim menjadi undang-undang.
Setelah melakukan pengambilan keputusan tingkat satu, diikuti dengan pengambilan keputusan tingkat dua yang dilakukan pada Rapat Paripurna DPR dan dihadiri oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta beberapa pejabat Esselon I dari Kementerian Luar Negeri (Kemenku) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham).
Untuk itu berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2014, di mana proses pengambilan keputusan tingkat dua merupakan pengambilan keputusan akhir dalam proses di DPR.
Dalam laporannya, Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan badan musyawarah DPRI-RI pada tanggal 11 Oktober 2016 telah menugaskan Komisi Tujuh DPR untuk melakukan pembicaraan tahap pertama atas RUU Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim. Persetujuan Paris merupakan persetujuan internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan menekan laju naiknya suhu bumi sebesar dua derajat celcius.
RUU ini, menurut dia, penting untuk segera disahkan menjadi UU, didasari pada kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap seluruh dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim menjadi perhatian banyak pihak, dan merupakan keniscayaan yang terjadi semakin cepat dan telah berdampak langsung pada manusia. Untuk itu Komisi VII DPR, lanjutnya, setuju untuk mengesahkan perjanjian ini dari RUU menjadi Undang-undang dan selanjutnya diserahkan proses pengambilan keputusannya pada Rapat Paripurna.
"Untuk itu Komisi VII DPR setuju untuk mengesahkan perjanjian ini dari RUU menjadi Undang-undang," ujar dia.
Menteri Siti Nurbaya dalam paparan pandangan pemerintah pada persetujuan atas RUU tersebut menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh anggota DPR yang telah melakukan tugas konstitusionalnya sejak dari masa pembahasan hingga disahkannya RUU tentang Persetujuan Paris ini, menjadi UU.
Masuknya Indonesia sebagai negara ke-85 yang meratifikasi persetujuan ini sangat menguntungkan, karena Indonesia, yang secara geografis berada pada wilayah yang sangat rentan akan dampak perubahan iklim di mana diperkirakan negara ini akan mengalami kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,5-3,92 derajat celsius pada kurun tahun 2100.
Sebenarnya telah mengalami pergeseran bulan basah dan bulan kering secara signifikan, dengan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan.
Ini juga berarti, bahwa Indonesia bersama dengan ke-84 negara lainnya terikat secara hukum untuk sama-sama melakukan upaya penjagaan suhu bumi yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities), serta memberikan tanggung jawab kepada negara-negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasaitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang.
Indonesia, menurut dia, dapat memetik beberapa manfaat seperti peningkatan perlindungan wilayah yang rentan, dengan kesadaran akan ancaman berbagai dampak negatif tersebut. Maka upaya-upaya pengendalian perubahan iklim akan menjadi prioritas, untuk diperhatikan juga manfaat penguatan komitmen nasional dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, rendah emisi dari berbagai sektor, dan upaya pengelolaan dan pelestarian hutan yang lebih baik lagi.
Proses ratifikasi akan sah saat Presiden Joko Widodo menandatangani RUU yang telah disetujui DPR, yang selanjutnya akan dikirimkan kepada UNFCCC sebelum tanggal 7 November 2016, saat pelaksanaan COP 22 terlaksana di Marrakesh, Maroko.
Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin, dengan telah diratifikasinya Persetujuan Paris maka Indonesia memiliki suara dalam sidang-sidang pembahasan implementasi hasil COP 21 Paris, tidak hanya menjadi pengamat.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2013 mencatat berkurangnya sedikit dampak karbon dioksida (CO2) di udara, namun pelambanan tidak berlangsung lama.
Berdasarkan model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 hingga 2100. Kenaikan suhu pada derajat tersebut diperhitungkan akan terus meningkatkan muka air laut meski tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah stabil.
Tidak berhenti di sana, telah diperhitungkan bahwa peningkatan suhu global yang jika tidak ditahan di bawah dua derajat celsius akan berdampak besar terhadap kondisi pertanian, kesehatan, iklim di bumi.
Ketidakstabilan iklim membuat kelembapan daerah hangat meningkat karena penguapan air laut, sementara kelembapan tinggi akan meningkatkan curah hujan. Peningkatan curah hujan sebesar satu persen dalam seratus tahun terakhir membuat badai menjadi lebih sering terjadi, sedangkan air tanah yang cepat menguap oleh peningkatan suhu membuat sejumlah daerah menjadi semakin kering.
Topan badai yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air akan menjadi lebih besar. Sementara periode yang sangat dingin juga diperhitungkan akan terjadi, dan pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan cenderung menjadi lebih ekstrim.
Upaya global mengatasi bersama permasalahan perubahan iklim mengerucut dan menjadi sebuah kesepakatan melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim di Paris, Prancis, pada Desember 2015.
Sebanyak 195 negara peserta Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 21 tersebut menyetujui Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menekankan pada, pertama, upaya mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikkan suhu bumi yang disepakati, yakni di bawah dua derajat celsius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat celsius.
Kedua, sistem perhitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan. Ketiga, upaya adaptasi dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Keempat, kerugian dan kerusakan dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Dan kelima, bantuan termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Ratifikasi Persetujuan Paris
Rabu (19/10), satu hari menjelang dua tahun Pemerintahan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna yang ke-9 masa sidang pertama tahun 2016-2017, dan membahas pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-undang (RUU) Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Frame Works on Climate Change (UNFCCC) atau Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim menjadi undang-undang.
Setelah melakukan pengambilan keputusan tingkat satu, diikuti dengan pengambilan keputusan tingkat dua yang dilakukan pada Rapat Paripurna DPR dan dihadiri oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta beberapa pejabat Esselon I dari Kementerian Luar Negeri (Kemenku) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham).
Untuk itu berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2014, di mana proses pengambilan keputusan tingkat dua merupakan pengambilan keputusan akhir dalam proses di DPR.
Dalam laporannya, Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan badan musyawarah DPRI-RI pada tanggal 11 Oktober 2016 telah menugaskan Komisi Tujuh DPR untuk melakukan pembicaraan tahap pertama atas RUU Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim. Persetujuan Paris merupakan persetujuan internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan menekan laju naiknya suhu bumi sebesar dua derajat celcius.
RUU ini, menurut dia, penting untuk segera disahkan menjadi UU, didasari pada kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap seluruh dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim menjadi perhatian banyak pihak, dan merupakan keniscayaan yang terjadi semakin cepat dan telah berdampak langsung pada manusia. Untuk itu Komisi VII DPR, lanjutnya, setuju untuk mengesahkan perjanjian ini dari RUU menjadi Undang-undang dan selanjutnya diserahkan proses pengambilan keputusannya pada Rapat Paripurna.
"Untuk itu Komisi VII DPR setuju untuk mengesahkan perjanjian ini dari RUU menjadi Undang-undang," ujar dia.
Menteri Siti Nurbaya dalam paparan pandangan pemerintah pada persetujuan atas RUU tersebut menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh anggota DPR yang telah melakukan tugas konstitusionalnya sejak dari masa pembahasan hingga disahkannya RUU tentang Persetujuan Paris ini, menjadi UU.
Masuknya Indonesia sebagai negara ke-85 yang meratifikasi persetujuan ini sangat menguntungkan, karena Indonesia, yang secara geografis berada pada wilayah yang sangat rentan akan dampak perubahan iklim di mana diperkirakan negara ini akan mengalami kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,5-3,92 derajat celsius pada kurun tahun 2100.
Sebenarnya telah mengalami pergeseran bulan basah dan bulan kering secara signifikan, dengan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan.
Ini juga berarti, bahwa Indonesia bersama dengan ke-84 negara lainnya terikat secara hukum untuk sama-sama melakukan upaya penjagaan suhu bumi yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities), serta memberikan tanggung jawab kepada negara-negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasaitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang.
Indonesia, menurut dia, dapat memetik beberapa manfaat seperti peningkatan perlindungan wilayah yang rentan, dengan kesadaran akan ancaman berbagai dampak negatif tersebut. Maka upaya-upaya pengendalian perubahan iklim akan menjadi prioritas, untuk diperhatikan juga manfaat penguatan komitmen nasional dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, rendah emisi dari berbagai sektor, dan upaya pengelolaan dan pelestarian hutan yang lebih baik lagi.
Proses ratifikasi akan sah saat Presiden Joko Widodo menandatangani RUU yang telah disetujui DPR, yang selanjutnya akan dikirimkan kepada UNFCCC sebelum tanggal 7 November 2016, saat pelaksanaan COP 22 terlaksana di Marrakesh, Maroko.
Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin, dengan telah diratifikasinya Persetujuan Paris maka Indonesia memiliki suara dalam sidang-sidang pembahasan implementasi hasil COP 21 Paris, tidak hanya menjadi pengamat.